Laman

Selasa, 28 Juni 2011

Quality Control Dalam Diklat Aparatur


Meskipun telah lebih 17 tahun bekerja di LAN, namun saya belum pernah mendapat penempatan di bidang diklat, kecuali pada saat orientasi semasa masih berstatus CPNS. Maka, tidaklah mengherankan jika saya juga tidak terlalu paham bagaimana kebijakan, proses, dan instrumen yang digunakan untuk menjamin kualitas diklat. Yang pasti, quality control adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam program diklat, sebab program diklat yang berkualitas akan melahirkan institusi penyelenggara yang berwibawa, dan wibawa organisasi akan membentuk citra positif organisasi (branding) dimata pelanggannya.

Dalam salah satu episode Golden Ways-nya, Mario Teguh pernah menyatakan bahwa citra organisasi ditentukan oleh keselarasan visi misi seluruh anggotanya. Jika ada perilaku anggota organisasi yang bertolak belakang dengan konsensus yang telah disepakati secara kolektif, maka akan hancurlah citra organisasi itu, ibarat peribahasa “karena nila setitik rusak susu se belanga”. Sehebat apapun Kepolisian RI melakukan reformasi internal, akan sia-sia jika di lapangan masih banyak dijumpai oknum yang melakukan pungli maupun penilangan yang berujung “perdamaian”. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat, seluruh komponen yang ada di dalamnya baik jajaran pembina (pejabat struktural), widyaiswara, pelaksana/panitia diklat, hingga petugas teknis seperti Satpam, haruslah memahami sepenuhnya dan memegang teguh shared vision dan values yang ada.

Nah, kuriositas dalam hati saya adalah, bagaimanakah manajemen diklat melakukan kendali terhadap seluruh komponen yang ada sekaligus menjamin bahwa mereka patuh dan tunduh terhadap sistem nilai yang berlaku? Kuriositas saya menjadi semakin menggumpal karena praktek-praktek yang semestinya tidak terjadi, justru terjadi di depan mata saya. Maklumlah karena posisi saya sebagai peserta diklat yang membaur dan hidup di tengah-tengah peserta lainnya, maka peristiwa yang muncul dan dialami teman-teman peserta tidak luput dari pengamatan saya.

Terjadinya distorsi antara sistem nilai dengan praktek misalnya terjadi dalam aturan tentang “jam malam”. Sebagaimana tertuang dalam buku panduan dan penjelasan program, pada jam 22.00 pintu gerbang sudah tertutup dan tidak diperkenankan peserta untuk keluar atau masuk kampus. Satpam juga diberi hak untuk menegur peserta jika melanggar ketentuan ini. Namun kenyataannya, cenderung terjadi opportunistic behavior yang mengorbankan sistem, dimana Satpam sebagai sub-sistem diklat memberi kelonggaran kepada peserta untuk menabrak aturan “jam malam” hanya karena mengharap sesuatu dari peserta.

Penyelenggara nampaknya juga mengalami keterbatasan kendali terhadap aturan yang berkenaan dengan kehidupan di asrama. Sebagai contoh, jika ada komplain tentang makanan yang kurang, protap (prosedur tetap) seperti apa yang ditempuh oleh penyelenggara, apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran ataukah ada proses check and cross-check untuk mengetahui kondisi riilnya? Demikian pula dalam hal terjadi pelanggaran disiplin seperti menerima tamu dalam kamar, bagaimana penyelenggara mendeteksi kasus ini? Kasus “besar” yang nampaknya juga luput dari perhatian penyelenggara adalah kasus seseorang yang tidak masuk kelas seharian namun daftar hadir lengkap karena diisi oleh temannya. Satu hal lagi, masalah klasik yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah fakta adanya fenomena ghost writer yang mengerjakan tugas-tugas individu peserta. Meskipun tidak nampak, namun keberadaannya sangat mudah dirasakan. Sayangnya, respon penyelenggara masih kurang proaktif dan cenderung menggunakan prinsip “tutup mata, tutup telinga”. Artinya, penyelenggara sangat mengutuk praktek plagiarisme dan pengerjaan tugas oleh orang lain, akan tetapi tidak berbuat secara konkrit untuk memberantas “tuyul-tuyul” yang bergentayangan. Padahal, sebuah institusi akan berwibawa jika aturan yang dibuat dan disepakati dapat ditaati, dihormati, dan ditegakkan manakala terjadi pelanggaran. Jika tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menegakkan aturan, lebih baik aturan tersebut tidak diberlakukan sejak awal.

Sekedar pemikiran untuk memperkuat fungsi quality control dalam diklat, saya meyakini bahwa pendekatan partisipatif merupakan metode yang sangat efektif untuk mengontrol program diklat A-Z. Maknanya, penyelenggara harus terlibat langsung dalam setiap aktivitas yang dilakukan peserta. Dengan demikian, penyelenggara perlu makan bersama, senam bersama, dan tinggal bersama peserta di asrama. Sementara dalam dimensi akademik, keterwakilan penyelenggara hendaknya selalu ada di setiap kelas.

Model partisipatif ini bukan berarti tidak memberikan ruang kebebasan kepada peserta atau tidak mempercayai perilaku harian peserta. Model ini justru dimaksudkan untuk mengurangi gap komunikasi antara peserta dan penyelenggara melalui hubungan yang cair, membaur, dan menyatu. Dalam hubungan yang cair seperti itu, maka tidak ada lagi kedudukan selaku peserta atau penyelenggara, namun keduanya sama-sama mengemban misi untuk menjaga diklat agar menjadi momentum yang menyenangkan dan program yang produktif untuk membangun kinerja organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar