Laman

Senin, 19 September 2011

Seri Pelayanan Publik 3: Kelas III Tetaplah Kelas III


Ketika menemani istri dirawat di sebuah RS Swasta di wilayah Tangerang Selatan, saya memiliki kesan awal bahwa RS ini telah memiliki paradigma yang berbeda dibanding RS yang lain, terutama RS Pemerintah. Karena melihat gedung yang mentereng, serta pertimbangan biaya, saya memilih Kelas III. Meskipun demikian, sekilas dapat diamati bahwa Kelas III di RS ini nampaknya lebih baik dibanding Kelas VIP di RSUD. Ruangan yang bersih dan indah, ditunjang fasilitas yang berfungsi optimal, memperkuat kesan awal saya tersebut. 

Namun, selama seminggu menempati Kelas III membuat kesan tadi berubah cukup drastis. Soal keramahan, ketulusan dan sikap/perilaku petugas, misalnya, masih ada petugas yang terkesan menjalankan tugasnya sebagai beban atau kewajiban belaka, bukan sebagai bentuk pengabdian atau ibadah. Masih ada sebagian petugas yang memancarkan aura ketidaktulusan dan hawa kurang bersahabat. Beberapa hal diantaranya adalah: 

a.     Saat istri saya dimandikan dengan cara wash-lap, hanya dilakukan di bagian depan. Ketika diingatkan oleh istri saya bahwa bagian belakang belum, dia hanya bilang “o iya, lupa”. Kesan kami, dia sengaja melakukannya dan berharap istri saya tidak mengingatkannya.
b.    Ketika salah satu bayi saya kembalikan ke ruang bayi agar dibersihkan empup-nya, salah seorang petugas sedang memberikan susu kepada bayi yang lain sehingga meminta temannya untuk membersihkan empup, tapi dengan entengnya dia hanya menjawab “iya entar”. Meski akhirnya dilakukan juga, terkesan oleh saya saat itu bahwa petugas ini sangat tidak rela membersihkan empup bayi orang lain.
c.     Sesaat setelah operasi, petugas kamar operasi memperlakukan istri saya secara kasar. Ketika istri saya minta agar mereka sedikit lebih sabar dan pelan, malahan kemudian mencubit kaki istri saya seraya bertanya: “coba apa yang saya lakukan terhadap ibu”. Tentu saja istri saya menjawab: “mencubit”. Si petugas mengira bahwa istri saya masih dalam pengaruh bius sehingga seenaknya memperlakukan pasien. Dalam kasus ini, ada dua kesalahan sekaligus yang dilakukan si petugas “brengsek” tadi, yaitu: 1) berbuat kasar dan tidak hati-hati yang mengakibatkan munculnya rasa sakit baru bagi pasien; dan 2) tidak memiliki pengetahuan media yang baik sehingga salah dalam membuat estimasi apakah pasien sudah lepas dari pengaruh bius atau belum. 

Selain itu, soal kebersihan ternyata tidak seperti yang terlihat dalam pandangan mata. Beberapa yang saya observasi diantaranya: 

a.      Entah karena Kelas II atau karena memang perawatan kurang, kamar mandi menyebarkan bau sangat menyengat yang bersumber dari sampah medik dan non-medik, atau sumber lainnya. Tidak ada pengharum ruangan di dalam kamar mandi atau kamper sama sekali. Frekuensi pembersihan-pun hanya dua kal –agi dan sore – yang menurut saya sangat tidak cukup mengingat banyaknya pasien dan keluarganya yang menggunakan kamar mandi tersebut. Mestinya, kamar mandi dibersihkan minimal setiap 2 jam sekali.
b.     Lantai ruangan juga sangat jarang dibersihkan, hanya pagi dan sore, itupun terkesan sekedarnya dan asal-asalan. Pada saat terdapat noda dari betadine atau percikan darah, sebagaimana yang kami alami di bed, juga tidak langsung dibersihkan, namun menunggu hari berikutnya. Demikian pula untuk seprei yang terkena noda atau percikan darah, tidak langsung diganti dan dibiarkan hingga hari berikutnya.
c.     Gordyn sudah nampak sangat kusut yang menandakan sudah terlalu lama tidak diganti, dan menimbulkan potensi menyimpan debu dan kotoran. 

Hal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa RS ini masih menerapkan prinsip ketidakpercayaan terhadap pasien dan keluarganya. Pasien dan keluarganya masih diposisikan sebagai pihak yang membutuhkan RS, sedangkan RS adalah pihak yang dibutuhkan. Itulah sebabnya, sentuhan kemanusiaan masih belum terasa sama sekali. Hal ini nampak ketika dokter yang menangani istri saya sudah mengijinkan pulang sekitar jam 10, yang disusul oleh dokter anak yang mengijinkan kedua bayi saya untuk pulang sekitar jam 12.30. Namun saat itu, istri dan kedua bayi saya masih belum bisa pulang karena saya masih harus membereskan administrasi. Pada jam 13.00 saya sudah mendesak untuk membereskan administrasi, namun diminta menunggu terus sampai pihak FO (Front Office) selesai membuat perincian. Oleh karena kami sudah menunggu terlalu lama, dan pihak FO tidak juga menyelesaikan tugasnya, maka menjelang jam 15.00 saya putuskan untuk mendatangi FO. 

Semestinya, pada waktu tunggu tersebut, obat-obatan sudah diserahkan pasien/keluarganya dan diberi penjelasan seperlunya. Faktanya, pihak RS baru akan menyerahkan obat dan memberi penjelasan apabila saya sudah menyelesaikan administrasi. Dengan kata lain, obat-obatan tersebut sengaja ditahan, sementara istri dan bayi saya juga belum diperkenankan pulang (penghalusan dari kata “ditahan”) hanya karena administrasi belum selesai. Padahal, kelambatan administrasi bukan karena saya yang menunda atau minta penangguhan, tapi karena memang proses administrasi RS yang sangat lambat dan melelahkan bagi pasien dan keluarganya dalam menunggu proses tersebut. Lagi pula, sejak awal saya tidak sedikitpun menunjukkan itikad akan minta dispensasi, atau minta penangguhan, apalagi pembebasan biaya. Bahkan pada awal perawatan ketika saya mengurus Askes, sudah saya “tantang” kepada FO jika perlu saya akan titip deposit. 

Tindakan RS “menahan” pasien inilah yang sangat menyakitkan dan sangat menyinggung perasaan saya. Saya sangat tidak menyangka bahwa di era pelayanan prima berbasis humanisme saat ini, praktek buruk seperti itu masih dipraktekkan di RS yang bahkan pernah meng-claim diri sebagai RS bertaraf internasional. 

Contoh-contoh diatas mengindikasikan bahwa Visi Misi RS belum sepenuhnya terinternalisasi dalam operasionalisasi RS yang dijalankan para petugasnya. Masih banyak dibutuhkan upaya pengembangan SDM berupa building commitment, building shared-vision, building learning organization, dan sebagainya. Jika proses seperti ini tidak dilakukan, saya khawatir RS ini akan semakin kehilangan trust dari pelanggannya. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat survey harapan pelanggan (costumer expectation survey). Lembar feedback yang diberikan pada saat pasien pulang, sangat tidak memadai karena tidak dapat menampung sepenuhnya perasaan dan pengalaman pelanggan. Maka, diperlukan mekanisme khusus dan instrumen (kuesioner) yang lebih komprehensif untuk mengetahui harapan dan kebutuhan yang lebih mendasar dari pelanggan (what costumers really need and expect). 

Sebagai keluarga pasien yang emmang selalu berposisi lemah, saya sudah mencoba mengajukan pengaduan, namun respon yang saya peroleh sangat dibawah harapan saya. Selain tidak ada pihak/petugas yang secara khusus menangani pengaduan, atau tidak jelasnya mekanisme dan saluran pengaduan, juga sikap petugas yang terkesan lari dari tanggung jawab. Seolah-olah mereka kompak mengatakan bahwa “itu bukan urusan dan tanggung jawab saya”. Bahkan alamat email untuk menampung keluhanpun tidak mereka sediakan. 

Akhirnya, saya hanya bisa pasrah. Pasien Kelas III tetaplah Kelas III, jangan bermimpi laksana punguk yang merindukan bulan … itulah potret buram dan menyedihkan pelayanan publik yang saya alami, semoga tidak terjadi di RS lain dan pasien lain di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di Kota Tangerang Selatan L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar