Laman

Rabu, 27 Maret 2013

Negara Pekerja dan Nasionalisme


Pada ceramah tentang Perkembangan Paradigma Pembangunan Global dan Indonesia dan Visi Perjuangan NKRI, Dr. Purnaman meminta peserta menuliskan satu hal yang dianggap paling penting dan ingin dipelajari dalam hubungan dengan materi ceramah. Saat itu saya menuliskan “Membangun Bangsa Pekerja (Working Nation)”. Bagi saya, bermacam-macam paradigm pembangunan tidak ada artinya sama sekali tanpa dijalankan oleh manusia-manusia yang bermental baja dan tak pernah lelah bekerja demi kejayaan bangsanya. Dengan kata lain, spirit nasionalisme warga negara harus menjadi fundamen yang kokoh untuk berjalannya program dan kebijakan pembangunan. 

Kebetulan sekali, pada sesi ceramah berikutnya, Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyinggung soal bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Bonus demografi adalah peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang 15-64 tahun). Dalam konteks Indonesia, disebut “bonus” karena sekitar 60 persen dari total penduduk berada pada rentang usia 15-64 tahun tadi. Dengan jumlah penduduk berkisar 240 juta jiwa, maka ada 144 juta jiwa masuk dalam kategori usia produktif. Bayangkan saja, seandainya setiap penduduk produktif menambah jam kerjanya 1 jam saja setiap harinya, maka akan ada 144 juta jam kerja baru. Jika secara akumulatif nasional ada penambahan 144 juta jam kerja setiap hari, berapa milyar jam kerja yang bisa dilakukan bangsa ini dalam 1 tahun? Jika penambahan jam kerja setiap usia produktif setiap harinya ditingkatkan 2, 3, atau 4 jam, maka akumulasi nasional akan semakin berlipat ganda. Ini peluang yang teramat sangat dahsyat bagi negeri ini untuk menyelesaikan berjuta “proyek” dan pekerjaan rumah yang tertinggal. Saya membayangkan, tambahan milyaran jam kerja dalam 1 tahun itu equivalen dengan penyelesaian pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Singkatnya, pembangunan JSS bisa diselesaikan “hanya” dalam 1 tahun, jika bangsa ini menambah jam kerja hariannya minimal 1 jam.
 
Produktivitas Indonesia dibanding dengan negara tetangga, terus terang masih tertinggal cukup jauh. Laporan USAID (2010, Measure: Indonesia, The Enterprise Development Diagnostic Tool, Business Growth Initiate Project) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja per pekerja per tahun (labor productivity per person employed) Indonesia adalah USD 10,671.07, kalah dari Thailand dengan produktivitas sebesar USD 15,547.95, atau Malaysia sebesar USD 25,590.27, serta terlalu jauh dari Singapura sebesar USD 45,786.45.
Laporan ini sejalan dengan publikasi APO (Asian Productivity Organization) berjudul APO Productivity Databook 2012 (Keio University Press, Tokyo). Disini dikatakan bahwa per hour labor productivity levels (level produktivitas pekerja per jam) tahun 2010 di Indonesia (dalam USD) adalah 3,6, atau dibawah Filipina (4,3), Thailand (6,7), Malaysia (15,0) dan Singapura (40,2).
Itulah sebabnya, struktur demografi yang “gemuk” di bagian tengah yang dialami Indonesia merupakan berkah dan anugerah Tuhan YMK, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah secara nasional. Bonus demografi harus benar-benar disikapi positif oleh seluruh jajaran bangsa Indonesia, baik dari kalangan birokrat pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jika tidak, bisa terjadi kondisi sebaliknya, dimana bonus demografi justru berubah menjadi musibah. Hal ini terjadi jika kelompok usia produktif tadi hanya diisi oleh manusia yang konsumtif, yang menyukai produk asing, yang tidak memiliki jam kerja tinggi, atau yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi. 

Dalam kaitan inilah, maka persoalan nasionalisme menjadi sangat urgen. Sebagaimana dikatakan oleh Ian Lustic, “nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini”. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengaktualisasikan nasionalisme di era globalisasi dan pasar bebas dewasa ini? Ketika generasi muda terlanjut terpikat dengan segala produk barang dan budaya yang berbau asing, ketika kapitalisme mulai menggeser para pelaku bisnis tradisional, ketika kebanggaan nasional mulai layu, ketika ketika para importer seenaknya memainkan komoditas dan harga demi kepentingan sempit mereka, ketika produk-produk murah luar negeri membanjiri pasar domestik, dan ketika negara terlihat bingung dengan situasi problematik yang dihadapi, bagaimana status nasionalisme kita?  

Dalam keadaan seperti itulah, justru penanaman kembali nilai-nilai dan semangat nasionalisme semakin mendesak. Dalam aktualisasinya, saya menyarankan agar nasionalisme diterjemahkan dalam bentuk kerja keras seluruh lapisan bangsa. Untuk itu, sangat direkomendasikan bagi pimpinan nasional untuk membuat Gerakan Nasional Kerja Keras. Kerja keras bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain, namun untuk lebih memperkuat jati diri dan kontribusi Indonesia bagi dunia. Hal ini penting untuk digarisbawahi, karena Indonesia didirikan bukan hanya untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi juga untuk keselamatan dan kedamaian dunia. Demikian pula, Pancasila bukan hanya digali dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, namun juga relevan dalam percaturan dunia internasional. Semakin besar kontribusi Indonesia untuk dunia, sesungguhnya semakin besar pula aktualisasi Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. 

Tentang aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme sebagai “bangsa pekerja” (working nations) ini, termanifestasikan dalam dua hal. Pertama, menambah jam kerja formal maupun informal. Saat ini rata-rata jam kerja orang Indonesia adalah 38 jam per minggu, sementara orang Korea bekerja 62 jam per minggu. Perbedaan jumlah jam kerja ini terbukti berpengaruh amat besar terhadap produktivitas nasional. Kedua, menambah “RPM” (revolution per minute) dalam setiap jam yang digunakan. Artinya, kualitas, kreativitas, inovasi, dan produktivitas harus meningkat meski unit waktu yang tersedia sama. Untuk mendorong produktivitas nasional melalui peningkatan RPM (bukan penambahan jam kerja), maka investasi dalam sektor pendidikan merupakan keharusan. Dalam hal ini, pendidikan yang kita butuhkan bukan yang mencerdaskan otak manusia saja, namun harus pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 27 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar