Laman

Rabu, 10 Agustus 2011

Antara SL dan Istri Tercinta


Hari ini kami memulai kegiatan Studi Lapangan sebagai bagian dari aktualisasi pembelajaran terhadap tiga kajian yang telah kami selesaikan, yakni Kajian Paradigma, Kajian Kebijakan Publik, dan Kajian Manajemen Strategis. Dengan aktualisasi ini, peserta dituntut mampu mengimplementasikan secara terpadu teori/konsep yang telah dipelajari, dan mengkaitkannya dengan tema diklat. Lokus SL adalah Provinsi Kalimantan Selatan dengan sub-lokus Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar Baru, dan Kabupaten Tanah Laut, dan akan memakan waktu selama 6 hari, termasuk perjalanan pergi dan pulang.  

Dalam rangkaian SL nantinya, kami akan mengunjungi beberapa instansi untuk melakukan audiensi yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, baik melalui wawancara maupun eksplorasi data sekunder dan tersier (jika diperlukan). Kami juga harus melakukan pengolahan dan analisis data, pelaporan dan penyajian dalam bentuk slide tayangan, serta mempresentasikan hasil di depan nara sumber terpilih. Semuanya ini harus kami selesaikan hanya dalam waktu empat hari, sebuah target ambisius yang kurang realistis, atau sebuah mission impossible. Namun kami sedang dilatih untuk memungkinkan segala yang tidak mungkin, membisakan yang tidak bisa, membiasakan yang tidak biasa, dan memastikan sesuatu yang tidak pasti. 

Sebagai seorang peneliti, sesungguhnya bagi saya aktivitas seperti diatas tidaklah asing, bahkan dapat dikatakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Sayapun cukup terbiasa dengan kerja model Sangkuriang yang menciptakan telaga atau Bandung Bondowoso yang menciptakan 1000 candi (dikenal dengan Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang) hanya dalam satu malam. Maka, urusan SL tidaklah menggelisahkan saya setitikpun.  

Namun, ada sesuatu yang sedikit membuat saya setengah hati menjalaninya, yakni keharusan meninggalkan istri di rumah yang sedang dalam keadaan hamil tua. Status saya saat ini bukan hanya peserta Diklatpim II, namun lebih-lebih adalah suami Siaga, yang harus siap 24 jam secara lahir batin, jasmani rohani, dan materiil maupun immaterial untuk menjaga, mengawal, dan melayani sepenuhnya apapun masalah dan kebutuhan istri. Jika saja SL dan Diklatpim II bukan kewajiban organisasi yang harus saya tunaikan dengan sepenuh hati pula, tentu saya akan memilih menjaga dan melayani istri. Akan tetapi, profesi sebagai PNS dan LAN sebagai wadah pengabdian adalah pilihan hidup yang sudah saya tetapkan dengan penuh kesadaran lebih dari 17 tahun lalu. Demikian pula, istri yang saya nikahi adalah pilihan hidup yang saya ambil melalui olah jiwa yang mendalam dan penyerahan diri secara total kepada Yang Maha Kuasa. 

Maka, SL tetap harus saya jalani, sementara nasib istri saya titipkan dan kembalikan lagi kepada Sang Pencipta Yang Maha Pelindung. Perlindungan seorang suami terhadap istrinya, tidak setitikpun sebanding dengan perlindungan-Nya. Kebahagiaan seorang istri bersama suaminya, tidak berarti sedikitpun dibanding kebahagiaan yang dianugerahkan Allah. Dengan meyakini hal tersebut, maka saya putuskan mengikuti SL sebagai wujud “jihad” saya kepada Yang Maha Penggenggam hati sanubari manusia dan alam semesta. Apapun yang akan terjadi terhadap saya dan istri saya, bahkan juga anak-anak saya, sepenuhnya kami (saya dan istri) yakini sebagai kebaikan untuk dunia dan akherat kami. Oleh karena saya meyakini bahwa saya tengah berjihad, maka saya berusaha tidak setengah-setengah menjalani tugas ini. Selain harus fokus memimpin kelompok Ketatalaksanaan, saya juga harus mengurus kelas dari sisi akademis, seperti distribusi bahan, sinkronisasi instrumen dan alat analisis, dan sebagainya. Entah kenapa, ketika kita sudah membulatkan tekad, tidak pernah datang kesempatan untuk bersantai-santai. 

Ketika partisipasi dalam SL saya maknai sebagai jihad, maka demikian pula adanya dengan istri tercinta saya. Ketika tidur tak lagi nyaman; ketika berjalan sudah sedemikian berat dan kakipun membengkak; ketika makan menjadi moment yang dilematis antara rasa eneg dengan keharusan mencukupi nutrisi bayi janin; ketika bernafas sering tersengal-sengal karena desakan si jabang bayi ke ulu hati atau ke seluruh penjuru kandungan; ketika rasa sakit atau kram sering datang secara mendadak, ketika mental tiba-tiba melemah dan hati merasa gundah gulana … semuanya adalah jihad yang tak terperi untuk seorang wanita dan seorang istri, khususnya saat mengandung makhuk Allah yang masih suci dan baru saja mengadakan “kontrak” dengan-Nya di Lauhul Mahfudz. Saya yakinkan berkali-kali bahwa setiap saat hal-hal tersebut terjadi, sesungguhnya saat itu pulalah Allah akan menggantinya dengan gugurnya dosa-dosa, berlipatnya pahala, dan berlimpahnya ridho. Sebagaimana sering saya baca di berbagai sumber, wanita yang hamil akan mendapat pahala berpuasa pada siang hari dan pahala beribadat pada malam hari. Sementara saat persalinan, ia akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa, dan setiap rasa sakit pada satu uratnya Allah akan mengaruniakan satu pahala haji. Insya Allah. 

Ini bukanlah penghibur dari sebuah kondisi berat yang tengah kami alami; ini adalah keyakinan yang menghunjam dalam hingga menembus wilayah keimanan. Ketika kita yakin, percaya, dan mengimani sepenuhnya hal tersebut, dan ketika kita terus memelihara prasangka baik kepada Yang Maha Perkasa, maka akan terjadilah kenyataan. Dalam istilah duniawi, ini adalah hukum keyakinan (the power of believe) yang berbunyi: What you get is what you believe (apa yang akan kamu peroleh adalah apa yang kamu yakini). Apalagi Allah sendiri sudah memberi jaminan bahwa ‘ud uni astajib lakum dan kun fayakun. Maka, kekuatan mana lagi yang akan menenteramkan jiwa kita selain kekuatan-Nya? Maha Suci Allah yang sedemikian bermurah hati kepada hamba-Nya, yang sedemikian besar kasih sayang-Nya, yang sedemikian luas membuka pintu-pintu rahmat-Nya. 

Ketika perjuangan istri saya maknai sebagai jihad, sesungguhnya anak-anak sayapun tengah berjihad. Meski mereka seperti tidak terpengaruh dengan situasi yang tengah dihadapi kedua orang tuanya, namun tetap saja mereka telah berkorban diri dengan tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari ayah ibunya. Contoh kecil saja, anak saya yang terkecil selalu menciumi ketiak saya sebelum tidur. Dia mengatakan bahwa ketiak bapaknya beraroma coklat yang sebelah kanan dan strawberry yang sebelah kiri. Setiap kali saya harus meninggalkan rumah, setiap kali itu pula ia harus “berpuasa”. Demikian pula saat ia merengek ingin dimandikan oleh ibunya, saat itu pula ia harus rela dimandikan oleh pembantu, yang tentu saja, tidak disertai dengan belaian lembut penuh kasih sayang. 

Anak-anak saya yang pertama dan keduapun terkena imbas. Seringkali mereka harus memijit kaki ibunya kapan saja dibutuhkan. Mereka juga harus siap sedia mengambilkan kebutuhan tertentu, atau harus memandikan dan memakaikan baju adiknya secara bergantian. Bahkan tidak jarang mereka menyiapkan makanan sendiri. Untuk usia 10 dan 9 tahun, merebus nasi, membuat telor ceplok, atau merebus mie sendiri, dan kadang-kadang diselingi dengan tugas menyapu dan membersihkan kamar sendiri, jelas sebuah efforts yang luar biasa. 

Last but not least, dua jabang bayi kembar yang ada dalam kandungan istri, saya yakin juga tengah menjalani jihadnya. Sempitnya rongga perut tentu akan membuat mereka saling berdesakan dan menuntut mereka berkompromi untuk tidak saling dorong, saling sikut atau saling tendang. Dengan kata lain, mereka sudah mengembangkan sikap toleransi dan empati pada usia yang masih teramat dini. Dan semakin besar usia kandungan, semakin besarlah pertumbuhan mereka, dan otomatis semakin sempitlah ruang gerak mereka. Dalam keadaan seperti itu, Alhamdulillah mereka tetap sabar, tetap kompak satu sama lain, dan tetap bertahan hingga saatnya kelak dilahirkan.  

Maka, melalui jurnal ini saya ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga untuk istri dan anak-anakku, juga untuk calon anakku yang Insya Allah sebentar lagi akan melihat indahnya alam dunia. Hanya rasa cinta yang bisa saya berikan untuk kalian semua, disertai doa semoga Allah melanggengkan rasa cinta di antara kita hingga kelak kita berkumpul bersama lagi di surga-Nya. Marilah kita jalani kehidupan ini dengan sabar, saling percaya, sambil terus saling mengingatkan dan menyuburkan kasih sayang diantara kita. 

Program Diklatpim yang saya ikuti mengharuskan saya dan anak-anak dan istri untuk “berjihad”. SL telah menghasilkan trade-off bagi keluarga saya. Meskipun terasa berat, namun rasa syukur harus mengalahkan beratnya cobaan, dan the show must go on! Hadapi saja hidup ini dengan senyum, syukur, dan semangat (3S). Mengakhiri jurnal ini, tiba-tiba saya teringat lagu lawas dari Koes Plus … 

Jo padha nelangsa, jamane jaman rekasa …
Urip pancen angel, kudune ra usah ngomel …
Ati kudu tentrem, nyambut gawe karo seneng …
Ulat aja peteng, yen dikongkon yo sing temen.

Kampus Pejompongan Jakarta
Minggu, 7 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar