Laman

Minggu, 24 Juli 2011

Mencoba Mencari Makna dari Kata "Sinergi" dan "Koordinasi"

Tema Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI adalah “Akselerasi Sinergi Instansi Pemerintah Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkeadilan”. Munculnya tema ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan adanya mis-koordinasi antar instansi dalam menjalankan program pemerintah. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden yang pada Rakernas III tanggal 5 Agustus 2010, menyebutkan adanya permasalahan dalam koordinasi antar institusi pemerintah termasuk antar kementerian. Kelemahan koordinasi ini terjadi dalam tataran horizontal antar kementerian maupun dalam tataran vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah provinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

Maka, mengangkat tema sinergi dalam Diklatpim II adalah sebuah keputusan yang sangat tepat. Paling tidak ada dua alasan mengapa keputudsan ini dipandang sangat tepat. Pertama, secara actual issu sinergi memang sedang menjadi problem bersama di semua lini pemerintahan. Kedua, peserta Dikaltpim II adalah para pejabat yang sedikit banyak bertanggungjawab terhadap berhasil atau gagalnya sinergi antar instansi pemerintah.

Dengan mengusung tema sinergi antar instansi tersebut, sesungguhnya program Diklatpim II mengemban misi yang sangat berat. Mengapa demikian? Sebab, para peserta yang dididik selama 11 minggu, pada saat kembali ke instansinya diharapkan menjadi motor-motor penggerak yang melicinkan jalannya roda organisasi, yang memuluskan perencanaan program hingga implementasinya, yang membuka sekat-sekat komunikasi antar lembaga yang selama ini mampet atau tersendat, yang menjadi akselerator pencapaian tujuan dan visi organisasi. Menciptakan kompetensi tersebut hanya dalam 11 minggu, sesungguhnya adalah sebuah Mission Impossible. Faktanya, sudah puluhan ribuan alumni Diklatpim berbagai jenjang dihasilkan, tetap saja koordinasi menjadi masalah klasik yang tak kunjung teratasi. “Koordinasi” dan “sinergi” benar-benar menjadi dua kata yang sangat indah dan enak dibicarakan, namun teramat sulit untuk dilaksanakan.

Jangankan dalam konteks organisasi yang besar seperti kementerian, provinsi, maupun kabupaten/kota, dalam kelompok kecil seperti Kelas Diklatpim II yang terdiri dari 60 orang, atau bahkan kelompok yang terdiri dari 15 orang, koordinasi-pun sangat sulit dicapai. Kesulitan tadi makin membesar ketika tingkat keragaman atau perbedaan dalam kelompok semakin membesar. Kesulitan dalam mencapai kesamaan persepsi antar orang yang memiliki pandangan berbeda – apalagi ekstrem – adalah salah satu contoh. Kesulitan juga dapat timbul saat ada anggota kelompok/organisasi yang tidak peduli dengan kelompok/organisasinya, dan mencoba mencari keuntungan di tengah berbagai kondisi dan kesempatan. Belum lagi jika ada iklim persaingan yang tidak sehat, atau hasrat saling menjatuhkan diantara anggota organisasi, maka koordinasi yang sinergis adalah kemustahilan belaka.

Ketika kami bekerja dalam kelompok, sejatinya adalah sebuah miniatur dari organisasi riil yang lebih besar. Jika kami gagal menjalin kerjasama dan koordinasi di tingkat kelompok, sudah pasti kami-pun akan gagal melakukannya di tingkat yang lebih besar. Namun jika kami berhasil melakukan koordinasi dengan baik di level kelompok, hal itu belum merupakan jaminan untuk kami keberhasilan di level yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti itu, yang harus kami lakukan adalah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi determinan sukses tidaknya koordinasi. Hasilnya, tentu saja harus kami adopsi ke tingkat permanent system agar persoalan koordinasi selama ini dapat diurai meski tidak secara signifikan.

Berdasarkan pencermatan saya dari proses kerja kelompok selama ini, koordinasi akan berkembang positif jika terpenuhi beberapa prasyarat, antara lain: anggota kelompok memiliki rasa saling percaya diantara anggota, ada hasrat untuk saling mengisi, didukung kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mendominasi, ada kemauan untuk berpartisipasi agar tidak menjadi free rider bagi kelompok lain, dan selalu berpikiran positif (positive thinking).

Dalam alam realita, hampir mustahil kondisi ideal tersebut ditemukan. Selalu saja ada orang yang ingin menonjol namun sebaliknya ada pula yang cenderung introvert. Selain itu, ada saja orang yang tidak senang orang lain maju sehingga berusaha untuk menjegal di tengah jalan. Namanya hidup dan kehidupan, selalu penuh dengan dinamika hingga intrik yang membuat hidup dan kehidupan menjadi tidak monoton dan penuh tantangan. Dalam kondisi seperti itu, maka adanya otoritas yang jelas dan dilaksanakan oleh orang yang kuat, akan menjadi solusi untuk membangun koordinasi dan sinergi dalam interaksi antar manusia. Jika otoritas tadi tidak kokoh dan tidak dihormati, maka akan cenderung muncul kekuatan-kekuatan tandingan yang menolak berada dibawah hegemoni kekuatan tertentu. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa pada sistem yang sentralistis, koordinasi dan sinergi justru lebih mudah dijaga dibanding pada sistem yang demokratis dan terdesentralisasi. Semakin demokratis sebuah negeri, maka semakin dibutuhkan pemimpin yang kuat. Jika tidak, maka hancurnya sinergi dan koordinasi akan menjadi harga (cost) yang terpaksa harus diterima.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 6 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar