Laman

Selasa, 23 April 2013

Mendengar Apa yang Dibicarakan, bukan Siapa yang Bicara


Ketika sudah ada konfismasi kehadiran Jusul Kalla untuk ceramah di Diklatpim I, saya berniat akan menulis sesuatu yang unique dari mantan Wakil Presiden ini. Namun dengan sangat tiba-tiba, pusat perhatian saya berbalik untuk menulis suasana kelas, setelah melihat hadirnya banyak pejabat struktural serta para widyaiswara yang sedang tidak mengampu tugas. 

Saya bertanya dalam hati: mengapa hanya gara-gara seorang “JK”, mereka berbondong-bondong ingin menjadi pendengar? Apakah itu adalah fatsun politik dan standar protokoler yang harus diikuti secara kaku? Saya sangat tidak percaya bahwa itu adalah SOP  yang wajib dipatuhi, terlebih kedudukan JK yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Wapres. Atau, apakah mereka yakin bahwa JK akan menyampaikan ide-ide baru yang originalitas dan nilai strategis yang tinggi? Saya lantas membandingkan dengan pembicara lain, misalnya tokoh sekaliger Sri Edi Swasono, yang tidak mendapat perlakuan yang seimbang. Padahal, apa yang disampaikan Sri Edi jelas tidak lebih buruk dibanding materi JK. Itulah sebabnya, seketika saya menyimpulkan bahwa bangsa ini masih terjangkit mental lama yang cenderung menempatkan (mantan) pejabat tinggi pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding siapapun yang tidak (pernah) menduduki jabatan tinggi, secerdas apapun mereka. 

Sebagai institusi pembelajar, LAN mestinya memberi kehormatan kepada ilmu dan kebenaran, bukan kepada individu. Sebab, ilmu dan kebenaran tidak hanya bersumber dari orang-orang besar, melainkan juga sangat mungkin berasal dari orang yang tidak kita perhitungkan sama sekali, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan “dengarkan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan”. Ini bukan berarti bahwa hadirnya para struktural dan para Widyaiswara pada sessi ceramah JK adalah hal yang keliru. Hanya saja, alangkah baiknya jika sikap positif untuk menuntut ilmu tadi tidak diskriminatif hanya kepada JK, melainkan juga kepada seluruh penceramah secara proporsional.  

Anehnya, ditengah-tengah acara, satu per satu pejabat struktural dan Widyaiswara tadi meninggalkan ruangan, dan semakin membuat saya semakin bingung, apa sesungguhnya yang mereka cari? Apakah mereka kecewa karena isi ceramah yang tidak sesuai ekspektasi, ataukah mereka ada kesibukan lain yang lebih penting dibanding “mendampingi” JK, atau karena alasan lain lagi?  

Dari perspektif kediklatan, arus keluar masuk ruangan adalah sesuatu yang harus dihindari, terlebih untuk pembicara sekelas JK. Selain bisa mengganggu peserta lain, “lalu-lintas” pada saat kelas berlangsung juga bisa diterjemahkan sebagai kekurangsungguhan seseorang dalam mengikuti pembelajaran, sebagaimana halnya bicara sendiri ketika penceramah tengah bicara. Oleh karena itu, ada baiknya etika ‘sepele” seperti ini juga ditekankan sejak awal mulainya diklat. Tentu saja, seorang peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lainnya. Namun ketika ada orang yang khusus diundang untuk memberi ceramah, “nafsu” untuk menjadi “penceramah tandingan” atau perilaku lain yang tidak patut, sebaiknya bisa dikendalikan.  

Singkatnya, tradisi penghormatan terhadap nara sumber – siapapun mereka – harus digalakkan, bukan karena si narasumber adalah mantan pejabat negara. Sekali kita (peserta diklat maupun non peserta) berniat untuk menuntut ilmu dari si narasumber, lakukan dengan konsekuen dan tidak “kabur” ditengah jalan. Jika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengikuti secara penuh, lebih elegan apabila kita tidak ikut sejak awal aagr tidak muncul kesan “menyepelekan” dari nara sumber. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 24 April  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar