Laman

Jumat, 17 Juni 2011

Ketika Perubahan Menghampiri Kita ... (2)


Mengikuti diklat – sebagaimana layaknya belajar dalam konteks apapun – memiliki satu prakondisi yang sangat penting untuk dapat berhasil, yakni bahwa proses diklat tersebut haruslah menyenangkan, menggembirakan, juga tanpa ada rasa cemas atau tertekan, baik oleh ancaman pengurangan nilai, ancaman tidak lulus, ancaman teguran dari penyelenggara, atau mungkin juga pressure dari pimpinan instansi agar kita tetap perform terhadap tugas-tugas pokok di instansi yang sedang ditinggalkan. Jika seorang peserta mengalami perasaan tidak nyaman, kurang bahagia, resah atau gelisah selama mengikuti diklat, boro-boro mampu mencapai tujuan diklat … yang lebih mungkin terjadi adalah naiknya tekanan darah dan gula darah, melonjaknya kolesterol dan asam urat, merebaknya gejala stress dan depresi, hingga melayangnya nyawa.

Maka, sangat dianjurkan untuk tidak menolak perubahan yang dibawa oleh diklat. Dari pada repot-repot mencari sejuta alasan tentang tidak efektifnya perubahan yang melanda, lebih baik berpikir positif tentangnya. Dan jika didalami lebih seksama, proses perubahan selalu merupakan proses yang menyakitkan (a painful process). Namun perlu dicatat bahwa rasa sakit tadi hanya terjadi pada level proses yang akan mengantarkan kita (peserta diklat) pada hasil yang lebih indah dan manis dibanding kondisi sebelum mengikuti diklat. Seekor kerang-pun, untuk dapat menghasilkan mutiara yang bernilai tinggi, harus melewati sebuah proses yang teramat menyakitkan. Dalam ajaran Islam secara tegas dinyatakan bahwa dibalik setiap kesulitan akan selalu ada kemudahan (innama ‘al ‘usri yusra). Maknanya, jika kita ingin lebih berhasil, lebih pintar, lebih bijak, lebih enak dan lebih baik dalam segala hal dimasa depan, maka harus melewati terlebih dahulu berbagai perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan. Bahkan, musim semi yang begitu menawan, tidak pernah muncul tanpa didahului oleh musim dingin yang begitu berat hingga menggemeretakkan tulang belulang manusia.

Jika kita sudah memiliki model mental yang kondusif untuk menerima perubahan, maka apapun situasi dan tantangan yang ditawarkan oleh penyelenggara diklat, akan dapat dikelola secara produktif. Ibaratnya, ketika angin bertiup kencang (simbolisasi perubahan), hasilnya bukan robohnya bangunan beton yang kokoh (simbolisasi orang yang menolak perubahan), namun justru dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi alternatif (simbolisasi yang siap menerima perubahan).

Kembali ke perubahan yang meluluhlantakkan wilayah kenyamanan seseorang. Ketika lingkungan fisik dan sosial sekitar kita berubah mendadak, pandanglah itu sebagai penyegaran terhadap kondisi sebelumnya yang begitu-begitu saja dan cenderung membosankan. Milieu baru secara psikologis mampu mengkonfigurasi ulang simpul-simpul kejiwaan dan sistem syaraf motorik untuk menumbuhkan kesan lebih rileks dan menyegarkan. Itulah mengapa banyak orang melancong ke tempat-tempat baru. Bahkan banyak para petualang yang mengejar daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau hanya untuk mengembalikan kesegaran dan kekuatan jiwanya.

Demikian pula ketika pola makan kita berubah menjadi sangat terstruktur, syukurilah selayaknya seorang atlit yang dijaga ketat pola makannya oleh sang manajer. Maksudnya jelas bukan untuk mengurangi hak sang atlit, namun justru untuk menjamin kebugaran dan kesehatannya agar siap bertanding sewaktu-waktu dengan prestasi optimal. Jika tidak selama diklat, kapan lagi kita akan makan secara teratur dengan menu yang telah dipertimbangkan secara professional?

Kalaupun ritme hidup kita berubah secara drastis, itupun harus disikapi secara positif. Kewajiban mengisi daftar hadir 5 hari sekali sesungguhnya adalah sebuah test-case tentang sejauhmana tingkat ketaatan (obedience) kita terhadap aturan dan pimpinan. Seseorang yang berpandangan bahwa pejabat Eselon II tidak lagi layak diperlakukan seperti anak kecil dengan kewajiban berbasis ketidakpercayaan (distrust), mencerminkan bahwa seseorang tadi hanya mementingkan aspek kepemimpinan (leadership) namun cenderung mengabaikan sisi kepengikutan (followership). Padahal, keberhasilan suatu organisasi tidak hanya ditentukan oleh kepemimpinan yang bermutu, namun lebih banyak dikontribusikan oleh para pengikutnya yang loyal, kompeten, dan kredibel. Satu hal lagi mohon diingat bahwa pejabat Eselon II – atau Eselon I sekalipun – selain sebagai pemimpin, mereka adalah juga pengikut bagi atasannya. Untuk itu, hilangkan ego selaku pimpinan dan tumbuhkan ego selaku pelayan (steward) saat kita mengikuti program diklat. Peran seorang pemimpin sebagai pelayan (steward) inilah yang paling lemah dalam sistem birokrasi kita, dan akan dibangun kembali melalui proses perubahan selama diklat.

Kunci sukses mengelola gelombang perubahan tadi adalah ikhlas. Janganlah resistant dan jangan keraskan hati terhadap perubahan. Sebaliknya, siapkan mental, pikiran, dan fisik untuk belajar dan menyerap kebaikan sebesar mungkin dari rangkaian program diklat. Yakini juga bahwa pembelajaran yang dilakukan akan merupakan satu-satunya yang dapat mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi dimasa depan, seperti diungkapkan oleh de Geuss: learning might prove to be the only sustainable competitive advantage for organization in the future. Kunci keberhasilan lainnya adalah disiplin, tekun dan sungguh-sungguh dalam menjalani keseluruhan proses pembelajaran.

Anda boleh saja berharap memperoleh kenikmatan dan pelayanan yang menyenangkan selama diklat, namun akan lebih tepat jika anda berharap untuk memperoleh wisdom yang akan memperbaiki kualitas anda selaku pemimpin sekaligus selaku pelayan organisasi. Diklat adalah kawah candradimuka, bukan kawah Tangkuban Perahu. Maka … selamat, anda telah terpilih untuk memasuki kawah candradimuka!

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 16 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar