Seperti pengalaman yang saya alami
sendiri (lihat catatan sebelumnya: Seri Pelayanan Publik 1). Ketika saya merasa
janggal
dengan kuitansi yang saya terima, saya mencoba meminta SK Direktur tentang
Penetapan Tarif Jasa Kesehatan, untuk memastikan bahwa tarif yang tertera dalam
kuitansi benar-benar sesuai dengan tarif yang tertuang dalam produk hukum yang
dikeluarkan oleh pejabat RS yang berwenang. Namun yang saya peroleh adalah penolakan
dari pihak Front Office dan Bagian
Keuangan. Mereka tidak mau memberi informasi dengan alasan daftar tarif bersifat
rahasia dan hanya untuk kalangan internal. Nampak sekali bahwa mereka tidak
paham sama sekali kebijakan nasional di bidang pelayanan publik seperti UU No.
25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, atau UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Maka, alangkah baiknya bagi
setiap penyelenggara maupun pelaksana pelayanan publik untuk memahami benar
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewajiban untuk menjamin
adanya transparansi dan akuntabilitas pelayanan. Disini saya kutipkan beberapa
pasal dari beberapa UU yang menurut saya mutlak harus dipahami oleh seluruh
unit pelayanan yang bergerak di bidang jasa apapun.
1)
UU
No. 25/2009 pasal 15, penyelenggara pelayanan publik berkewajiban antara lain:
·
Menyusun
dan menetapkan standar pelayanan;
·
Menyusun,
menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
· Berpartisipasi
aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
·
Membantu
masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya;
·
Dan
lain-lain.
2)
UU
No. 25/2009 pasal 18, masyarakat berhak antara lain:
·
Mengetahui
kebenaran isi standar pelayanan;
·
Mengawasi
pelaksanaan standar pelayanan;
·
Mendapat
tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
·
Dan
lain-lain.
3)
UU
No. 14/2008 pasal 2, asas dan tujuan keterbukaan informasi publik:
· Setiap
Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna
Informasi Publik.
·
Informasi
Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
·
Setiap
Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan
cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
· Informasi
Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UU, kepatutan, dan
kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah
dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
4)
UU
No. 14/2008 pasal 4, hak pemohon informasi publik:
·
Setiap
orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UU ini.
·
Setiap
orang berhak:
o
Melihat
dan mengetahui Informasi Publik;
o
Menghadiri
pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
o
Mendapatkan
salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini;
dan/atau
o
Menyebarluaskan
Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
· Setiap
Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai
alasan permintaan tersebut.
5)
UU
No. 8/1999 pasal 7, kewajiban pelaku usaha antara lain:
·
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
· Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Jika penyelenggara dan pelaksana
pelayanan belum memahami peraturan-peraturan seperti itu, maka dapat dipastikan
bahwa kualitas pelayanan yang diberikan akan berada dibawah standar (below average). Jika excellent
service didefinisikan sebagai kepuasan yang melampaui harapan awal
pelanggan (exceeding expectation services),
maka unit pelayanan yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
akan sangat sulit masuk kategori Service
Excellence.
Selain
masalah transparansi dan akuntabilitas, unit-unit pelayanan publik di Indonesia
juga relatif lemah dalam hal dasar hukum penetapan tarif. Dalam kasus yang saya
alami diatas, ketentuan tarif tidak dituangkan dalam sebuah produk hukum formal,
misalnya dalam bentuk Keputusan (beschikking).
Ketika saya tanyakan kepada petugas Costumer
Service apa bentuk hukum yang mengatur, dia tidak menjawab dan hanya
menunjukkan kop yang bertuliskan “Laporan Master Tarif”. Dokumen seperti ini
menurut hemat saya adalah laporan administratif belaka, yang jelas tidak
memiliki kekuatan hukum bagi pihak luar (pelanggan) dan oleh karenanya tidak
memiliki kekuatan mengikat (bound).
Dari pengalaman diatas, saya
berani mengambil kesimpulan bahwa reformasi pelayanan publik masih membutuhkan
waktu yang teramat panjang. Sepanjang transparansi dan akuntabilitas masih
dipandang sebagai “momok” bagi penyelenggara maupun pelaksana pelayanan, maka
sepanjang itu pula bangsa ini akan selalu berada dalam pola pelayanan publik
yang menjengahkan … L
wah pak Tri tinggal di Kaltim juga yach, dimana?
BalasHapusdulu pak, 6 tahun di samarinda. tapi sudah 2 tahun ini (sejak 2010) mutasi ke jakarta, meski masih sering juga ke kaltim ... :)
BalasHapusSalam Kenal, Pak...
BalasHapusBlog Pak Tri sangat inspiratif dan informatif. Makasih atas update tulisan-tulisan Pak Tri....
Salam kenal kembali pak. Senang sekali berkenalan dengan anda. Terima kasih juga atas apresiasinya atas tulisan2 saya di blog sederhana ini.
BalasHapus