Laman

Sabtu, 25 Juni 2011

Pembagian Kelas: Sebuah Takhayul?


Adalah hal yang lumrah dan sudah berlangsung puluhan tahun bahwa peserta Diklatpim II selalu dikelompokkan dalam kelas-kelas, ada kelas A dan ada kelas B. Sekilas tidak ada yang aneh atau patut dipertanyakan dengan pembagian seperti itu, hingga munculnya selentingan-selentingan bawah sadar yang membutuhkan penelusuran lebih seksama. Pagi hari tadi, misalnya, seorang teman menanyakan kapan tanda pengenal peserta untuk kelas B dibagikan, mengingat kelas A sudah memperoleh hari Jum’at yang lalu. Alhamdulillah, pada sessi kedua (jam 10.45) kami semua sudah mendapatkannya. Selentingan teman tadi seketika mengingatkan saya pada selentingan salah seorang pengajar diklat ketika kami bertemu hari Kamis, atau pada hari ketiga Diklatpim II berlangsung. Dia bertanya: “Kenapa ya kelas B terlihat lebih santai dan cair dari pada kelas A?” Dia menambahkan bahwa pengalaman penyelenggaraan Diklatpim angkatan-angkatan sebelumnya juga relatif sama. Terus terang, saya tidak dapat menjawab pertanyaan retoris tadi karena saya sendiri belum mampu membandingkan situasi dan kinerja antara kelas A dan B. Namun beberapa selentingan seolah memberi pembenaran bahwa antara kelas A dan B memang selalu memiliki karakter yang berbeda.

Saya jadi teringat ketika anak saya pindah sekolah dari Samarinda ke Tangerang Selatan mengikuti ayahnya yang dimutasi ke kantor Pusat di Ibukota. Pada saat saya dan istri mendaftarkan ke SD Negeri di wilayah Serpong Utara, Kepala Sekolah SD tersebut menanyakan ranking anak-anak saya sewaktu di Samarinda. Dia menjelaskan bahwa jika ranking-nya 1 s.d. 5, maka akan dimasukkan ke kelas A, sedangkan jika menempati ranking 6 keatas akan ditempatkan di kelas B. Singkatnya, kelas A memang didesain sebagai kelompok orang-orang yang memiliki kelebihan dibanding kelas lainnya.

Namun dalam konteks Diklatpim II, saya tahu bahwa tidak ada pertimbangan kepandaian, kepangkatan, track record kinerja, atau prestasi lainnya dalam penempatan seseorang ke kelas tertentu. Tapi apa boleh buat, karena A dan B menunjukkan jenjang atau leveling sebagaimana 1 dan 2, maka kesan bahwa kelas A adalah kelas 1 dan kelas B adalah kelas dibawahnya, tidak bisa terelakkan. Dalam alam bawah sadarnya, mereka yang masuk kelas A mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok dengan kecakapan diatas rata-rata, sementara mereka yang “terpaksa” masuk kelas B harus siap untuk belajar lebih gigih jika ingin menyamai rekannya di kelas A. Bisa jadi, subconscious mind seperti itulah yang membuat peserta di kelas B merasa tidak perlu repot-repot belajar atau mengejar prestasi, karena urusan prestasi adalah domain kelas A. Sebagai gantinya, kelas B lebih memilih untuk menikmati program diklatnya dengan kelakar, senda gurau dan aktivitas apapun yang mendatangkan rasa rileks dan santai.

Maka, terbentuklah takhayul bahwa kelas A selalu lebih baik dan lebih hebat dari pada kelas B. Dikatakan takhayul karena hal tersebut telah menjelma menjadi keyakinan yang diperkuat dengan fakta-fakta empirik bahwa sang juara lebih sering lahir dari kelas A dibanding kelas yang lain. Padahal, prestasi itu sama sekali tidak terbentuk oleh kebijakan penempatan kelas, melainkan oleh keyakinan seseorang dialam bawah sadarnya bahwa dia cerdas/unggul/hebat, atau sebaliknya. Keyakinan yang teguh terhadap sesuatu akan menjadikan sesuatu tadi sebuah kenyataan, sebagaimana bunyi sebuah adagium: what you get is what you believe. Ini adalah ajaran tentang kekuatan sebuah keyakinan (the power of believe). Dalam ajaran agama Islam-pun dinyatakan bahwa Allah adalah sesuai persangkaan hambanya. Saat seorang hamba meyakini secara penuh bahwa Allah akan memberikan kepadanya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka, maka hal tersebut benar-benar akan menjadi kenyataan. Subhanallah …

Sebuah eksperimen pernah dilakukan di AS dengan memasukkan anak-anak cerdas dan potensial ke kelas B dan anak-anak dengan intelijensi sedang ke kelas A. Setelah di-treatment dengan pembelajaran yang sama untuk periode tertentu, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Anak-anak di kelas A yang notabene kecerdasannya hanya rata-rata, berhasil menunjukkan prestasi yang lebih baik dari pada kelas B yang berisi anak-anak jenius.

Oleh karena itu, untuk siapa saja yang telah terlanjur masuk kelas B, C, atau D, keyakinan bahwa mereka adalah kelas 2, 3, atau 4 harus dihancurleburkan agar tidak membawa efek psikologis yang negatif. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan, penamaan kelas hendaknya lebih bersifat netral namun justru mampu merangsang hasrat eksplorasi terhadap nama kelas. Sebagai contoh, kelas A dan B masing-masing diganti menjadi kelas Kelembagaan dan Ketatalaksanaan. Nama kelembagaan dan ketatalaksanaan ini bukan sekedar pengganti A dan B, namun secara tersirat menuntut peserta untuk mendalami konsep kelembagaan dan ketatalaksanaan tersebut. Dengan pemberian nama kelas yang netral ini, maka setiap peserta akan memiliki posisi start yang sama dan kondisi mental yang sama, sehingga siap berkompetisi secara sehat dan fair.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 20 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar