Laman

Jumat, 17 Juni 2011

Ketika Perubahan Menghampiri Kita ... (1)


Mengikuti Diklat selalu berarti menghadapi perubahan. Dari lingkungan fisik maupun sosial, pola makan, ritme hidup, hingga perilaku keseharian kita, semuanya berubah dengan tiba-tiba. Kantor dan rumah yang menjadi persinggahan sehari-hari, dengan “terpaksa” harus kita tinggalkan untuk memasuki lingkungan baru berupa asrama, kelas, auditorium, kantin, foto copy atau koperasi tempat berjualan pernak-pernik diklat. Interaksi sosial yang biasanya lebih banyak terbangun dengan rekan kerja dan anak istri, sekoyong-koyong juga berubah menjadi hubungan dengan sesama peserta yang belum saling mengenal, widyaiswara, penjaga asrama, petugas foto copy atau fax, hingga satpam dan penjaja koran atau makanan, bahkan juga dengan instruktur senam, mbak Diana dan mas Yanto.

Kebiasaan makan pun berubah drastis, baik menunya, jadual makannya, juga penyajiannya. Urusan makan di program diklat seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah cabang ilmu baru dari disiplin manajemen, yakni “Manajemen Konsumsi”. Bagaimana tidak? Jika kita telat sedikit saja, maka kita harus siap-siap kelaparan karena makan telah dibereskan. Sebaliknya, ketika kita lapar sebelum waktunya, maka dengan 1000 alasan-pun tetap saja mustahil untuk memperolehnya. Menu benar-benar telah direncanakan dengan sangat detil baik mengenai volumenya, jenis dan pilihannya, saat penghidangannya, waktu menikmatinya, lengkap dengan etikanya. Jangan harap kita dapat menikmati makanan sambil bercelana pendek, mengangkat kaki ke kursi, bahkan kadang untuk nambah-pun terasa sangat berat karena seolah kita serakah dan menyerobot jatah peserta lain. Maklum, jumlah makanan benar-benar sudah disesuaikan dengan jumlah peserta. Jika mau nambah, yakinkan terlebih dahulu bahwa ada teman ada yang puasa, atau yang memilih makan diluar, atau sengaja menghindar makanan yang ada karena alasan selera …

Diklat juga merubah ritme dan irama hidup kita secara signifikan. Jika biasanya kita bangun subuh dilanjutkan dengan shalat subuh, kemudian berkemas-kemas untuk segera ke kantor karena mengejar waktu agar tidak terkena kemacetan, sekarang tidak usah lagi khawatir dengan deretan ratusan ribu kendaraan yang mengular puluhan kilo meter. Sebagai gantinya, setelah shalat subuh kita harus melakukan olah raga senam pagi. Ternyata, senam saja tidak cukup. Kita juga wajib mengisi daftar hadir! Ini dia instrument baru yang sekonyong-konyong mengendalikan ritme hidup kita. Dari subuh hingga malam menjelang tidur, kita diikat erat-erat oleh Sang Daftar Hadir. Paling sedikit, kita harus membubuhkan tanda tangan – bukan paraf – sebanyak LIMA kali dalam sehari, sebuah angka yang menyamai jumlah shalat wajib bagi umat Islam. Maka, tidak mengherankan jika kehidupan di asrama sesungguhnya adalah momentum menghitung hari yang berisi fase kehidupan yang dibatasi oleh Daftar-daftar Hadir!

Tidak cukup sampai disana … ternyata daftar hadir juga mencengkeram naluri kita. Jika terlambat 5 menit saja, maka daftar hadir yang semula warna putih, mendadak berubah menjadi kuning. Dan jika kita terlambat 5 menit lebih lama lagi, maka ia akan berubah menjadi MERAH! Itu artinya, kita harus mempersiapkan mental untuk menerima teguran lisan atau tulisan.

Yang lebih “heboh” lagi, perilaku keseharian kita juga turut berganti warna. Kebiasaan kita untuk berpikir secara komprehensif digiring kearah berpikir secara sekuensial. Hasrat berpikir “liar” untuk mencari alternatif terbaik untuk membenahi carut-marut negeri, terhalang oleh tata krama untuk tidak mengkritik simbol-simbol negara. Kebiasaan bekerja dengan perangkat komputer, seketika harus putar balik ke zaman kejayaan Koes Plus ketika tulisan tangan menjadi media dominan dalam dunia akademik. Tradisi baru yang memberi kebebasan bagi seseorang untuk berekspresi secara lisan, tulisan, atau gerak kinestetik, dalam batas-batas kedewasaan, kesadaran, dan tanggungjawab penuh, tiba-tiba ditempatkan dalam kerangka “aturan dan ragam sanksinya bagi pelanggarnya”.

Maka, terlambat absen akan mengurangi nilai, tidak ikut senam akan mengurangi nilai, tidak aktif dikelas akan mengurangi nilai, menerima tamu di kamar akan mengurangi nilai, memakai sandal pada saat makan siang akan mengurangi nilai … Singkatnya, “nilai” menjadi momok yang ampuh untuk membentuk dan/atau mengarahkan perilaku seseorang. Seolah, “nilai” menjadi satu-satunya tujuan dari berduyun-duyunnya para pejabat Eselon II dari seluruh Indonesia ke Kampus Pejompongan. Bukankah ini unik dan menarik menyimak fenomena pejabat yang ketakutan dikurangi nilainya, sama seperti takutnya anak-anak para pejabat tersebut terhadap ancaman pengurangan nilai dari guru Matematika di SD tempat mereka menuntut ilmu? Para pejabat tadi juga takut tidak lulus, sama seperti takutnya anak-anak SMP dan SMA yang menghadapi Ujian Nasional …

Perubahan-perubahan seperti itulah yang nampaknya membuat seseorang cenderung menghindarinya. Rasa nyaman dan mapan yang selama ini sudah terbangun menjadi tak beraturan oleh gelombang perubahan yang datang seketika. Kecenderungan menghindari perubahan nampaknya juga bukan sekedar persoalan “tidak mau berubah”, namun seringkali justru terdorong oleh kebimbangan tentang kemanfaatan perubahan tadi atas dirinya.

Jika demikian, lantas apa sesungguhnya esensi mengikuti diklat kalau hanya sekedar mengejar nilai? Apa urgensi pembelajaran jika hanya menumbuhkan rasa takut? Apa manfaat dari perubahan yang ditimbulkan oleh diklat?

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 15 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar