Laman

Selasa, 23 April 2013

"Diklat" Lain Diluar Diklat


Bagi umat muslim seperti saya, urusan hidup, mati, jodoh, dan rejeki adalah ketentuan Allah yang sudah digariskan sejak sebelum kita dilahirkan dimuka bumi. Karena sudah menjadi ketetapan-Nya, maka muncul istilah bahwa rejeki tidak akan lari kemana, atau Tuhan tidak pernah keliru memberi rejeki kepada seseorang. Meskipun demikian, rejeki tidak akan mendatangi kita jika kita tidak melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Itulah sebabnya, kita tetap wajib untuk menjemput rejeki yang telah ditetapkan untuk diri kita. 

Nah, logika tersebut saya rasakan identik dengan ilmu. Saya punya hipotesis bahwa ilmu sesungguhnya telah dihamparkan di muka bumi oleh Sang Pencipta, sehingga sering kita dengar ungkapan belajarlah dari alam, pengalaman adalah guru yang terbaik, dan sebagainya. Namun, ilmu tidak akan pernah kita kuasai jika kita tidak pernah melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Dalam sebuah tembang Jawa, ada sepenggal bait berbunyi: ngelmu iku kalakone kanthi laku (ilmu itu didapatkan melalui ikhtiar). Maka, kitapun wajib menjemput ilmu, karena segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak nampak didepan kita, dibelakang kita, disamping kita, diatas kita, dan dimanapun, sesungguhnya mengandung ilmu. Semakin tekun seseorang menjemput ilmu, maka semakin besarlah peluang untuk menguasai banyak ilmu. 

Kaitannya dengan Diklat Aparatur, tidak terbantahkan bahwa diklat adalah sumber ilmu yang sudah tersistematisir secara substansi/materi maupun metode penyampaiannya. Maka belajar melalui diklat akan memudahkan dan mempercepat peserta untuk menguasai ilmi yang diajarkan dalam diklat tersebut. Namun, di sekeliling diklat yang resmi, sesungguhnya terhampar materi dan metode “diklat” lainnya dalam jumlah yang tidak terbatas. Salah satu sumber ilmu yang saya peroleh adalah dari ceramah setiap selesai shalat Subuh.  

Diantara sekian banyak materi ceramah, saya mencatat satu hal yang sangat inspiratif. Saat itu, penceramah mengingatkan bahwa sumber segala sumber ilmu adalah Alquran, dari urusan pemerintahan, manajemen kepegawaian, pelayanan publik, dan sebagainya. Intinya, tidak ada satupun yang terlewat oleh Alquran. Alquran adalah teori terbesar (grand theory) untuk menjelaskan segala fenomena alam semesta. Sayangnya, saat kita bicara reformasi birokrasi, misalnya, adakah yang merujuk pada Alquran? Atau saat kita bicara tentang Total Quality Management, bukankah teori yang digunakan selalu teori yang berasal dari Barat? Lebih ironis lagi, sering pembimbing akademik tingkat Skripsi, Thesis, atau Disertasi, yang menolak jika ada mahasiswa bimbingannya menjadikan ayat Alquran sebagai landasan teoretisnya. 

Tanpa terasa, sikap yang berawal dari niat baik untuk memuliakan Alquran ini, justru telah membuat jarak yang amat lebar antara pedoman hidup yang hakiki (yakni Alquran), dengan praktek kehidupan sehari-hari. Yang terjadi kemudian adalah dikotomi antara nilai-nilai agama dengan praktek bermasyarakat dan bernegara. Agama seolah-olah ditempatkan pada posisi sakral yang tidak boleh terjamah oleh ke-profan-an duniawi. Urusan agama seakan-akan hanya berlangsung di dalam masjid atau forum-forum pengajian, sementara dalam urusan membangun sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah, sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan, sistem integritas aparatur, dan seterusnya, kita lebih mempercayai teori good governance, strategic planning and management, learning organization, reinventing and banishing bureaucracy, dan seterusnya.  

Dan inilah yang terjadi dengan sistem Diklat Aparatur kita. Yang terjadi kemudian adalah, desain diklat (formal) yang sangat sekuler, yang sengaja menjauhkan diri dari muatan spiritual dengan alasan toleransi. Padahal, bukankah urusan spiritual bukan dominasi agama tertentu? Maka, alangkah baiknya jika rancangan diklat aparatur kedepan berani mengakomodir materi spiritualitas kedalam muatan kurikulumnya. Soal detil materi, metode, durasi, fasilitator, hingga evaluasinya (jika perlu), tinggal dipikirkan untuk konteks masing-masing agama. 

Bagi saya pribadi, desain Diklat Kepemimpinan yang ada saat ini tidak menjadi masalah besar, karena defisit spiritualitas dapat saya kurangi dengan berguru dari “diklat” yang lain. Namun untuk rekan-rekan yang hanya menerima tambahan ilmu dari jalur diklat yang formal, bukankah akan terjadi gap yang semakin menganga antara kemampuan teoretis akademis yang semakin menjulang, dengan kapasitas spiritual yang semakin kering? Saya jadi teringat perkataan Ary Ginanjar bahwa suatu ketika nanti, bermunculan banyak sufi besar bukan dari pesantren atau gereja, namun dari perusahaan atau instansi pemerintah. Ini hanya bisa terjadi jika capacity building untuk aparatur tidak dikotomis dan sekuler seperti sekarang ini. 

Disamping “diklat” model ceramah Subuh seperti diatas, masih banyak sumber ilmu lain yang dapat digali. Salah satunya dari sesama peserta diklat, baik jenjang Pim I, II, bahkan III. Tingginya jenjang diklat kepemimpinan yang diikuti, terbukti tidak selamanya berkorelasi dengan tingginya kualitas dan intelektualitas seseorang. Maka, belajar dari para “yunior” bagi saya bukanlah hal tabu atau memalukan.  

Modus lain menyedot ilmu adalah belajar dari seseorang yang pendiam. Pepatah air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan nampaknya masih sangat relevan dengan perkembangan teknologi dan demokratisasi dewasa ini. “Ilmu padi” yang mengajarkan manusia untuk semakin berisi semakin menunduk, juga menjadi pelajaran penting untuk kita. Maka, jangan pernah meremehkan orang pendiam, karena siapa tahu dibalik sifat pendiamnya terkandung kearifan yang langka. Ini pula yang peroleh dari seorang kawan yang bekerja di sebuah instansi sipil namun menerapkan disiplin dan gaya militer. Sebagai pimpinan tertinggi di tingkat provinsi, biasanya jabatan yang disadang teman saya ini cukup ditakuti. Anak buahpun bersikap sangat hormat, sampai-sampai seorang sopir tidak berani duduk di kemudi sebelum sang pejabat masuk kedalam mobil. Si sopir-pun harus memberi hormat sebelum duduk di kemudi.  

Namun hebatnya sahabat yang saya panggil “abang” ini, dia berani mendobrak tradisi yang bagi kebanyakan orang justru menjadi prestise kehormatan. Dia juga biasa pergi ke kantor jalan kaki sejauh sekitar 2 km dari rumah dinasnya. Dan lebih hebat lagi, si abang sangat menghayati nilai-nilai spiritual sehingga selalu berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang pantas, meski telah terlanjur menjadi kelaziman di lingkungan institusinya. Dari abang pulalah saya mendapat wejangan tentang “ilmu ikhlas” dalam menjalani peran di rumah tangga, di kantor, maupun dalam interaksi sosial dengan masyarakat luas. 

Saya berharap, semoga para peserta Diklat Kepemimpinan di jenjang manapun, tidak puas dengan sajian diklat formal yang disediakan oleh penyelenggara, dan terus terobsesi untuk menggali ilmu-ilmu baru melalui “diklat” yang lain.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 23 April  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar