Laman

Sabtu, 25 Juni 2011

Antara "Temporary System" dan "Permanent System"


Dalam setiap penyelenggaraan diklat, akan selalu muncul pertanyaan tentang koneksitas antara diklat sebagai temporary system dengan instansi tempat kerja sebagai permanent system. Diantara keduanya dapat diidentifikasikan paling sedikit dua macam gap. Pertama, gap antara teori dan praktek, yaitu antara materi yang dipelajari dalam diklat dengan peluang aplikasinya di tempat kerja. Faktanya, banyak sekali teori, model, good practices, atau materi-materi yang sangat bagus ternyata hampir seluruhnya tidak dapat dibumikan dan/atau direplikasikan. Kedua, proses pembelajaran yang berlangsung selama diklat diharapkan dapat berlanjut di tempat kerja, namun kenyataannya tidak terjadi. Teorinya, tempat pembelajaran yang hakiki adalah pembelajaran di tempat kerja. Namun yang lebih sering terjadi, pembelajaran berhenti bersama dengan selesainya program diklat. Peningkatan kompetensi kognitif yang diperoleh tidak lebih hanya sekedar “oleh-oleh” dari pada sebuah modal intelektual untuk pembenahan organisasi.

Filosofi dasar diklat sendiri diselenggarakan untuk menutup celah kompetensi seseorang agar lebih efektif dan produktif dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam hal ini, desain diklat secara umum sudah sangat bagus untuk membangun kompetensi peserta, sekaligus membantu peserta untuk melakukan diagnosa permasalahan, pengembangan alternatif solusi, hingga pengambilan keputusan yang terbaik lengkap dengan instrumennya. Sebagai contoh, di Diklatpim II ini kami belajar bagaimana mengidentifikasi 7 ketidakmampuan belajar (learning disabilities), yang dengan mudah dan cepat bisa kami temukan. Ketika kita sudah tahu letak ketidakmampuan belajar kita, maka dengan relatif mudah juga akan dapat dirumuskan strategi untuk meminimalisasi, sehingga roda organisasi akan berjalan lebih mulus dan lancar. Namun, belum menjadi kelaziman untuk menyebarkan istrumen yang sama ke seluruh pegawai untuk mengetahui ketidakmampuan belajar dan cara mengatasinya.

Demikian pula saat kami belajar tentang gaya belajar (learning style inventory), kami menjadi paham bahwa empat gaya belajar yang ada yaitu Diverger, Assimilator, Konverger, dan Akomodator memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing. Sebuah organisasi akan memiliki peluang untuk belajar lebih cepat jika dalam organisasi tersebut terdapat pegawai dengan gaya belajar yang beragam. Dengan keragaman tadi, maka seseorang yang mempunyai gaya belajar diverger akan mampu mengisi kekurangan orang dengan gaya assimilator. Gaya assimilator selanjutnya akan menutupi kekurangan orang dengan gaya konverger. Pada gilirannya, gaya konverger akan dapat menyempurnakan orang dengan gaya akomodator, dan begitu seterusnya membentuk sebuah siklus yang dinamis dan saling memperkuat (reinforcing). Sayangnya, meskipun sudah terlalu banyak orang mengetahui ilmu ini, toh tetap saja belum pernah dipraktekkan dalam dunia kerja.

Oleh karena itu, jika ternyata kompetensi yang diperoleh selama diklat tidak dapat diaplikasikan di tempat kerja, maka sesungguhnya telah sia-sialah seluruh waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk terselenggaranya diklat tersebut. Kecenderungan diskoneksitas dan diskontinuitas antara keduanya telah menjadi keprihatian yang meluas dikalangan birokrasi. Pertanyaan retoris yang sering kita dengar, misalnya, mengapa sikap perilaku dan kinerja seseorang tidak berubah setelah ikut diklat?; mengapa masih banyak penyimpangan meski program diklat semakin massive?; mengapa pembelajaran seorang alumni diklat tidak tertransformasikan kepada kolega dan bawahannya?; dan sebagainya.

Berbagai pertanyaan tadi mengantarkan kita pada pertanyaan fundamental, yakni mengapa pembelajaran pada temporary system tidak dapat atau sedikit sekali diterapkan pada permanent system? Sub-sistem apa yang berkontribusi terhadap kegagalan tersebut?

Terus terang, saya juga tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun terdorong oleh hasrat untuk menguak misteri yang ada, saya mencoba melakukan kontemplasi mendalam dan menemukan dugaan-dugaan sebagai berikut. Pertama, diklat tidak mampu menutup gap kompetensi karena memang gap antara kemampuan individu pegawai (individual level) dengan standar kompetensi jabatan, dan gap antara SDM organisasi (institutional level) dengan kemampuan untuk mewujudkan visi-misi organisasi, tidak pernah teridentifikasikan sebelumnya. Bagaimana akan menutup gap atau celah, jika lobangnya sendiri belum ditemukan? Kedua, siklus diklat sering terputus oleh “ritual” penutupan, dan tidak dilanjutkan dengan sebuah evaluasi yang mendalam dan menyeluruh. Kalaupun ada, evaluasi lebih banyak menyentuh aspek “persepsi” yang tidak terukur, atau tidak diperkuat oleh parameter untuk mengetahui korelasi / pengaruh langsung diklat terhadap kinerja alumni.

Maka, agar terjadi koneksitas dan kontinuitas antara temporary system dengan permanent system, perlu diciptakan “jembatan” antar keduanya. Salah satu instrumen yang dapat difungsikan sebagai jembatan, menurut saya, adalah kontrak pembelajaran (learning contract) yang pada hakekatnya adalah sebuah Perencanaan Kinerja (Renja) diklat. Artinya, peserta harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum masuk kedalam program Diklat, misalnya: mengapa saya (harus) ikut diklat?; pada level mana kompetensi saya saat ini?; apa yang akan atau harus saya pelajari / kuasai dari diklat tersebut?; manfaat apa yang harus saya peroleh dari diklat tersebut?; kompetensi baru apa yang harus saya raih, dan pada level mana seharusnya kompetensi diri saya meningkat?; bagaimana menerapkan manfaat yang diperoleh dari diklat tersebut, dan bagaimana bentuk penerapannya?, dan sebagainya. Dengan demikian, peserta tidak hanya sekedar “faktor produksi” yang akan diproses atau diolah dalam rangkaian diklat, namun mereka juga sebagai designer atau programmer yang harus menjadikan diklat sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuannya (tujuan Individu – Kelompok – Organisasi).

Selain itu, sekuensi diklat sebaiknya tidak seperti sekarang, dengan komposisi pokok berupa proses pembelajaran – orientasi /studi lapangan seminar, namun diubah menjadi learning (concept) modeling (construct) uji coba (piloting). Sekuensi baru tersebut mensyaratkan sebuah Diklat tidak dilaksanakan secara “sekali dan selesai”, namun dibagi menjadi tiga kategori strategi / kompetensi, kemudian disebar penyelenggaraannya dalam kurun waktu tertentu. Tiga tahap ini sifatnya siklis menjadi tiga tahap, sehingga semuanya terdiri dari sembilan tahap. Sebagai contoh, jika sebuah Diklat durasinya 3 bulan, maka 1 bulan pertama harus selesai dengan 3 putaran tersebut. Break 2 bulan untuk evaluasi dan penyempurnaan hasil piloting, dirumuskan menjadi learning contract untuk 1 bulan ke-2. Setelah selesai, break lagi 2 bulan, susun lagi learning contract, terus masuk masa 1 bulan ke-3. Dengan demikian, dari konsep 1, konstruk 1, piloting 1, dilanjut hingga konsep 3, konstruk 3, piloting 3, akan menjadi hasil yang benar-benar matang dan siap diimplementasikan di tempat kerja.

Jika gagasan ini dapat diterima dan dikembangkan, maka diharapkan akan terjadi transformasi diklat dari peran tradisionalnya sebagai pengungkit (leverage) perubahan, kepada peran baru sebagai faktor utama (condition sine qua non) perubahan organisasi.

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 23 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar