Pengantar
Otonomi daerah adalah salah satu
agenda reformasi yang sekarang sudah direalisasikan. Dalam hal ini, otonomi
daerah harus dilihat sebagai peluang bagi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara otonom melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat guna meningkatkan
mutu pelayanan. Disamping itu juga, daerah perlu secara terus-menerus meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk
mewujudkan hal tersebut dibutuhkan pemerintah daerah (pemda) yang capable
sekaligus innovative dalam melahirkan kebijakan serta mengelola semua
potensi di daerah, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Disamping
itu juga, pemerintah daerah harus mampu menjadikan semua potensi, kekuatan
ekonomi daerah, letak geografis dan budaya masyarakat sebagai modal bagi daerah
dalam membangun kekuatan daerah yang mandiri.
Memang harus diakui bahwa perubahan
sistem pemerintahan sentralistis ke desentralistis menyebabkan tidak semua
daerah siap. Ketidaksiapan ini, terwujud dengan praktek kebijakan pemerintah
daerah yang latah dan tidak kreatif bahkan menyimpang dalam melahirkan
kebijakan. Salah satunya, banyak pemda yang menetapkan pungutan-pungutan baru yang
justru menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang pada gilirannya telah menyebabkan sulitnya
usaha-usaha kecil berkembang. Hal ini tentunya secara jangka panjang juga akan
menurunkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan akhirnya akan menurunkan
potensi penerimaan pajak dan pungutan retribusi itu sendiri.
Dorongan menggali Pendapatan Asli
Daerah (PAD) semaksimal mungkin, menjadi pemicu Pemda yang tidak kreatif untuk
mengenakan pungutan-pungutan yang akan menghambat mobilitas sumberdaya. Hal ini
merupakan implikasi terhadap orientasi daerah kepada pemasukan kas (cash inflow) bukan kepada pendapatan rill, akhirnya terjadilah praktek-praktek
financial anarchism tersebut. Disisi
lain, daerah juga tidak luput dijangkiti oleh virus KKN yang telah sekian lama
menggerogoti negeri ini. Kalau dulu praktek tersebut tumbuh berkembang di
tingkat pusat, maka seiring dengan otonomi daerah maka dengan sendirinya
praktek KKN juga ikut terdesentralisasi ke daerah. Bahkan sebuah pandangan
sinis memaknai otonomi sebagai “bagi-bagi kesempatan” dari pusat ke daerah
untuk mencicipi nikmatnya kue KKN.
Ditengah berbagai kondisi yang
kurang menguntungkan tadi, adalah hal yang patut disyukuri bahwa beberapa
pemerintah daerah telah mulai berpikir kreatif dan inovatif, dengan
mengembangkan alternatif-alternatif dan terobosan baru dalam manajemen
pemerintahan di daerahnya masing-masing. Propinsi Kalimantan Timur, Kota
Bontang, Kota Balikpapan, Kota Tarakan, Kabupaten Pasir, dan Kota Palangkaraya
adalah beberapa contoh daerah otonom yang telah mulai berpikir untuk mengurangi
ketergantungan daerahnya kepada pemerintah pusat, sekaligus mampu menunjukkan
kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam mengelola potensi wilyahnya.
Propinsi Kaltim: Pengisian Formasi
Jabatan Eselon II Secara Terbuka dan Kompetitif (Competitive Leadership
Inventory)
Dalam kebijakan pengangkatan,
penempatan dan promosi kepegawaian selama ini, Baperjakat (Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan) lazimnya memiliki peran yang cukup sentral dan
dominan. Disamping memiliki beberapa sisi positif, sistem ini juga memiliki
banyak kekurangan atau sisi negatif, misalnya transparansi yang rendah karena
pola kerja yang cenderung tertutup, akuntabilitas yang rendah karena unsur
subyektifitas yang tinggi dan membuka peluang terjadinya KKN, serta nilai
profesionalisme yang rendah karena kurang didasarkan pada proses seleksi yang
ketat, terukur dan kompetitif.
Pola ini juga memiliki kelemahan
berupa keterikatan emosional antara pejabat yang diangkat / dipromosikan dengan
jabatan yang didudukinya. Seorang pejabat sering mengatakan bahwa “Sebagai abdi
negara, saya siap untuk ditugaskan dimanapun dan pada posisi apapun”. Selintas,
pernyataan ini mengandung sifat loyalitas dan tanggung jawab terhadap statusnya
sebagai PNS dan terhadap tupoksi jabatan yang disandangnya. Namun, sesungguhnya
hal itu justru menggambarkan ketidakprofesionalan pejabat yang bersangkutan.
Sebab, tidak mungkin seseorang dapat menjalankan tugas dengan baik jika tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian, minat dan pilihan, serta
visi dan harapannya. Dengan kata lain, penempatan seorang PNS pada suatu
jabatan idealnya harus benar-benar cocok dengan latar belakang pendidikan dan
keahlian, minat dan pilihan, serta visi dan harapannya tadi.
Mengingat banyaknya kelemahan
yang melekat pada pola rekrutmen yang lama, adalah hal yang sangat
menggembirakan saat Pemprop Kalimantan Timur mengumumkan kebijakan untuk
mengisi jabatan struktural Eselon II yang kosong secara terbuka dan kompetitif.
Pengisian jabatan struktural (competitive leadership inventory) ini
sendiri dapat dikatakan menggunakan Pola Kompetisi Terbatas, yang dicirikan oleh
3 (tiga) hal, yaitu:
a.
Hanya
terbuka untuk PNS di lingkungan Pemprop Kaltim;
b.
Dibatasi
oleh persyaratan administratif tertentu (lama kerja, pangkat, pendidikan, dll),
mengingat aturan-aturan kepegawaian masih memiliki kekuatan hukum mengikat;
c.
Mempertimbangkan
kinerja individu pada posisi sebelumnya (track record), baik menyangkut
kemampuan manajerial, teknis, maupun sikap dan moralitas.
Untuk efektifnya pola baru dalam
pemilihan dan penempatan pejabat ini, maka harus ditunjang dengan pedoman yang
jelas dan instrumen yang matang agar dapat dijamin output (yakni
terpilihnya seseorang untuk menduduki jabatan tertentu) secara obyektif,
terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya pedoman dan instrumen
yang valid dan reliable, kebijakan yang sangat bagus ini
dikhawatirkan dapat menjadi blunder bagi pemerintah daerah setempat.
Atas dasar seperti itulah, maka perlu ditetapkan kriteria pengisian formasi
jabatan struktural (catatan: dalam jangka panjang juga untuk jabatan
fungsional).
Dalam hal ini, kriteria dasar
yang disarankan meliputi karakteristik (tipe dan sifat) serta kompetensi
calon pejabat. Kedua kriteria ini dipandang sebagai faktor kunci yang
paling menentukan keberhasilan seseorang untuk menjalankan tugas-tugas yang
melekat pada suatu jabatan tertentu. Dalam proses penentuan seseorang untuk
duduk pada jabatan tertentu, kriteria atau pertimbangan kompetensi diberi bobot
yang lebih besar dibanding kriteria karakter. Sebab, pendekatan teoretis maupun
kerangka kebijakan yang ada saat inipun masih menempatkan kompetensi sebagai
kunci pengungkit utama (key leverage) membangun kinerja organisasi.
Penilaian terhadap aspek kompetensi
akan menghasilkan kandidat dengan bobot tinggi, sedang, dan rendah
(atau baik, sedang, dan buruk). Dengan kata lain, terhadap aspek kompetensi ini
bisa dilakukan penilaian secara bertingkat. Sedangkan penilaian terhadap aspek karakteristik
akan menghasilkan kandidat dengan sifat/karakter/tipe yang beragam,
seperti pemikir (konseptor), penengah (mediator), pengarah (manajer), pelaksana
layanan administratif, pengelola kegiatan teknis, dan sebagainya.
Selain itu, dapat pula dihasilkan
tipe manusia pendiam (introvert), senang bergaul (extrovert), dan
sebagainya. Dengan kata lain, terhadap aspek karakteristik ini tidak bisa
dilakukan penilaian secara bertingkat. Artinya, seorang yang cenderung menyukai
pekerjaan teknis atau pelayanan administratif tidak dapat dikatakan lebih
rendah dari pada tipe manusia pemikir, dan sebaliknya.
Secara umum, tahapan dalam pola
rekrutmen baru ini didahului dengan menetapkan karakteristik dari suatu
jabatan tertentu. Dalam hal ini, untuk mendapatkan sifat-sifat spesifik
pada suatu jabatan tertentu, dapat dilakukan wawancara dengan incumbent (pejabat
yang sedang menduduki), user (atasan), dan subordinate-nya
(bawahan). Selanjutnya, dilakukan penetapan standar kompetensi umum yang
melekat pada jabatan tertentu. Hal ini penting, sebab kompetensi umum
suatu jabatan mestinya concurrent dengan kompetensi individual calon
pejabat yang akan menduduki jabatan tersebut, sehingga akan terbangun sinergi.
Tahap berikutnya adalah penilaian dan pengelompokan karakteristik
individual dan kompetensi individual seorang calon yang
akan didudukkan pada jabatan tersebut, apakah sesuai dengan karakteristik
jabatan yang dipersyaratkan atau tidak. Hal ini penting agar orang tersebut
dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik pada saat menduduki
jabatannya.
Dalam menjalankan seluruh
rangkaian proses diatas, peran Tim Independen sangat penting, khususnya untuk
menetapkan kandidat terbaik secara obyektif, rasional, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, penetapan seseorang pada jabatan
tertentu tetap menjadi kewenangan pimpinan daerah (Gubernur, Wakil Gubernur dan
Sekretaris Daerah), dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh rekomendasi
serta hasil uji karaktar dan uji kompetensi yang dilakukan oleh Tim Independen.
Tim Independen sendiri dalam menyusun rekomendasi kepada pimpinan daerah harus
didasarkan pada hasil uji karaktar dan uji kompetensi dengan menggunakan instrumen
dan alat ukur yang obyektif, valid (dapat dipercaya dan benar secara
akademik) dan reliable (dapat digunakan untuk waktu dan tempat berbeda).
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Pemprop Kalimantan Timur tentang pengisian jabatan struktural
secara terbuka dan kompetitif (competitive leadership inventory) ini
merupakan terobosan manajemen pemerintahan (bidang kepegawaian), dan oleh
karenanya dapat diklasifikasikan sebagai best practice. Beberapa
keunggulan kebijakan ini antara lain adalah:
a.
Meningkatkan
transparansi kebijakan dalam pengembangan SDM aparatur;
b.
Meningkatkan
akuntabilitas pemerintah daerah melalui kontrol langsung oleh masyarakat;
c.
Mengurangi
ekses negatif dalam pola rekrutmen yang selama ini berjalan;
d.
Lebih menjamin
adanya proses yang fair dan kompetitif sehingga dapat lebih meningkatkan
kinerja individual maupun kelembagaan;
e.
Teridentifikasikannya
karakteristik setiap jabatan dan tersedianya standar kompetensi umum yang
dibutuhkan dan melekat pada jabatan tertentu.
Bontang: Menggenjot PAD Dengan Pelepah
Pisang
Menurunnya proporsi dana perimbangan dalam struktur pendapatan daerah,
semakin menyadarkan jajaran aparat Kota Bontang untuk menggali sumber-sumber
pendapatan baru tanpa harus membebani aktivitas ekonomi masyarakat. Salah satu
terobosan yang tengah digalakkan adalah dengan mengolah pelepah pisang menjadi
produk baru yang bernilai ekonomis tinggi dan dengan sentuhan artistik yang
menawan. Boleh jadi, terobosan seperti ini menjadi satu-satunya dan yang pertama
di Indonesia, dan oleh karenanya layak untuk dijadikan sebagai contoh berskala
nasional bagi daerah lainnya.
Di Bontang saat ini telah beroperasi sebuah perusahaan
di bidang industri mebel yang terbuat dari kayu dengan kombinasi rotan dan
pelepah pisang. Setiap bulannya dapat diekspor ke Amerika dan Eropa sampai 200
kontainer; dan menjelang Natal bahkan meningkat hingga 400 kontainer. Permintaan
pasar internasional terhadap mebel yang bernuansa etnik memang sedang booming dan lebih disukai dibanding yang modern.
Langkah kreatif dan progresif pemerintah Kota Bontang ini memiliki
banyak keunggulan, diantaranya adalah:
1. Pelepah pisang
yang selama ini lebih banyak diperlakukan sebagai sampah yang tidak berharga,
harus dibuang dan bahkan menimbulkan gangguan bagi kebersihan dan keindahan
kota, justru diolah dan diubah menjadi komoditas yang tidak saja bernilai
ekonomis tinggi, namun juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan baru
bagi daerah. Dengan teknologi yang relatif sederhana, ternyata dapat dihasilkan
produk yang bermutu dengan standar internasional. Selain itu, dari segi harga, produk ini jauh lebih murah dibanding produk yang
disukai masyarakat dalam negeri kebanyakan. Sebagai contoh, harga sebuah kursi
panjang dari bahan baku limbah sekitar Rp 500 ribu per unit, sedangkan buatan
Italia minimal Rp 1,5 juta per unit.
2. Dilihat dari
bahan baku yang digunakan, perajin mebel tidak perlu mengeluarkan dana besar
untuk pengadaan bahan baku, karena pelepah pisang dapat didapatkan dengan mudah
dan murah. Apalagi Kota Bontang termasuk daerah penghasil pisang yang cukup
potensial untuk pasar Kalimantan Timur. Dengan demikian, terjadi proses symbiosis
mutualism antara penanaman bibit-bibit baru pisang, pemenuhan pasar
terhadap kebutuhan pisang, serta pemanfaatan pelepahnya. Disini, bukan hanya
petani pisang yang diuntungkan, sekaligus juga pedagang pisang serta perajin
pelepah pisang.
3. Secara
ekologis, pengolahan pelepah pisang menjadi barang ekonomis juga dapat
mengurangi volume sampah. Dengan kata lain, usaha pembuatan mebel dari pelepah
pisang ini merupakan sebuah usaha ekonomi yang bersifat environmental
friendly atau ramah lingkungan.
4. Pada bulan
Juli yang akan datang, Bontang akan ditetapkan
oleh Menteri Koperasi sebagai satu-satunya Kawasan Koperasi di Indonesia.
Kebijakan ini tentu akan lebih berdampak positif terhadap pembinaan usaha kecil
dan menengah (UKM), termasuk para perajin mebel dari pelepah pisang. Bahkan
diyakini bahwa Kalimantan Timur (khususnya Bontang) dapat menjadi sentra
industri mebel nasional.
5. Pengembangan usaha mebel dari pelepah pisang berpotensi menjadi
penyerap tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran di
daerah.
6. Pengembangan usaha mebel dari pelepah pisang juga merupakan langkah
strategis dalam menghadapi era pasca migas di Bontang pada tahun-tahun
mendatang. Selama ini, sektor minyak bumi dan gas merupakan andalan Kota
Bontang baik dalam penciptaan lapangan kerja, pemasukan income daerah,
serta dampak positifnya terhadap aktivitas ekonomi secara makro. Namun seiring
dengan menurunnya deposit atau cadangan migas, maka Pemkot Bontang perlu segera
mendorong sektor-sektor andalan baru yang non-migas.
7. Ada itikad baik dan political
will dari Pemkot dan instansi terkait menyangkut produk yang dihasilkan,
yakni dengan membeli produk lokal tadi untuk dipergunakan sebagai barang
inventaris kantor.
Potensi sudah terkuak, sementara langkah awal pun telah dimulai.
Tinggal masalahnya sekarang, mampukah jajaran aparat Kota Bontang melanjutkan
dan mengembangkan potensi tersebut? Tentu market mechanism perlu
dipertahankan. Namun state mechanism pun perlu dilakukan. Dalam hal ini,
pemerintah daerah perlu terus-menerus melakukan pembinaan, yang dapat dilakukan
dengan memberi pelatihan, menyediakan dana atau kredit pendamping,
melakukan evaluasi dan monitoring, serta merintis pembukaan pasar domestik yang
lebih luas. Tanpa usaha pembinaan yang sistematis dan berkesinambungan, maka
tidak tertutup kemungkinan bahwa potensi yang besar tadi lambat laun akan
menjadi hilang, atau bahkan mati. Dan bila hal ini terjadi, maka ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan, akan muncul
kembali, yang berarti pula otonomi daerah gagal mencapai tujuan dan sasarannya.
Balikpapan dan Inovasi Manajemen
Perkotaan
Kota Balikpapan
adalah contoh baik lainnya dalam manajemen pengelolaan kawasan perkotaan.
Balikpapan berhasil mensiasati kondisi geografis daerahnya yang banyak terdiri
dari wilayah sungai dan perairan, menjadi konsep hunian yang cukup matang.
Dalam kunjungannya ke Balikpapan (Jum’at, 18 Maret 2005), Menteri Negara
Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari mengatakan bahwa proyek pemukiman atas
air di Margasari harus diakomodasi dan ditiru. Proyek ini juga bisa menjadi
percontohan untuk daerah lain yang memiliki tipikal dan budaya masyarakat yang
sama.
Selama ini,
permukiman diatas wilayah perairan sangat dihindarkan karena berpotensi
menimbulkan kawasan kumuh. Namun di Balikpapan justru menjadi alternatif baru
terhadap upaya penataan kota. Itulah sebabnya, langkah Pemkot Balikpapan ini
bisa diklasifikasikan sebagai bentuk best practices dalam manajemen
perkotaan. Beberapa sisi positif dari kebijakan ini antara lain adalah:
1. Perumahan
kampung air ini pada jangka pendek bisa menjadi alternatif penanggulangan
kawasan kumuh di perkotaan, serta menciptakan lingkungan yang rapi dan sehat. Meskipun
demikian, pada jangka menengah dan panjang, harus dipikirkan agar tidak
menimbulkan kekumuhan baru.
2. Adalah fakta
bahwa harga perumahan di perkotaan saat ini sangat tinggi dan kurang terjangkau
oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Itulah sebabnya, perumahan kampung air
ini juga dapat menjadi alternatif solusi pengadaan rumah murah karena
keterbatasan lahan di perkotaan.
3. Konsep
pembangunan perumahan atas air ini juga berbasis pada pemanfaatan potensi
lokal, dalam hal ini adalah kayu ulin yang banyak didapatkan di Kalimantan.
Dengan kata lain, tidak dibutuhkan adanya bahan-bahan modern seperti besi
beton, keramik, atau semen. Dengan demikian, selain lebih murah, pembangunan
perumahan seperti ini juga bernuansa alami, sehingga dapat dikembangkan sebagai
obyek wisata baru.
Meskipun
demikian, ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dipertimbangkan secara
mendalam. Pertama, perlu dielaborasi dampak pembangunan perumahan atas air
terhadap kelestarian lingkungan, misalnya akibat pembuangan sampah rumah tangga
dan sampah manusia (kotoran manusia). Sudahkah dipikirkan konsep simbiose dan
integrasi antara pembangunan kampung air dengan keberlangsungan spesies binatang
dan tumbuhan air (seperti dalam konsep Mina Tani). Kedua, Pemkot Balikpapan
juga harus membangun perumahan secara terpadu (integrated) dan komprehensif
dengan penyediaan sarana fasilitas umum seperti listrik, air bersih, dan
pelayanan kebersihan / persampahan.
Kedua hal
diatas (dampak terhadap lingkungan dan penyediaan layanan kebersihan) adalah
dimensi yang melekat (embedded) dalam program penataan kawasan
perkotaan. Artinya, tanpa disertai kedua aspek penunjang tadi, maka penataan
kota tidak akan menghasilkan sosok kota yang bersih, sehat, rapi, indah, dan
bersahabat.
Kabupaten Pasir: Reklamasi Eks Tambang
Menjadi Obyek Wisata
Areal penambangan yang telah ditinggalkan karena habisnya deposit bahan
tambang, biasanya berubah menjadi kawasan kering dan tandus, tercemar, serta
tidak produktif dan kehilangan nilai ekonomisnya. Namun kasus reklamasi eks
tambang batu bara di Kabupaten Pasir membuktikan bahwa kondisi tersebut dapat
dibalik 1800 kalau memang ada komitmen dan usaha yang
sungguh-sungguh dari jajaran pemerintah daerah.
Di Desa Petangis, Kecamatan Batu
Engau (32 km dari kota Tanah Grogot), pernah terdapat areal penambangan batu
bara milik PT BHP Kendilo Coal Indonesia seluas 3.500 hektare. PT BHP
KCI adalah perusahaan modal asing yang 80 persen sahamnya dimiliki oleh PT BHP
Biliton Australia-Inggris, dan 20 persen sisanya dimiliki Mitsui Mining
Corporation (MMC) Jepang. Eks tambang ini beroperasi sejak tahun 1993 dan
berakhir pada tanggal 17 September 2002. Areal ini memiliki luas wilayah
eksploitasi tambang 2.692.370 hektare, yang dibagi menjadi 7 (tujuh) lokasi
pertambangan, atau lebih dikenal dengan Pit I hingga Pit VII, yang terbentang
dari utara hingga selatan.
Kawasan yang akan dibuka untuk
umum mulai 6 Nopember 2005 ini sekarang menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Lati
Petangis, yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemkab Pasir. Upaya mereklamasi
sendiri mulai dikerjakan sejak bulan Oktober 2004 dengan cara menanami tanaman
cepat tumbuh seperti Akasia, Sengon, Kedawung, Sungkai, Puspa, Laban, Keruing,
dan Penaga. Selanjutnya, sumber mata air yang asalnya hanya seluas 20 meter
persegi, diperluas menjadi danau buatan sepanjang 100 meter, sementara di
sekeliling danau diletakkan batu kuring yang berfungsi untuk menahan erosi
tanah.
Saat ini, wajah eks tambang tadi
sudah berubah total. Di lokasi Pit I, misalnya, terdapat taman bermain untuk
anak-anak yang dilengkap fasilitas sepeda air. Koleksi tanaman langka juga
dapat ditemukan di sekitar kawasan ini, seperti Resak dan Rupai. Disamping itu,
kawasan ini juga dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih serta
kegiatan hiburan / olahraga perahu dayung. Lebih atraktif lagi, di Tahura Lati
Petangis ini juga dilengkapi dengan jembatan ulin sepanjang 75 meter yang
melintas di tengah-tengah danau dengan ketinggian mencapai 17 meter. Di wilayah
ini juga dapat disaksikan sekumpulan angsa liar berenang di sekitar danau air
tawar itu, serta hewan liar lain seperti babi hutan, rusa, macan tutul,
beruang, dan ular. Dan bagi masyarakat yang gemar melakukan kegiatan outbond,
berkemah, atau berpetualang, maka dapat membuat tenda di salah satu areal
kawasan ini, yakni di camping ground.
Sementara itu, di lokasi Pit II
yang berjarak 500 meter dari Pit I, saat ini telah disulap menjadi tempat
pemancingan umum dengan berbagai jenis ikan air tawar seperti mas, nila,
gurami, dan gabus (haruan). Jika memancing di Pit II ini harus memiliki ijin,
maka di Pit VII dapat memancing dengan bebas tanpa memerlukan ijin khusus.
Sedangkan di lokasi Pit III terdapat penangkaran dan peternakan Rusa jenis
Sambar, seluas satu hektare. Jumlah rusa yang ada saat ini baru sebanyak
delapan ekor, terdiri empat pejantan, dua betina, dan dua anakan. Dalam waktu
dekat, salah satu betina akan melahirkan, yang membuktikan bahwa lingkungan
Tahura lati Petangis ini cocok menjadi habitat perkembangbiakan rusa.
Melihat proses transformasi fungsi lahan dilakukan oleh Pemkab Pasir
diatas, maka tidak berlebihan jika hal itu dapat diklasifikasikan sebagai model
inovatif manajemen pemerintahan (Best Practices). Hal ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan atau alasan sebagai berikut:
1.
Reklamasi
eks tambang menjadi Tahura dapat mengembalikan kesuburan dan produktivitas
tanah, sekaligus menjaga dan melestarikan mutu lingkungan, antara lain melalui
konservasi flora dan fauna dilindungi.
2.
Kebijakan
reklamasi tadi juga melahirkan sektor andalan baru yakni pariwisata, yang
membawa dampak ikutan seperti terbukanya lapangan kerja, usaha kecil dan
menengah (penjualan makanan ringan, souvenir), dan sebagainya.
3.
Secara
langsung, upaya tersebut juga menghidupkan ekonomi daerah, serta menjadi salah
satu sumber alternatif bagi peningkatan PAD. Meskipun hingga saat ini belum
dapat diprediksikan besarnya retribusi pariwisata, namun melihat potensi alam
yang cukup indah, jelas akan menjadi kontributor yang signifikan bagi Kabupaten
Pasir.
Dari pengalaman Kabupaten Pasir
diatas nampak dengan jelas bahwa upaya reklamasi terhadap areal-areal
pertambangan yang sudah ditinggalkan, harus dilakukan dengan benar dan
berkelanjutan. Upaya ini tentu dapat berhasil jika dijalankan secara sinergis
oleh Pemerintah Daerah dengan dibantu oleh perusahaan pertambangan serta
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan eks tambang tersebut. Dan melihat
hasil yang sangat menjanjikan dari proses reklamasi dan transformasi itu, sudah
waktunya bagi daerah-daerah yang memiliki areal tambang untuk berpikir dan
mencontoh apa yang telah dilakukan dengan sangat gemilang di Kabupaten Pasir,
Kalimantan Timur.
Kota Palangkaraya: Tahun Membangun Kualitas
Pelayanan
Tahun 2005 oleh Pemkot Palangkaraya ditetapkan sebagai Tahun
Peningkatan Kualitas. Dari berbagai program yang dijalankan dan prestasi yang
dihasilkan, sektor kesehatan dan pertanian merupakan 2 (dua) sektor unggulan
yang mampu menunjukkan kinerja optimal. Sementara disisi lain, pelayanan yang
masih berkinerja rendah berdasarkan hasil survey adalah pelayanan IMB (Ijin
Mendirikan Bangunan) dan pelayanan bidang pertanahan. Dibawah ini dipaparkan
inovasi kebijakan pada bidang kesehatan dan pertanian.
1.
Memacu
Kepuasan Masyarakat dan Kinerja Melalui Puskesmas Pola Swadana
Penyelenggaraan Puskesmas dengan pola swadana sesungguhnya merupakan
program dan inisiatif Departemen Kesehatan yang dipopulerkan sejak tahun 1999.
Namun faktanya, banyak daerah yang belum menerapkan kebijakan ini. Padahal, pola
ini sangat berarti untuk mengatasi kendala yang selama ini ada, sekaligus
menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan dengan standar mutu yang terjamin.
Kendala atau kesulitan yang selama ini dihadapi adalah sering terlambatnya dana
operasional dari Pusat. Padahal, dilihat dari jenisnya, pelayanan kesehatan
merupakan kegiatan yang tidak boleh terputus atau tertunda (suspendable).
Atas dasar pemikiran tersebut, maka mengacu kepada SKB Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 93A/Menkes/SKB/II/1996, Pemkot
Palangkaraya telah mengeluarkan Perda No. 21 Tahun 2002 tentang Penetapan
Puskesmas di Wilayah Kota Palangka Raya Sebagai Unit Swadana. Puskesmas Swadana
sendiri diartikan sebagai puskesmas yang diberi wewenang untuk mengelola
sendiri penerimaan fungsionalnya untuk keperluan operasional secara langsung
dan mengoptimalkan mobilisasi potensi pembiayaan masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pada awalnya, banyak pihak yang kurang mendukung program ini. Namun
melalui advokasi kepada Pemkot dan DPRD Kota Palangkaraya, pada tanggal 1
Januari 2001 dilakukan uji coba Puskesmas Swadana. Dalam hal ini, Puskesmas
Pahandut DURK (Daftar Usulan Rencana Kerja) yang selanjutnya disahkan menjadi
DRK oleh Walikota, dan disusul dengan pelaksanaan administrasi keuangan dengan
akuntabilitas yang akurat (zero error finance) dan pelaksanaan QA (Quality
Assurance). Tentu saja, penerapan pola swadana ini dibarengi dengan adanya
penyesuaian tariff.
Dengan diterapkannya pola swadana bagi puskesmas ini, maka stigma
pelayanan puskesmas dahulu yang kumuh, seadanya, tanpa pemeriksaan dokter,
kurang obat, dan sebagainya, sekarang ini sudah sangat berkurang. Bahkan saat
ini Puskesmas Pahandut mempunyai daya saing yang cukup kompetitiif dibanding
jasa pelayanan kesehatan lain seperti dokter praktik, klinik, bahkan RSUD
maupun RS Swasta.
Bukti kepuasan dan kepercayaan pelanggan (cq. pasien) ditandai dengan
angka kunjungan ke puskesmas yang dulunya fluktuatif per bulannya, sekarang
menjadi linier dan datar. Bahkan pendatang asing yang sakit banyak yang berobat
ke Puskesmas Pahandut karena bisa dilayani dalam bahasa Inggris. Selain itu,
Puskesmas Pahandut sering menerima kunjungan dari pihak/institusi lain untuuk
studi banding dan penelitian. Kinerja puskesmas juga dinilai sangat baik,
dimana berdasarkan hasil survey kepuasan pelanggan tahun 2003, 100 persen
pelanggan menyatakan puas terhadap pelayanan di Puskesmas Pahandut, Bukit
Hindu, dan Menteng. Sedangkan untuk Puskesmas Panarung,, masih terdapat 20
persen pelanggan menyatakan tidak puas. Disamping itu, tingkat kepuasan
pelanggan internal mencapai 81,3 persen.
Atas prestasinya dalam mewujudkan pelayanan terbaik bidang kesehatan
tadi, Puskesmas Pahandut menerima penghargaan sebagai Juara I Pelayanan Prima
dari Walikota Palangkaraya, serta anugerah penghargaan sebagai Juara II
Pelayanan Prima dari Gubernur Kalimantan Tengah untuk institusi pelayanan
publik.
Dari berbagai paparan diatas dapat dikatakan bahwa pengelolaan
puskesmas dengan pola swadana di Kota Palangkaraya dapat dikategorikan sebagai best
practice karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: [1]
·
Pola swadana tadi dapat mengurangi ketergantungan Puskesmas terhadap
APBD atau APBN, bahkan dapat menjadi sumber pendapatan baru (income
accumulation). Dengan dana ini, Puskesmas dapat melengkapi sendiri (self
help) kebutuhan barang-barang kebutuhan penunjang seperti AC, komputer, dan
lain-lain. Selain itu, dana yang diperoleh melalui pola swadana juga masih
digunakan untuk kegiatan lain dalam konteks public goods, yakni
program-program yang bersifat promotif dan preventif. Dengan kata lain,
dana swadana ini berdampak ganda, secara internal dapat memenuhi kebutuhan
terhadap sarana penunjang, dan secara eksternal makin meningkatkan program
pelayanan kesehatan.
·
Mampu mewujudkan prinsip value for money serta mencapai customer
satisfaction secara optimal. Ini berarti bahwa untuk setiap rupiah yang
dibayarkan oleh masyarakat, terdapat kompensasi berupa pemberian layanan yang
lebih baik, lebih ramah, dan lebih memuaskan.
·
Pola swadana juga berimplikasi pada keharusan untuk membangun
akuntabilitas dan transparansi anggaran. Dalam hal ini, Perda yang mengatur
mengenai tariff, serta penggunaan anggaran dalam kurun waktu tertentu, selalu
ditempel di papan pengumuman di Puskesmas yang bersangkutan. Dengan demikian,
masyarakat dapat mengontrol secara langsung jika terdapat indikasi penyimpangan
anggaran.
·
Pola swadana juga berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
pengelola puskesmas, sekaligus memperbesar peluang pengembangan kompetensi SDM.
Hal ini antara lain ditunjukkan dengan diselenggarakannya kursus-kursus
(termasuk bahasa Inggris) bagi pegawai.
Yang menjadi permasalahan adalah bahwa saat ini penyelenggaraan layanan
publik melalui pola swadana sudah tidak dibenarkan. Sebagai gantinya,
pemerintah telah mengeluarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang BLU (Badan Layanan
Umum). Pengertian BLU sendiri adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya, Pola
Pengelolaan Keuangan bagi Badan Layanan Umum (PPK-BLU), bersifat fleksibel
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Selain itu, menyikapi perubahan kebijakan tentang pola swadana, Depkes
telah mengubah istilah pola swadana menjadi Pola Swakelola, berdasarkan SK
Menkes No. 128/Menkes/SK/II/2004.
2.
Dari Rawa
Menjadi Lumbung Beras
Meskipun berbentuk Kota, namun Kota Palangkaraya memiliki potensi yang
cukup besar di bidang pertanian. Dengan kata lain, Kota Palangkaraya memiliki 2
(dua) wajah, yakni wajah perkotaan dan wajah pedesaan. Dilihat dari komoditas
unggulan, tanaman hortikultura yang banyak tumbuh dan berkembang meliputi
rambutan, pisang, nanas, nangka, dan cempedak. Sedangkan dilihat dari luas
panen produksi pertanian, Kota Palangkaraya memiliki lahan seluas 779 ha,
terdiri dari 124 ha padi ladang, 485 ha jagung, 126 ha ubi kayu, dan 44 ha ubi
jalar (BPS Kota Palangkaraya, 2004). Selain itu, Kota Palangkaraya juga sangat
kaya dengan minyak Nilam yang dapat diolah menjadi perfume (minyak
wangi) beraroma khas.
Sayangnya, berbagai potensi yang besar tersebut tidak bisa dimanfaatkan
secara optimal. Kendala utama yang dihadapi adalah kurang tertariknya investor
untuk menanamkan modal dan usaha. Iklim investasi yang kurang bergairah ini
sendiri disebabkan oleh dua faktor mendasar, yakni sedikitnya jumlah penduduk
serta belum tersedianya fasilitas infrastruktur (jalan dan jembatan, pelabuhan
laut dan udara, sarana komunikasi, dll) yang memadai. Kondisi seperti ini jelas
kurang menguntungkan bagi investor, karena return on investment-nya
menjadi kecil. Itulah sebabnya, komoditas potensial di Kota Palangkaraya belum
dapat terolah dengan baik, misalnya menjadi bahan olahan seperti makanan
kaleng, tepung pisang, makanan kering (keripik nangka), dan sebagainya.
Sebaliknya, banyak produk pertanian yang terancam busuk karena tidak memiliki
jaringan pemasaran yang luas dan cepat, didukung oleh jaringan transportasi
yang lengkap dan lancar.
Potensi Kota Palangkaraya yang lain adalah rawa-rawa. Selama ini tanah
lebak atau rawa tersebut dibiarkan saja dan menjadi lahan yang sama sekali
tidak produktif. Namun setelah dilakukan penelitian selama dua tahun terakhir,
ternyata rawa tersebut secara ekonomis sangat menjanjikan. Hal ini dibuktikan
dengan dilakukannya panen perdana pada tanggal 18 Oktober 2005 di Kelurahan
Bereng Bengkel, Kecamatan Sebangau.
Luas lahan yang dipanen memang tidak luas, yakni hanya 4,5 hektare
saja, dengan jenis bibit Varietas IR 64 dan Sukan Kuning yang termasuk kategori
bibit unggul. Lahan inipun dikelola atau digarap hanya oleh sekitar 8 KK.
Meskipun demikian, hal ini memiliki arti yang sangat istimewa karena beberapa alasan
sebagai berikut:
·
Panen ini adalah panen yang pertama. Artinya, telah terjadi terobosan
yang luar biasa, sehingga baru kali ini lahan rawa mampu menghasilkan padi
dengan kualitas baik, produktivitas tinggi, dan waktu yang relatif cepat.
·
Meskipun di lahan rawa ini hanya dapat dilakukan panen padi sekali
dalam setahun (mengingat lokasinya yang sering terkena banjir), namun masa
tanam (sejak penancapan bibit hingga panen) sangat cepat karena hanya
membutuhkan waktu 3 (tiga) bulan saja.
·
Produktivitas lahan rawa tadi sangat tinggi, yakni 3,38 ton gabah
kering per hektare, sementara produksi normal yang diperkirakan hanya 2,5 ton
per hektare. Padahal, tanaman padi di lahan ini tidak membutuhkan perawatan
khusus, termasuk tidak membutuhkan pupuk. Dan oleh karena tidak menggunakan
pupuk organik, maka padi yang dihasilkan termasuk kategori produk yang alamiah
atau ramah lingkungan (eco-product atau environmental friendly).
·
Prospek pengembangannya masih sangat besar, mengingat lahan rawa yang
ada masih sangat luas, yakni sekitar 600 hektare, bahkan bisa diperluas lagi
hingga 2000 hektare. Untuk tahun 2006 sendiri direncanakan untuk menambah areal
garapan menjadi 25 hektare. Dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, maka
dapat diharapkan tahun yang akan datang dapat dihasilkan sekitar 18,5 ton gabah
kering. Selain itu, jumlah petani penggarap juga akan terus bertambah, paling
tidak menjadi 48 KK pada tahun 2006.
·
Mekanisme rekrutmen bagi petani yang berminat menjadi penggarap
lahan-pun berjalan sangat demokratis. Dalam hal ini, karena lahan tersebut
masih berstatus milik negara, maka para petani yang menggarapnya hanya memiliki
hak garap saja. Sedangkan untuk dapat menjadi penggarap atas lahan tersebut,
seseorang (diutamakan pengangguran dan kelompok miskin lainnya) cukup mendaftar
kepada petugas penyuluh pertanian, dan akan diberikan sejumlah lahan tertentu
yang wajib dikelolanya.
Yang masih menjadi persoalan saat ini adalah sistem irigasi yang belum
menunjang. Jaringan irigasi yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan air di saat
kemarau dan mencegah banjir di musim penghujan. Akibatnya, para petani harus
benar-benar cermat dalam memperhitungkan waktu turun hujan dan kemungkinan
datangnya banjir, sehingga dapat melakukan penanaman tepat pada waktunya. Salah
sedikit saja, maka terbuka ancaman gagal panen. Dalam rangka mengatasi
permasalahan yang ada sekaligus meningkatkan kualitas program ini pada
masa-masa mendatang, maka dalam waktu dekat ini akan dibentuk Posko atau Tim
Terpadu lintas instansi seperti dari Kantor PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Dinas Pertanian, Kantor Pertanahan, Kecamatan dan Kelurahan, serta instansi
lain yang dipandang perlu), guna merencanakan dan mensinergiskan
program-program yang akan ditempuh.
Dari berbagai paparan diatas dapat dikatakan bahwa pengelolaan lahan
rawa menjadi lahan pertanian produktif di Kota Palangkaraya dapat dikategorikan
sebagai best practice karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
·
Pembukaan lahan rawa menjadi areal pertanian ini merupakan sumber baru
produksi beras, sumber baru mata pencaharian bagi penduduk miskin dan
pengangguran, serta sumber penghasilan baru bagi para petani penggarap. Bahkan
banyak pihak berharap bahwa tanaman padi ini akan menjadi primadona baru bagi
Kota Palangkaraya, paling tidak mengurangi ketergantungan terhadap supply beras
dari daerah lain. Dengan kata lain, jika program ini berjalan secara
berkesinambungan, bukan tidak mungkin Kota Palangkaraya akan menjadi salah satu
pilar mewujudkan swasembada beras, baik untuk daerahnya sendiri, maupun untuk
wilayah yang lebih luas.
·
Program ini juga menjadi strategi pengentasan kemiskinan yang jitu.
Sebagaimana diketahui, para petani penggarap lahan rawa ini adalah bekas
perambah hutan dan nelayan. Namun kehidupan sebagai perambah hutan dan nelayan
dirasakan tidak pernah mengalami peningkatan. Sebaliknya, baru setahun bercocok
tanam ternyata sudah memperoleh hasil yang nyata. Disamping itu, Gubernur
Kalteng pada acara panen perdana tadi juga menegaskan bahwa pertanian akan
dijadikan sektor prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
·
Program ini telah merubah asset daerah yang selama ini tidak berharga (idle
capacity) menjadi asset yang sangat produktif. Tentu saja, hal ini tidak
saja akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani penggarap, namun juga
akan memperkokoh indikator ekonomi makro di daerah seperti perdapatan per
kapita, PDRB, angka pengangguran, dan sebagainya, bahkan juga akan
berkontribusi pada peluang untuk memperkuat basis pendapatan asli daerah (PAD).
Penutup
Secara umum dapat dikatakan bahwa
tingkat kemajuan pembangunan di wilayah Kalimantan relatif tertinggal dibanding
wilayah Indonesia bagian barat, khususnya Jawa dan Bali. Kondisi ini merupakan
hal yang ironis, mengingat adanya dua alasan/kondisi, yaitu: 1) Kalimantan
merupakan kontinen yang memiliki kekayaan alam melimpah seperti migas dan
tambang, sumber daya laut dan perikanan, kehutanan dan perkebunan, dan
sebagainya; serta 2) Kalimantan memberi kontribusi yang sangat besar terhadap
pendapatan negara, khususnya dari sektor migas, tambang serta potensi hutan dan
hasil kayu. Ketertinggalan pembangunan wilayah Kalimantan tadi dapat
dipersepsikan sebagai akibat kesalahan sistemik dalam konsep pembangunan secara
makro nasional, atau karena mis-management dalam pengelolaan dan
pengembangan sumber daya lokal, atau faktor-faktor penyebab lainnya.
Namun berbagai contoh diatas
mengilustrasikan bahwa banyak pemerintah daerah di Kalimantan yang telah mampu
berubah dan berpikir kreatif untuk membangun daerahnya. Inovasi dan terobosan
kebijakan yang ditempuh, secara nyata telah menghasilkan manfaat yang luar
biasa. Kondisi ini sekaligus menyiratkan bahwa pemerintah daerah di Kalimantan
secara umum telah siap melaksanakan kebijakan otonomi luas secara penuh. Ini
berarti pula bahwa reformasi birokrasi di tingkat daerah, khususnya di wilayah
Kalimantan, telah berjalan dengan cukup baik dan menjanjikan (promising
reform).
Bahkan tidak terlalu berlebihan
rasanya untuk mengatakan bahwa Kalimantan menyimpan potensi dan prospek yang
sangat besar untuk menjadi pilot, kiblat, dan/atau percontohan bagi
daerah-daerah lain dalam aspek manajemen pemerintahan daerah. Hal ini dapat
disimak dari banyaknya terobosan, inovasi, dan keberhasilan dalam berbagai
bidang, sehingga banyak instansi eksekutif maupun legislatif di Sumatera, Jawa,
Sulawesi dan wilayah lain yang berkunjung dan “belajar” (baca: studi banding)
kepada propinsi dan kabupaten/kota di wilayah Kalimantan.
Fakta seperti ini tentu sangat
layak untuk diapresiasi dan sekaligus dipromosikan. Sebab, selama ini ada
pencitraan bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang miskin dan terbelakang,
bodoh dan kurang kreatif, serta tidak mandiri dan cenderung tergantung pada
pemerintah pusat. Persepsi salah seperti ini jelas membutuhkan klarifikasi,
bahwa Kalimantan dalam dinamikanya saat ini sesungguhnya sangat jauh berbeda dibanding
Kalimantan dalam alam pikiran banyak orang. Jika daya kreasi dan inovasi tadi
dapat dikembangkan terus menerus, secara optimis dapat diyakinkan bahwa dalam
satu dekade kedepan, Kalimantan akan menjadi ikon baru dalam manajemen
pemerintahan daerah di Indonesia.
Dalam konteks membangun “Kalimantan
Baru” tadi, maka semangat dan komitmen seluruh jajaran pemerintah daerah di
kontinen terluas di Indonesia ini perlu diperbaharui dan diperkuat. Disini,
penulis mengusulkan perlunya diusung semboyan pembangunan yang berfungsi
sebagai “Visi Kalimantan Bersatu”, yakni “Membuka
Kalimantan Untuk Indonesia dan Dunia” serta “Membangun Indonesia
Dari Kalimantan”. Adapun operasionalisasi semboyan tadi, tentu
membutuhkan proses komunikasi antar stakeholders di bumi Kalimantan
Raya.
Referensi:
Bappeda Kota
Palangkaraya, 2004, Analisa dan Identiifikasi Sektor / Sub Sektor Unggulan
Dalam Perekonomian Regional Kota Palangkaraya.
____________,
2005, Survei Prioritas Pelayanan Masyarakat, Laporan Akhir Penelitian.
Buletin
Prolima, Agustus 2004, diterbitkan oleh Proyek Kesehatan V (Health Project V),
Dep. Kesehatan, Jakarta.
Dinas
Kesehatan Kota Palangkaraya, 2003, Laporan Hasil Survey Tingkat Kepuasan
Pelanggan Kota Palangkaraya Tahun 2003, Tim Quality Assurance Dinkes,
Palangkaraya.
____________,
2003, Perkembangan Puskesmas Swadana di Kota Palangkaraya, Sekretariat
HP V Dinkes, Palangkaraya.
Dirjen
Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 1999, Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas Unit
Swadana, Dep. Kesehatan, Jakarta.
Jurnal “Borneo
Administrator”, 2005, Vol. 1 No. 1, Samarinda: PKP2A III LAN.
____________,
2005, Vol. 1 No. 2, Samarinda: PKP2A III LAN.
Kalteng Pos,
Melihat Panen Perdana Padi di Lahan Rawa Bereng Bengkel: Tanpa Pupuk, 1
Hektar Bisa Hasilkan 3,38 Ton Gabah, Rabu, 19 Oktober 2005.
____________, Pertanian Jadi Prioritas, Rabu, 19 Oktober 2005.
Kaltim Post,
Hadapi Pasca Migas di Bontang: PKK Manfaatkan
Pelepah Pisang, Jumat, 18
Maret 2005.
____________,
Catatan Perjalanan Jurnalistik Humas Pasir (1): Kunjungi Eks PT BHP KCI
Petangis, 2 Agustus 2005.
____________,
Catatan Perjalanan Jurnalistik Humas Pasir (2): Dulunya Areal Tambang
Gersang, Sekarang Danau dengan Hamparan Hutan, 3 Agustus 2005.
____________,
Catatan Perjalanan Jurnalistik Humas Pasir (3), 4 Agustus 2005.
____________,
Bekas Tambang BHP Jadi Obyek Wisata, Dibuka Untuk Umum 6 November 2005,
25 Oktober 2005.
Tribun
Kaltim, Kaltim Bisa Jadi Sentra Industri Mebel Nasional: Pelepah
Pisang pun Mampu Tingkatkan PAD, Jumat, 18
Maret 2005.
____________, Bontang Jadi Kawasan Koperasi: Dicanangkan Menteri Koperasi Juli
Mendatang, Sabtu, 19
Maret 2005.
____________,
Sulap Eks Tambang Jadi Tempat Wisata (1): Ada Angsa Liar hingga Macam Tutul,
1 Agustus 2005.
____________,
Sulap Eks Tambang Jadi Tempat Wisata (2-Habis): Pengunjung Bebas Memancing
Ikan, 2 Agustus 2005.
____________,
Menpera Kagumi Kampung Air: Dijadikan Proyek
Percontohan Daerah Lain, Sabtu, 19
Maret 2005.
[1] Model-model
best practices di bidang kesehatan yang lain terjadi pula di Kabupaten
Mamuju yang menerapkan LRC (Learning Resource Center) sebagai UPTD;
Kabupaten Bulukuma yang memberlakukan Voucher dalam pelayanan kebidanan;
Bapelkes Salaman di Magelang (Jawa Tengah) yang menerapkan pendekatan strategi
pembelajaran PHC (Primary Health Care), dan sebagainya.
Gabung Yuk Di Ligasuper88 Bandar Taruhan Online Paling Top
BalasHapus------------------------------------------
☑ Sportsbook
☑ Live Casino
☑ Slot Online
☑ Sabung Ayam
☑ Tembak Ikan
☑ Toto Draw
------------------------------------------
🧧 New Member Sportsbook 30%
🧧 New Member Casino 30%
🧧 New Member Slot 50%
🧧 Cashback Sportsbook 10%
🧧 Rollingan Casino 1%
🧧 Rollingan Slot 1%
------------------------------------------
💰 Min. DP 25.000
💰 Min. WD 50.000
------------------------------------------
📲 Whatsaap :+85561375501
📲 Line : Ligasuper88
🌐 Www. Ligasuper88 .Com
Gabung Yuk Di Ligasuper88 Bandar Taruhan Online Paling Top
BalasHapus------------------------------------------
☑ Sportsbook
☑ Live Casino
☑ Slot Online
☑ Sabung Ayam
☑ Tembak Ikan
☑ Toto Draw
------------------------------------------
🧧 New Member Sportsbook 30%
🧧 New Member Casino 30%
🧧 New Member Slot 50%
🧧 Cashback Sportsbook 10%
🧧 Rollingan Casino 1%
🧧 Rollingan Slot 1%
------------------------------------------
💰 Min. DP 25.000
💰 Min. WD 50.000
------------------------------------------
📲 Whatsaap :+85561375501
📲 Line : Ligasuper88
🌐 Www. Ligasuper88 .Com