Laman

Sabtu, 25 Juni 2011

"Diana Leadership" Dalam Diklat Aparatur


Satu sisi dalam Diklatpim II yang sayang untuk dilewatkan adalah kewajiban senam pagi setiap Selasa, Rabu dan Kamis. Ternyata, banyak juga hal yang dapat dipelajari dari sessi yang berlangsung dari jam 05.30 s/d 07.00 ini, termasuk soal kepemimpinan. Siapa pemimpin lapangannya? Dia adalah Diana. Ya … Diana adalah nama instruktur senam pagi selama program diklat berlangsung. Meski tugasnya terkesan sepele dan hanya menjadi bagian kecil dari sistem diklat aparatur, namun sesungguhnya ia juga mencerminkan sosok pemimpin. Harold Koontz (1989) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusiasme. Definisi dari George R. Terry, FA. Nigro, Tannenbaum, dan lain-lain juga menegaskan inti kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain atau menuntut ketaatan dari orang lain.

Faktanya, Diana memiliki kedua kemampuan tersebut. Perilaku peserta senam terbentuk secara seragam mengikuti irama yang dimainkan Diana. Orang yang sama sekali tidak pernah senam pun berusaha sekuat tenaga untuk meniru semirip mungkin gerakan Diana. Peserta senam memberi perhatian penuh terhadap Diana, terlihat dari arah pandangan yang fokus kepada dirinya. Boro-boro komplain, tidak seorang peserta pun yang mencoba memberi alternatif gerakan senam yang lebih baik. Singkatnya, Diana adalah pemimpin tunggal di lapangan yang setiap instruksinya diikuti dengan koor yang kompak. Bahkan ketika Diana bertanya: Mana suaranyaaa?”, seketika riuh rendah beragam suara memberi sambutan secara meriah.

Uniknya, Diana tidak pernah menegur peserta yang tidak mengikuti gerakannya. Dia juga tidak pernah mengancam akan memberi sanksi bagi siapa saja, termasuk yang tidak datang ke lapangan. Dia tetap saja happy dengan situasi disekelilingnya meski dia sadar bahwa karakter orang-orang disekitarnya sangat beragam. Nampaknya Diana tahu betul bahwa orang-orang yang datang kepadanya adalah orang dewasa yang telah menyadari hak dan kewajiban masing-masing, sehingga model pembelajaran yang diberikan Diana juga model pembelajaran orang dewasa (andragogi). Nampaknya, Diana memahami betul metode ini sehingga yang dia lakukan lebih banyak bersifat motivasi, persuasi, serta pemberian contoh (suri tauladan) yang konkrit.

Adalah hal yang ironis ketika sosok Diana begitu ditaati oleh peserta, sedangkan penyelenggara diklat yang jelas-jelas memiliki otoritas formal harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga peserta agar berperilaku sesuai tata tertib dan seperangkat aturan yang telah disiapkan lembaga. Ada saja peserta yang merasa sangat merdeka ketika sessi senam pagi, namun tiba-tiba merasa terkekang dalam formalitas diklat di sessi-sessi berikutnya. Apa yang salah dengan situasi seperti ini? Bukankah penyelenggara adalah pemimpin yang sebenarnya untuk peserta diklat? Namun faktanya, mengapa sosok Diana lebih menonjol dan lebih disukai?

Tentu saja, teori yang berbeda akan memberikan penjelasan yang berbeda pula. Salah satunya adalah kepemimpinan situasional yang diajarkan Paul Hersey dan Ken Blanchard. Dari empat gaya kepemimpinan directing (telling), coaching, supporting (participating) dan delegating, kepemimpinan hanya akan efektif jika diterapkan dalam situasi yang tepat – meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu. Dalam prinsip pembelajaran untuk orang dewasa (andragogi), pada diri peserta diasumsikan sudah terdapat dua macam kompetensi, yakni kompetensi kognitif berupa seperangkat pengetahuan dan pengalaman, serta kompetensi afektif berupa sikap kedewasaan dan kesadaran tentang eksistensi dirinya.

Dengan dua jenis kompetensi tersebut, maka gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk mendampingi mereka dalam proses diklat adalah gaya supporting participating, disusul dengan gaya delegating dan coaching secara seimbang, serta menghindari sebanyak mungkin gaya directing. Gaya directing dicirikan oleh tingginya tingkat penugasan dan rendahnya hubungan interpersonal (high tasks and low relationship), sedangkan gaya supporting dicirikan oleh tingginya hubungan interpersonal dan rendahnya penugasan (high relationship and low tasks). Kalau mau jujur, gaya yang lebih dikembangkan saat ini di Diklatpim II adalah gaya pelatihan (coaching) – meski keberadaan pelatih telah diposisikan sebagai mitra – dan sedikit directing. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya target jumlah produk pembelajaran yang harus dihasilkan baik secara individual maupun kelompok, bahkan pada tingkatan kelas atau angkatan. Pada saat yang sama, interaksi interpersonal antara peserta dengan penyelenggara sangat sedikit sekali terjalin. Paling banyak hubungan terjadi antara peserta dengan widyaiswara, petugas absen, petugas laundry, dan satpam, sementara dengan manajemen diklat seperti Deputi V, Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan, para pejabat Eselon III dan IV, serta staf penyelenggara lainnya, bisa dikatakan nihil. Hingga minggu kedua, hanya sekali ada pertemuan dengan penyelenggara, itupun cuma dalam sessi penjelasan program. Demikian pula, pertemuan dengan Kepala LAN hanya terjadi dalam konteks ceramah, bukan dalam fungsi pembinaan diklat atau dialog antara service provider dengan user-nya.

Nah, disinilah kepemimpinan model Diana menunjukkan keunggulannya. Dalam setiap pelaksanaan tugasnya, dia selalu menjalin kontak langsung dengan peserta, bukan hanya dengan suaranya atau gerakannya, namun juga dengan bahasa tubuhnya, semangatnya, totalitasnya, kedisiplinannya, dan senyumnya. Tidak heran, sosok Diana menjadi lebih populer dibanding sosok lain yang mestinya lebih berwibawa.

Teori X dan teori Y dari Mc. Gregor sebagai hasil klasifikasi dua jenis tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y, mungkin juga dapat sedikit memberi penjelasan. Menurut teori X, pada dasarnya manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya; (b) karenanya manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai; (c) para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah untuk melakukan sesuatu; dan (d) kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yang berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju. Sementara itu teori Y menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain; (b) para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri; (c) pada umumnya para pekerja akan menerima tanggungjawab yang lebih besar; dan (d) mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan bukan semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber, 1960, dalam Siagian, 1989).

Manajemen diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, juga tidak lepas dari kecenderungan mempersepsikan peserta selayaknya manusia tipe X. Pada sesi pengarahan program, misalnya, peserta dicekoki dengan berbagai macam kewajiban, larangan, dan etika berperilaku lengkap dengan sanksi yang mungkin diterima. Saat acara tanya jawab, seorang peserta sampai bertanya: ”Dari tadi kami hanya dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang harus kami penuhi. Lantas apa hak-hak kami selaku peserta?”. Pada poin inilah, kapasitas penyelenggara masih perlu banyak pembenahan. Akan jauh lebih elegan jika peserta disambut dengan sikap dan pernyataan yang encouraging, diposisikan sebagai sub-sistem penting bagi institusi, dihormati sebagai sumber pengetahuan dan kearifan, dilayani dengan segenap sumber daya dan sarana yang ada untuk menumbuhkan rasa betah laksana di rumah sendiri, serta diperlakukan layaknya perusahaan memperlakukan pelanggan setianya.

Peserta memang harus siap lahir batin dengan berbagai konsekuensi atas keikutsertaannya dalam diklat (baca Jurnal #2: Ketika Perubahan Menghampiri Kita ...). Namun tidak ada salahnya pula bagi penyelenggara untuk terus meningkatkan kapasitas leadership-nya guna menghasilkan proses diklat yang sinergis serta output diklat yang benar-benar sesuai harapan semua pihak. Sebab, kepemimpinan bukan hanya sebuah ilmu, namun lebih merupakan seni. Bisa jadi, orang yang tidak pernah belajar ilmu kepemimpinan, lebih berhasil menjadi pemimpin dibanding orang yang kenyang teori-teori kepemimpinan, sepeti Diana, atau Walikota Solo, Joko Widodo.

Akhirnya, penguatan kapasitas leadership penyelenggara yang makin menguat diharapkan akan menjadi trade-off bagi Diana Leadership. Semoga!

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 21 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar