Laman

Kamis, 21 Juli 2011

Menyimak Pemikiran Presiden SBY Tentang Ekonomi Indonesia

Hari ini saya sangat beruntung dapat melihat, mendengar, dan menyimak secara langsung pidato dan pemikiran Presiden SBY. Berada satu forum dengan orang nomor 1 di republik ini, jelas berbeda sekali suasana yang tercipta dan semburat aura yang terpancar, dibanding ketika menyaksikan melalui layar kaca atau membaca melalui koran. Sama halnya mendengar pertunjukan musik secara live, akan sangat berbeda dibanding saat kita menikmatinya lewat televisi atau radio. Maka, adalah hal yang selalu menyenangkan menyambut seorang Kepala Negara, terlepas dari berbagai kontroversi soal gaya kepemimpinan ataupun kasus-kasus dan gossip yang tengah menerpanya.

Bagi saya, sessi ini juga istimewa karena Presiden melewati persis di depan saya, bahkan sempat melirik dan mengangguk kearah saya. Inilah kali pertama saya berada sangat dekat (± 1 meter) dengan Presiden RI. Jika saja tidak mengingat etika dan kemungkinan yang tidak diinginkan, pasti saya sodorkan tangan saya untuk menjabat tangannya, bukan sekedar jabat tangan antara pemimpin dengan rakyatnya, namun lebih sebagai bentuk silaturahmi antar hamba Allah di muka bumi. Meski pada akhirnya gagal untuk menjabat tanganya, saya sudah cukup puas sempat berdekatan dan bertatapan dengan beliau.
 
Selanjutnya, saya ingin merangkum isi pidato beliau yang membangkitkan optimism menghadapi masa depan. Sebagai pemimpin tertinggi sebuah negeri, memang seperti itulah yang harus dilakukan meski realita di lapangan terkadang terlalu sulit untuk bersikap optimis, presiden SBY mengawali pidatonya dengan mengemukakan 4 (empat) alasan mengapa beliau berkenan hadir dalam konferensi ini. Keempat alasan tersebut adalah:

1.      Konferensi ini membahas perkembangan ekonomi Indonesia dan dunia sekaligus mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. Jika bicara globalisasi, yang terbayang selama ini adalah ancaman untuk bangsa kita, padahal banyak juga opportunity yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.
2.      Konferensi ini juga membaca issu ekonomi dari konteks regional dan global. Dinamika ekonomi Indonesia sendiri harus ditempatkan dalam kerangka nationally interpreted dan globally connected.
3.      Konferensi ini dihadiri oleh peserta yang sangat beragam, seperti regulator, business leader, serta economic player and stakeholders.
4.      Topik yang diangkat cukup komprehensif dan relevan dengan issu ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah posisi Indonesia sebagai Chairman ASEAN dan akan mengagendakan topik food and energy security untuk didiskusikan dalam ASEAN Summit II Oktober mendatang sebagai wujud kontribusi Indonesia dalam membangun food and energy security di tingkat regional.

Presiden berharap agar konferensi ini bebas dari berbagai kepentingan politis agar menjadi bagian dari solusi dan bisa mendorong ditemukannya peluang-peluang baru bagi ekonomi Indonesia, baik tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Selanjutnya beliau mengemukakan tiga hal yang akan menjadi substansi pidato, yakni:

·         Apa yang hendak dicapai oleh Indonesia pada 10 hingga 15 tahun yang akan datang pada bidang ekonomi?
·         Peluang dan tantangan apa yang dihadapi?
·        Mengapa kita tidak boleh menyia-nyiakan momentum pertumbuhan yang baik ini bagi kebangkitan dan kemajuan ekonomi nasional?

Presiden menegaskan bahwa kita semua harus memiliki optimisme dan keyakinan diri (confidence) bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih baik serta berkembang lebih pesat di tahun-tahun mendatang. Ada 3 (tiga) alasan yang membuat kita dapat optimis dan memiliki keyakinan tinggi, yakni:

1.      5 (lima) tahun terakhir trend ekonomi Indonesia terus membaik dan progress-nya riil, yang dapat dilihat dari indikator makro seperti economic growth, GDP, debt to GDP ratio, income per capita, poverty reduction, dan seterusnya.
2.      Ekonomi Indonesia keluar dengan selamat dan terhindar dari krisis ekonomi global. Saat ini, Tiongkok, China dan Indonesia menjadi 3 negara dengan kekuatan ekonomi baru di dunia. Pada saat terjadi krisis ekonomi global tahun 2008, telah dilakukan respon yang tepat sehingga tidak terjadi krisis berkepanjangan seperti pada saat krisis 1997-1999.
3.      Jika reformasi dan perbaikan yang dilakukan secara intensif berhasil melakukan perbaikan dalam banyak hal, dan lebih banyak infrastruktur terbangun, maka pada tahun 2025 ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan menjadi kuat, inklusif dan berkelanjutan (strong, inclusive, sustainable).

Dengan demikian, target yang hendak dituju dan dicapai dalam pembangunan ekonomi bukan sekedar pertumbuhan (growth), tapi makin baiknya standard of living, quality of life, dan welfare of people. Dari perspektif ekonomi, hal tersebut dapat dicapai jika ekonomi tumbuh kuat dan berkelanjutan (growth with equity).

Pertumuhan bagi Presiden SBY sangat penting, karena pertumbuhan akan membentuk mata rantai. Jika pertumbuhan tinggi, maka akan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, yang pada gilirannya memperbaiki pendapatan masyarakat. Jika income masyarakat naik, maka akan mengurangi jumlah orang miskin (growth à job à better income à less poor). Dengan kata lain, pertumbuhan (growth) merupakan pengungkit terhadap program pengentasan kemiskinan (poverty reduction).

Meskipun demikian, pertumbuhan yang tinggi (strong growth) sendiri tidaklah cukup, melainkan harus disertai dengan adanya pemerataan dan keadilan. Artinya, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pertumbuhan, namun juga harus diimbangi dengan job creation, poverty reduction, dan environment protection. Pemikiran seperti inilah yang mendasari pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan triple tracks strategy yang kemudian dikembangkan menjadi four tracks strategy. Dalam kaitan ini terdapat 4 (empat) pendekatan untuk merealisasikan strategi growth with equity, yakni:

·         Demand side economy (sisi permintaan);
·         Riil Sector (sektor riil);
·         Supply side economy (sisi penawaran); dan
·         Production function (fungsi produksi).

Ke-4 strategi tersebut adalah esensi dari MP3EI yang terdiri dari 6 koridor, zona economi, klaster industri, serta 22 kegiatan ekonomi utama. Semuanya didesain untuk mencapai balanced, strong, inclusive, dan sustainable economy sebagaimana disinggung sebelumnya. Hal ini sesuai dengan Visi Indonesia 2050 yang menetapkan 3 (tiga) capaian utama, yaitu:

·         Strong and just economy (ekonomi yang kuat dan adil);
·         Stable and mature democracy (demokrasi yang stabil dan matang); dan
·         Advance civilization (peradaban yang makin maju).

Presiden menyimpulkan bahwa arah dan ekonomi Indonesia sudah benar. Survey WEF tentang Global Competitiveness Index mengkonfirmasi kemajuan ekonomi Indonesia dengan hasil survey yang terus menunjukkan peningkatan daya saing Indonesia secara signifikan. Fakta ini telah mengantarkan President SBY ke Davos untuk memberi pidato tentang pengalaman Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Namun, Presiden tetap menekankan perlunya memperbaiki semua masalah yang ada tanpa perlu menoleh ke belakang dan tanpa perlu saling menyalahkan.

Presiden tidak peduli masuk kategori ideologi apa pemikiran ekonomi yang disampaikannya. (Catatan: Majalah Warta Ekonomi menyebut konsep ekonomi SBY sebagai ideologi ekonomi masa depan atau SBYnomics). SBY sendiri cenderung menyebut gagasannya dengan istilah Eco-market economy with social justice. Pada akhir pidatonya, Presiden SBY mengeluarkan himbauan untuk seluruh elemen bangsa untuk:

·         Menjadi pencari dan pencipta peluang (opportunity seekers);
·         Menjaga dan memelihara situasi dalam negeri, termasuk menjaga stabilitas sosial politik; serta
·         Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi. Hanya dengan kerja keras kita bisa mengubah keadaan.

Menyimak apa yang disampaikan Presiden SBY, seolah tidak ada masalah yang berarti dengan sistem ekonomi Indonesia. Semua terlihat baik-baik saja. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan ceramah-ceramah yang kami dapatkan selama penyelenggaraan Diklatpim II. Dari berbagai ceramah yang kami terima, banyak yang mengkritisi adanya kesalahan kebijakan, namun ada juga yang melihat konsep kebijakan sudah baik namun implementasinya yang tidak optimal. Salah satunya dikemukakan oleh Dr. Ichsanuddin Noorsy yang mengakui tingginya peningkatan PDB, namun mempertanyakan siapa yang paling besar menikmati pertumbuhan PDB tersebut? Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa hal demikian bisa terjadi?

Informasi dan pendekatan yang kontras dari SBY dan para penceramah Diklatpim II dapat dikatakan sebagai cerminan adanya kontroversi dan perbedaan cara pandang terhadap fakta dan kebijakan yang sama. Dr. Dahrul, salah seorang penceramah, memberi ilustrasi yang menarik mengapa terjadi gap antara konsep yang bagus dengan buruknya implementasi. Menurutnya, Indonesia ibarat perusahaan yang memiliki banyak komisaris atau pemegang saham yang berbeda kepentingan. Tentu saja, menyatukan kepentingan yang berbeda, apalagi bertentangan, bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan pemimpin yang tegas dan visoner (strong and visionary leadership) sangat dibutuhkan. Pemimpin nasional haruslah imparsial dan bebas murni dari kepentingan individual atau kepentingan kelompok, serta mampu memfungsikan diri sebagai jembatan (bridging) dari berbagai perbedaan yang ada diantara elemen bangsa yang dipimpinnya.

Persoalannya kemudian, sistem politik kita nampaknya masih belum memungkinkan untuk lahirnya seorang pemimpin nasional yang bebas dari kepentingan politis tertentu. Seorang (calon) presiden justru merupakan usulan partai politik. Jika partai politik masih sarat dengan anasir korupsi dan prinsip mementingkan diri sendiri, maka selamanya tidak akan lahir pemimpin yang benar-benar kuat dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan reformasi politik. Sampai disini, saya pribadi menarik hipotesis bahwa pembangunan ekonomi Indonesia akan mencapai masa keemasan ketika bangsa ini sudah mampu menyelesaikan reformasi politik (dan reformasi peradilan, tentunya).

Kinerja ekonomi yang cukup progresif seperti disampaikan oleh Presiden SBY memang sudah maksimal dalam situasi politik seperti sekarang ini, dan untuk itu perlu kita apresiasi. Namun kita masih memiliki peluang yang sangat besar untuk bisa mencapai kinerja yang jauh lebih baik, asalkan PR di bidang politik (dan hukum) sudah bisa kita tuntaskan. Semoga!

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 22 Juli 2011

2 komentar:

  1. Saya setuju degn anda tentang "reformasi Politik", tapi bukankah politik sdh direformasi? buktinya :
    - pemilihan presiden, gubrnur dll skrg langsung
    - milih angg DPR juga skrg langsung

    kurang apalagi???

    BalasHapus
  2. Mas adi_ray,
    Pada dasarnya hampir semua bidang kehidupan sudah di-reform, namun masih jauh dari cukup. Reformasi hukum sudah dimulai dengan manajemen hakim secara 1 atap di MA, dibentuk MK & KY, dll, tapi tetap saja mafia peradilan masih menggurita.
    Reformasi birokrasi juga sudah cukup gencar, tapi korupsi & lemahnya pelayanan publik masih menjadi pemandangan sehari-hari.
    Nah, reformasi politik sama saja. Betul kata mas adi-ray, tapi pilpres, pileg & pilkada langsung sj sgt tidak cukup. Di Daerah justru memunculkan fenomena miskoordinasi antar tingkatan pemerintahan dan gejala oligarkhi baru. Di tingkat pusat, parpol menjadi pusaran korupsi baru krn memang kapasitas finansial, SDM & manajerialnya belum mumpuni. Nantikan buku saya Insya Allah Oktober nanti terbit. Thx anyway for your comment. Salam.

    BalasHapus