Laman

Selasa, 26 Maret 2013

Negara Gagal dan Nation Building


Ketika jurnal ini ditulis, issu kudeta terhadap Pemerintahan SBY sedang marak di berbagai media. Pada saat yang bersamaan, ada skandal berupa pemberondongan tahanan titipan Polri di Lapas Cebongan, Sleman. Keduanya adalah peristiwa yang terpisah dan berdiri sendiri, namun bisa dipandang memiliki keterkaitan. Karena negara (direpresentasikan oleh jabatan Presiden) terlalu berlebihan merespon issu kudeta yang hanya dilontarkan oleh segelintir masyarakat sipil, maka negara menjadi lalai menjaga keselamatan warganya. Melihat pada reaksi yang cenderung show of force dari aparat keamanan dengan mengerahkan kendaraan lapis baja di beberapa titik pusat kota Jakarta, nampak sekali bahwa sikap negara sudah tidak proporsional, hanya penghamburan energy, dan bahkan menyebarkan rasa cemas di banyak kalangan. 

Terkait dengan issu-issu diatas, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang memberikan ceramah sessi pagi hari ini menyatakan bahwa negara membuat issu-issu yang tidak produktif, seperti issu kudeta tadi. Padahal, negara seharusnya memerankan diri sebagai faktor pemersatu bangsa dan menjaga kohesi sosial dalam masyarakat. Selain itu, demokrasi tidak bisa bekerja dengan baik jika negara lemah. Namun faktanya, sejak masa reformasi cenderung terjadi penurunan kapasitas negara bahkan bergerak kearah gagal. Negara kehilangan kewibawaannya, hingga banyak kalangan memprediksi akan terjadi efek Balkanisasi, yakni sebuah situasi diamna negara terpecah belah seperti di negara-negara Balkan (Kosovo, Bosnia, Monte Negro, Herzegovina, dll). Disisi lain, di tingkat grass root terdapat gejala merosotnya public civility (keberadaban publik), seperti bisa diamati dengan mudah pada perilaku pengendara di jalan raya yang suka menyerobot, kebiasaan membuang sampah sembarangan, keberingasan massa, ketidakpatuhan pada aturan, dan sebagainya. 

Mencermati situasi seperti itu, maka kegagalan negara sesungguhnya tidak hanya bersumber dari impotensi perangkat negara dalam menjalankan tugas dan misinya, namun juga dikontribusikan oleh perilaku publik yang tidak mencerminkan semangat disiplin nasional.  

Satu counter argument dapat diajukan untuk menilai benarkah Indonesia masuk dalam kategori negara gagal? Bukankah pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun? Mengenai hal ini, Prof. Azyumardi Azra menjawab bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan makan roti (we don’t live with bread alone). Selanjutnya, jawaban tertulis dapat dibaca dari tulisan beliau yang kebetulan dimuat di Kompas, 25-3-2013, berjudul “Hukum Rimba”, sebagai berikut: 

Mengapa sebuah negara yang secara ekonomi bisa bertumbuh dengan baik dapat terjerumus ke dalam labirin negara gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara – yang kemudian menular ke daerah. Sekali para pejabat publik – baik eksekutif, legislative maupun yudikatif – terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak hukum tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak berintegritas, tidak menyelaraskan perkataan dan perbuatan, terciptalah keadaan anomie. Jika keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order of the day.

Apa sesungguhnya negara gagal (state failure) itu? Secara konseptual, Armin von Bogdandy, et.,al, dalam publikasi berjudul State-Building, Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches (Max Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 9, 2005, p. 579-613, Netherlands, 2005) memberi definisi negara gagal sebagai the failure of public institutions to deliver positive political goods to citizens on a scale likely to undermine the legitimacy and the existence of the state itself (ketidakmampuan institusi negara untuk memberi kebajikan umum kepada warganya pada skala yang membuat legitimasi dan eksistensi negara dipertanyakan). 

Adapun 5 (lima) ciri dominan dari negara gagal adalah: 1) disharmony between communities, 2) inability to control borders and the entirety of the territory, 3) a growth of criminal violence, 4) corrupt institutions, and 5) a decaying infrastructure (Bogdandy, ibid.; Robert I. Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”, in: R.I. Rotberg (ed.), State Failure and State Weakness in a Time of Terror, 2003).  

Berdasarkan analisis Rotberg (2003) tadi, ada tujuh negara yang dikategorikan gagal (failed states), yakni Afghanistan, Angola, Burundi, Congo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan. Dibawah kategori ini ada Somalia yang dikelompokkan sebagai collapsed state. Sementara Indonesia sendiri digolongkan dalam weak states atau negara yang mendekati gagal (approaching failure) bersama dengan Colombia, Sri Lanka, and Zimbabwe.  

Studi Rotberg ini sejalan dengan publikasi The Fund For Peace tentang Failed State Index 2012. Laporan FFP tersebut menempatkan Indonesia pada kategori very high warning dengan skor 80,6. Sekedar perbandingan, Somalia dinilai sebagai negara paling gagal dan masuk kategori very high alert dengan skor 114,9. Sedangkan Finlandia adalah negara teraman di dunia yang dikategorikan sebagai very sustainable state dengan skor 20,0. 

Akan tetapi, saya ingin menggarisbawahi bahwa tidaklah penting memperdebatkan apakah Indonesia sudah masuk kriteria negara gagal atau baru mendekati kearah gagal, yang terpenting adalah bagaimana bangsa ini menemukan cara yang benar dan cepat untuk memulihkan kondisi kebangsaan yang sedang babak belur. Dengan kata lain, nation building dan character development bagi anak negeri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bogdandy (ibid), state failure dapat mendorong terjadinya nation failure (kegagalan bangsa), yang ditandai oleh tiga hal sebagai berikut: 

      a process in which the requirements of normal politics, the social substratum essential for the acceptance of majority and redistribution decisions, disappear;
      the cultural projection of a nation is no longer convincing to many; there is no consensus on the cultural traditions, customs, symbols, rituals, and the historical experience – there is no “usable past”;
      when individual and mutually exclusive nationalisms replace the former common identity. 

Sekali lagi, nation building dan character development menjadi conditio sine qua non untuk melanjutkan pembangunan nasional ke tahap-tahap berikutnya. Dalam kaitan ini, saya memaknakan nation building sebagai upaya merajut kembali keretakan dalam interaksi antar etnis, antar kelompok beragama, antar daerah, antar elit dan partai politik, antar angkatan dalam militer, antar aparat penegak hukum, antar pimpinan dan lembaga kemasyarakatan, antar pengusaha, serta antar susunan pemerintahan. Rajutan yang sobek disana-sini harus ditambal dengan falsafah fundamental bangsa Indonesia, yakni sila-sila dalam Pancasila. Ketika interaksi kebangsaan kita sudah sama-sama dilandasi oleh spirit dan semangat kejiwaan yang bersumber dari dasar filsafat yang sama, maka energi kebangsaan akan terkonsolidasi membentuk national power yang amat dahsyat. Pada gilirannya, mudah ditebak bahwa percekcokan elite tidak akan terjadi lagi (zero political disputes), dan konflik horisontal-pun dalam diminimalisir mendekati nihil (zero social conflict). 

Sementara yang saya maksudkan dengan character development adalah proses pendidikan mental spiritual untuk membentuk perilaku anak negeri secara individual. Karakter kerja keras, mengabdi sepenuh hati, kecintaan mendalam terhadap negeri kelahiran, tekad tidak akan mengkhianati negeri melalui tindakan dan pemikiran koruptif, menempatkan kolektivitas diatas individualitas, serta santun dalam kehidupan pribadi yang informal maupun dalam lingkungan formal. 

Hanya dalam konteks nation building dan character development itulah, kita berani bicara tentang “menjadi Indonesia” (on becoming Indonesia). Dalam hal ini, Indonesia bukan hanya entitas politik (state entity) yang bermodalkan territorial yang jelas, penduduk, pemerintahan, dan kedaulatan, namun lebih sebagai entitas kebangssan (nation entity) yang terbangun atas keberagaman latar belakang sejarah, budaya, dan kepentingan. Untuk itu, strategi yang jitu untuk nation building dan character development harus dirumuskan matang-matang, untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan konsekuen. 

Diantara beberapa strategi Becoming Indonesia yang mungkin untuk dikembangkan adalah:

·         Mengaktifkan lagi transmigrasi sebagai upaya pemerataan distribusi penduduk dan menciptakan mutual understanding lintas budaya.
·         Terkait dengan strategi pertama diatas, maka perlu diperkuat dengan upaya mempromosikan perkawinan antar etnis, sehingga anak yang lahir dari pernikahan antar etnis akan beridentitas Indonesia.
·         Pernikahan antar etnik juga perlu dibarengi dengan “perkawinan” silang antar karya seni seperti motif batik, lukisan dan patung, seni tari dan pewayangan, dan seterusnya. Tujuannya, untuk menghasilkan sintesa baru dari karya seni dan karya budaya Indonesia. Batik, semestinya bukan hanya ada Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Bali, dan seterusnya, namun harus ada “Batik Indonesia”.
·         Dalam tubuh birokrasi harus diciptakan sistem mutasi kepegawaian lintas daerah, lintas sektor, dan lintas susunan pemerintahan, untuk menumbuhkan sense of belongingness terhadap negeri. Meminjam analisis systems thinking, Indonesia bukanlah onggokan yang terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan seterusnya. Indonesia adalah identitas baru hasil peleburan beratus-ratus bahkan beribu identitas budaya. Dengan kata lain, Indonesia adalah systems community atau komunitas serba sistem. Dalam perspektif seperti ini, maka paradigm “Indonesia adalah Papua, dan Papua adalah Indonesia” (sekedar mengambil contoh), perlu didampingi oleh paradigm “Papua adalah Jakarta, Surabaya adalah Bengkulu” dan seterusnya. Maka, jargon “putra daerah” semestinya sudah bergeser menjadi semangat “putra Indonesia”. 

Meskipun demikian, Becoming Indonesia tidak selamanya harus melalui proses akulturasi (persilangan) budaya. Setiap warga negara, setiap daerah otonom, atau setiap organisasi dari Sabang sampai Merauke tetap dapat menjadi Indonesia dalam ke-Jawa-an, ke-Sunda-an, ke-Batak-an, ke-Bugis-an mereka, dan seterusnya. Dan dalam konteks seperti “Menjadi Indonesia dalam Identitas Lokal” inilah justru Pancasila membuka peluang besar untuk menjadi pemersatu, jembatan komunikasi, dan pedoman perilaku bagi identitas lokal yang bertebaran di sepanjang zamrud khatulistiwa. 

Selain strategi diatas, pandangan Benedict Anderson (Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism) dapat dimanfaatkan untuk proses nation building negara kita. Pada salah satu bagian, Anderson menyebut tentang Glorification of the past. Dalam konteks Indonesia, ini artinya bahwa nilai-nilai kejuangan perlu terus dikisahkan kepada generasi penerus sehingga para pahlawan dan nilai-nilai yang diperjuangkan tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat (collective memories of the nation).  

Tentu, proses nation building dan character development ini tidak diperlukan untuk menangkal issu musiman seperti kegagalan negara semata, namun harus dilakukan dalam segala situasi dan kondisi. Yang pasti, kemungkinan negara untuk gagal bisa dicegah dengan upaya nation building dan character development ini. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar