Laman

Kamis, 28 Maret 2013

Aktualisasi Keliru Metode Andragogi


Sudah menjadi pemahaman umum bahwa metode pembelajaran dalam Diklat Aparatur, terutama Diklat Kepemimpinan, adalah metode Andragogi, atau metode belajar untuk orang dewasa. Metode ini berpusat pada peserta (participant centered learning), yang membedakan dengan metode Paedagogi yang berpusat pada pengajar (teacher centered learning). Menurut penelitian Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), metode kuliah atau ceramah (lecture) memang merupakan metode yang paling tidak efektif, dimana setelah kuliah selesai, persentase perolehan pengetahuan peserta hanya 5 persen. Metode yang lebih efektif dalam pembelajaran adalah reading (dengan perolehan pengetahuan sebesar 10 persen), audio visual (20 persen), demonstration (30 persen), group discussion (50 persen), learning by doing (75 persen), dan teaching one-to-one (90 persen). 

Metode Andragogi ini didasari pada asumsi bahwa peserta tidak datang dengan otak kosong, namun sudah cukup kaya dengan pengalaman dan pengetahuan, sehingga peserta akan bisa menjadi sumber belajar bagi peserta lain, bahkan bagi guru/widyaiswara yang hanya bertindak selaku fasilitator. Namun, metode ini sering disalahartikan oleh widyaiswara/fasilitator tertentu untuk menghindari dari kewajiban untuk menguasai bidang ilmu tertentu, untuk mengarahkan anak didik secara gamblang, untuk mejawab sebuah pertanyaan, untuk memenuhi rasa penasaran orang lain, dan seterusnya.  

Ini pulalah yang terjadi dalam pembelajaran di Diklatpim I ini. Atas nama metode Andragogi, seorang widyaiswara mengatakan “Tugas saya memang membuat confuse peserta. Jika peserta bingung, itu tandanya sedang berpikir”. Pada sessi diskusi kelompok dia juga mengatakan bahwa dia sengaja seminim mungkin untuk intervensi agar dapat melihat apa yang dihasilkan peserta. Sebenarnya tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun menjadi salah jika itu hanya dalih untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab pertanyaan atau memenuhi harapan peserta. Celakanya, banyak widyaiswara seperti ini yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya peserta mampu melihat mana yang sekedar berdalih, dan mana yang benar-benar murni ingin mendorong peserta mengungkap problematika secara mandiri, sebelum ia sendiri akan memberikan pencerahan kepada peserta. 

Metode Andragogi juga sering disalahartikan dalam wujud lain. Widyaiswara seolah berkewajiban memberi apresiasi terhadap apapun hasil kerja peserta, meskipun sebenarnya hasil itu salah secara metofologis atau tidak tepat secara substantif. Akibat apresiasi yang seringkali berlebihan ini, maka peserta merasa bahwa hasil kerjanya sudah benar. Namun ketika dikonsultasikan kepada ahlinya, bisa jadi hasilnya justru bertolak belakang dan disalahkan.  

Oleh karena itu, metode Andragogi yang disalahartikan mengandung bahaya yang cukup besar. Ketika peserta bekerja mandiri tanpa pengarahan yang memadai, dan menghasilkan produk belajar yang dinilai baik (padahal sebaliknya), maka ini sama artinya dengan penyesatan ilmu pengetahuan. Dan dalam perspektif agama (Islam), ilmu yang salah namun diamalkan, akan mengakibatkan dosa bukan hanya bagi pelakunya, namun terlebih lagi untuk guru yang memberikan ilmu yang salah tersebut. 

Maraknya fenomena metode Andragogi dijadikan tempat bersembunyi para widyaiswara dari inkompetensinya ini menunjukkan adanya kesalahan dalam praktek penyelenggaraan Diklatpim secara keseluruhan. Untuk itu, banyak hal harus diperhatikan secara serius. Mekanisme dan persyaratan rekrutmen seorang widyaiswara adalah salah satu aspek terpenting yang harus dikoreksi. Gelar Doktor memang penting, namun gelar bukanlah segala-galanya. Kompetensi seseorang terbangun bukan hanya dari proses belajar di perguruan tinggi, namun juga dari pengalaman kerja, penghayatan dan kontemplasi atas jalan panjang kehidupan, interaksi dengan lingkungan, atau bahkan otodidak. Nama-nama besar seperti Bill Gates, Walt Disney, Agatha Christie, dan Henry Ford di luar negeri, atau Sudjatmoko, HAMKA, dan Bob Sadino di dalam negeri, adalah sedikit dari banyak tokoh besar karena determinasi pribadinya yang tangguh tanpa harus mengecap di bangku pendidikan formal tertinggi. Akan jauh lebih baik jika seleksi widyaiswara dilakukan dengan sistem persaingan sempurna (perfect competition) yang terbuka bagi siapapun tanpa harus dikerangkeng oleh persyaratan formal seperti gelar, jabatan, dan sebagainya. 

Selain itu, seorang widyaiswara harus benar-benar menghayati makna profesinya yang berarti istana ilmu pengetahuan (widya = ilmu; istana = iswara). Dari makna ini saja sudah terlihat bahwa widyaiswara sebuah sebuah kehormatan dan kemegahan yang begitu agung. Maka, perilaku yang tidak pantas hanya akan mengkhianati keagungan profesi widyaiswara. Dalam hubungan ini, alangkah baiknya para widyaiswara berkenalan dengan Pygmalion, salah seorang nama dalam legenda / mitologi Yunani. 

Pygmalion adalah seorang pematung yang selalu berpikiran positif dan berprasangka baik terhadap orang lain. Ia juga pribadi yang berorientasi kualitas. Sebagai pematung, Pygmalion tidak pernah setengah-setengah; setiap karyanya selalu menjadi masterpiece dalam hidupnya. Maka, setiap karyanya adalah penjelmaan dari spiritnya, penghayatannya terhadap nilai-nilai luhur yang diyakini, dan kualitas kebatinannya. Dan lebih hebat lagi, dalam menghasilkan karya-karya monumentalnya, Pygmalion tidak pernah memiliki pamrih rendahan. Apa yang dilakukan semata-mata karena memang ia harus melakukan itu, dan apa yang dihasilkan karena ia memang harus menghasilkan itu. Akhirnya … atas segala keluhuran kepribadiannya tadi, Dewi Aphrodite menganugerahi Pygmalion seorang istri jelita yang berasal dari patung ciptaannya. Patung yang menjelma menjadi istri Pygmalion ini diberi nama Dewi Galatea. Itulah imbalan yang sepadan bagi orang yang tulus ikhlas dalam setiap tugasnya, dan menyelesaikan tugasnya dengan penjiwaan penuh tentang makna hidup seseorang. 

Dalam ilmu manajemen, kisah Pygmalion bertansformasi menjadi Pygmalion Effect, atau Self Fulfilling Prophecy, adalah sebuah situasi ketika kita mengharapkan yang terbaik dari diri kita sendiri atau dari bawahan kita maka sering kita akan mendapatkan yang terbaik itu. Sebab, kekuatan pengharapan (the power of expectation) membuat semua orang akan berbuat sebaik mungkin untuk dapat mencapai harapan itu.  

Aktualisasi Pygmalion Effect dalam diri seorang widyaiswara dan proses pembelajaran Diklatpim adalah bahwa seorang widyaiswara harus mengubah orientasinya mendapatkan “JP” (jam pelajaran) dan honorarium, menjadi orientasi berbagi, memberi, membenahi kinerja peserta, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang widyaiswara harus memiliki pengharapan yang besar bahwa apa yang diberikan akan berkontribusi positif terhadap reformasi di lingkungan organisasi masing-masing peserta. Namun jika pengharapan ini tidak disertai dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni, bagaimana dia bisa berharap akan khasiat the power of expectation tadi?  

Singkatnya, metode apapun dapat dipakai oleh widyaiswara sepanjang ditopang oleh kompetensi yang cukup. Jika tidak, maka maka selamanya kita akan berbelas kasihan kepada si Andragogi karena selalu menjadi dalih atas disfungsi seorang widyaiswara. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 28 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar