Hari
ini, tidak ada peristiwa yang menarik untuk dicermati. Semua berjalan normal
dan rutin, tanpa dinamika yang unique atau
peristiwa menarik. Sebagai gantinya, saya mencoba melakukan penelusuran tentang
persepsi teman-teman peserta terhadap program diklat yang sedang kami jalani
bersama. Tentu, metodologinya tidak ilmiah meskipun kaidah-kaidah metodologis
tidak saya abaikan sama sekali. Sebagai contoh, “responden” yang saya pilih
adalah mereka yang di mata saya memiliki keseriusan untuk mengikuti diklat.
Bagi mereka yang hanya melihat diklat sebagai formalitas pejabat eselon II,
atau sekedar mencari teman baru, atau hanya mengikutinya dengan setengah hati,
jauh dari kriteria saya untuk menjadikannya selaku nara sumber.
Pertanyaan
yang saya ajukan hanya satu dan sangat sederhana meski bersifat eksploratif.
Pertanyaan saya: menurut anda, apa yang
perlu dilakukan untuk membenahi penyelenggaraan Diklatpim II dimasa mendatang?
Jawabannya cukup beragam, dan saya hanya menggarisbawahi beberapa saja yang
menurut saya layak dan kebetulan sejalan dengan pemikiran saya sendiri.
Jawaban
yang paling banyak saya terima adalah waktu yang terlalu panjang dan cenderung
tidak efektif karena mengejar target kuantitas dari pada kualitas. Tanpa harus
mengorbankan kualitas, sebenarnya durasi diklat bisa lebih dipersingkat dengan
mengurangi penugasan-penugasan yang tidak terlalu urgen. Dengan penugasan yang
begitu banyak, akhirnya peserta cenderung mengejar target penyelesaian tugas
namun berimplikasi pada proses dan mutu yang tidak optimal.
Untuk
diketahui, produk pembelajaran yang harus dihasilkan peserta teramat banyak
dengan waktu yang saling berkejar-kejaran. Belum lagi tugas A tuntas, sudah
peserta juga harus mengerjakan tugas B, C dan D secara bersamaan. Belum lagi
tugas DIT Individu selesai, misalnya, mereka juga harus menyusun jurnal harian,
DIT integrasi, KTP-2, KKT, TOR SL, atau bahkan presentasi bahasa Inggris.
Keadaan overload seperti ini terus
“menghantui” peserta sejak awal hingga akhir, ibaratnya sekedar untuk menghela
nafaspun tak lagi sempat. Sekeras apapun peserta bekerja, tetap saja tidak bisa
maksimal. Ujung-ujungnya, munculnya istilah “ah, ini kan cuma latihan”, atau “tidak usah terlalu ngoyo lah, yang penting tugas selesai”, atau “siapa juga yang akan ngoreksi hasil kerja
peserta yang sedemikian banyak, paling cuma dibaca secara sekilas”, atau
ungkapan-ungkapan lainnya yang jelas tidak mendukung semangat membangun
kualitas.
Pada
dasarnya, mayoritas peserta sangat eager untuk
menyerap materi pembelajaran, namun konsentrasi mereka menjadi terpecah belah
dengan adanya target-target laporan. Akibatnya, ditengah-tengah materi
pembelajaran, malah banyak yang mengerjakan tugas-tugas tersebut, sehingga
proses pembelajaran menjadi kurang efektif.
Maka,
alangkah baiknya jika urusan kuantitas mulai dikurangi dan difokuskan pada
proses yang lebih kualitatif. Peserta hendaknya tidak diarahkan untuk menjadi
“atlet loncat gawang” yang harus meloncati satu gawang untuk beralih ke gawang
berikutnya dan melupakan gawang sebelumnya. Mungkin ada baiknya peserta diarahkan
untuk memilih dan memiliki satu gawang, dan gawang itulah yang harus dia jaga
betul, dia percantik, dia kembangkan, dia perkuat, sehingga pada akhirnya
benar-benar menjadi gawang yang kokoh dan indah. Peserta hendaknya juga tidak
dibentuk sekedar menjadi generalis yang mengetahui banyak hal secara sedikit,
atau menjadi spesialis yang hanya mengetahui sedikit hal secara mendalam, namun
harusnya menjadi sosok generalis yang terspesialisasi.
Konsep
pembelajaran yang berlaku saat ini boleh saja diteruskan karena membangun
kompetensi generalis, namun dengan dua catatan. Pertama, kurangi frekuensi penugasan yang berujung formalitas. Kedua, beri kesempatan peserta untuk
memilih satu atau dua materi atau jenis kompetensi tertentu untuk didalami.
Setiap peserta boleh saja memilih jenis keahlian yang berbeda, misalnya SWOT,
Analisis Kebijakan, Scenario Planning,
atau yang lain. Tugas penyelenggara adalah menyediakan pembimbing yang memiliki
kompetensi tidak setengah-setengah dalam setiap bidang kompetensi tersebut.
Dengan cara ini, pada akhir diklat setiap peserta tidak hanya improved kompetensi generalisnya, namun
juga memiliki keahlian khusus sesuai minat dan kebutuhannya. Artinya, status
peserta hanya boleh beralih menjadi alumni jika benar-benar telah memiliki
spesialisasi tertentu. Jika perlu, LAN dapat mengeluarkan sertifikat khusus
atau surat keterangan tambahan yang menerangkan bahwa yang bersangkutan
benar-benar telah memiliki spesialisasi di bidang tertentu.
Hal
lain yang saya tangkap dari pendapat teman-teman adalah tidak adanya sistem
insentif dalam diklat kepemimpinan sehingga tidak merangsang tumbuhnya
motivasi. Idealnya, memang diklat formal yang merupakan amanat peraturan
perundang-undangan, haruslah memberi reward
atau insentif, misalnya berupa civil
effect (efek kepegawaian). Sebagai contoh, seseorang yang berhasil
menduduki peringkat 1 hingga 3 mendapat hak kenaikan pangkat istimewa dari negara,
medali penghargaan (gold medal) dari
Kepala LAN, dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selanjutnya,
peringkat 4 hingga 6 akan mendapat medali penghargaan (silver medal) dari Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS
Bidang Kepemimpinan. Adapun peringkat 7 hingga 10 akan menerima medali
penghargaan (bronze medal) dari
Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selain plakat,
Kepala LAN juga dapat memberikan surat rekomendasi kepada pimpinan instansi peserta
yang berprestasi, yang berisi pernyataan bahwa peserta tersebut sangat layak untuk
mendapatkan promosi jabatan setingkat lebih tinggi.
Dengan
iming-iming seperti itu, gairah peserta tentu akan terbangkitkan dan adrenalin mereka
pun pasti bergejolak dahsyat. Namun, jika hal ini akan direalisasi, tentu penyelenggara
harus melakukan pembenahan menyeluruh dalam sistem penyelenggaraan diklat agar tidak
menimbulkan kesan subyektivitas, dugaan KKN, atau kemungkinan lain yang tidak diinginkan.
Namun, tantangan seperti ini bagi saya adalah sebuah “godaan” yang menggelorakan
dan seolah-olah menuntut pembuktian bahwa kita benar-benar “laki-laki”. Maka, bagi
saya pribadi, tidak ada jawaban lain kecuali Siaaaappppppp grak !!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
4 Agustus 2011
Mantap sekali bos....saya juga memikirkan hal itu....lanjutkan
BalasHapusSiap ndan ... makasih supportnya yah ... :)
BalasHapus