Laman

Minggu, 21 April 2013

Menyingkap 'The Untold Stories' dalam Reformasi Birokrasi


Kemahiran seorang Eko Prasojo bicara reformasi birokrasi, atau seorang Bibit Samad Riyanto bicara pemberantasan korupsi, mungkin sama dengan kemahiran seekor burung terbang di angkasa, atau seekor ikan berenang di lautan lepas. Maka, beruntunglah para peserta Diklatpim I mendapat pembicara berkelas seperti mereka. 

Namun, saya pribadi agak “kecewa” diawal, ketika mereka lebih banyak menyampaikan hal-hal “standar” tentang definisi konsep, referensi teoretik, deskripsi situasi, kebijakan yang cenderung normatif, atau permasalahan yang terkesan klasik. Eko Prasojo misalnya, memulai ceramah dengan menanyakan mengapa kita perlu reformasi administrasi, dilanjutkan dengan pengertian/konsep reformasi administrasi, potret makro Indonesia dan masalah pokok SDM Aparatur, kemudian banyak mengulas soal strategi reformsi birokrasi dan target-target yang ingin dicapai, dan diakhiri dengan ajakan kepada para peserta untuk menjadi agen perubahan di instansi masing-masing. 

Dibanding Eko Prasojo, paparan Bibit Samad Riyanto pada tanggal 4 April yang lalu terkesan jauh lebih klasik dan lebih cocok untuk konsumsi mahasiswa Fakultas Hukum semester 1. Ia memulai dengan pengertian korupsi, kondisi korupsi di Indonesia, peran pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dan gerakan moral memerangi korupsi, yang diakhiri dengan penutup. 

Dengan paparan model normatif ini, wajar jika peserta – terutama saya – tidak banyak tertarik. Maka, pada sessi ceramah Bibit saya sampaikan harapan agar beliau lebih banyak bicara soal-soal yang selama ini tidak diketahui khalayak (the untold stories, the unspoken realities), misalnya adakah intervensi dan tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada KPK dalam menjalankan tugasnya, mengapa kasus besar seperti Century tidak bisa segera tuntas, bagaimana sikap para politisi Senayan terhadap pemberantasan korupsi, dan pertanyaan lain yang sejenis. Syukurlah, akhirnya beliau sempat juga mengungkap sedikit-sedikit soal Century dan Cicak vs Buaya meski waktu tersisa tinggal sedikit. Intinya, beliau mengatakan ada kekuatan besar mengapa muncul kasus Cicak vs Buaya dan mengapa skandal Century masih terus berlarut-larut hingga sekarang. Sayangnya, beliau tidak sampai mengungkap lebih detil kekuatan seperti apa dan siapa dibalik kekuatan besar itu. 

Serupa dengan Bibit, Eko Prasojo pada sessi tanya jawab akhirnya juga banyak mengungkap “misteri” dibalik tersendatnya capaian kinerja reformasi birokrasi. Meski tidak secara terang-terangan, namun secara tersirat beliau membenarkan akan sinyalemen para peserta akan berbagai dilema di sekitar reformasi.  

Pertama, tentu issu remunerasi atau tunjangan kinerja, dimana Kementerian Keuangan sudah menerima tunjangan ini sejak 2008 sebesar 100 persen, sementara hingga saat ini masih banyak Kementerian/Lembaga yang belum menerima sama sekali. Ironisnya, di Kementerian Keuangan justru masih saja terus terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan manipulasi pajak, yang seolah membuktikan hipotesis publik bahwa tunjangan yang besar tadi tidak berkorelasi positif dengan berkurangnya tindak pidana korupsi. Adalah ironis pula ketika Kemenetrian Keuangan begitu “mudah” menyediakan anggaran besar untuk perbaikan kesejahteraan pegawainya, sementara untuk alokasi bagi instansi lain terasa begitu sulit dan berbelit-belit. Dampaknya, program reformasi tidak bisa berjalan selaras antar lembaga. Kementerian Keuangan yang didukung dengan anggaran besar mampu melakukan aktivitas apapun dalam rangka reformasi, sehingga memunculkan image seolah-olah Kementerian Keuangan jauh lebih hebat dibanding kementerian lainnya, yang memiliki dana amat terbatas untuk menggulirkan reformasi di instansinya. Kondisi inilah yang dijadikan sebagaialasan pembenar” untuk menerima tunjangan yang besar tadi, meski instansi lain tidak menerima sama sekali. Wajarlah jika kemudian muncul joke bahwa birokrasi Indonesia berkasta. Dalam kasus seperti ini, nampak bahwa Kementerian Keuangan mem-fait accompli Kementerian PAN dan RB, untuk tidak mengatakan “menyandera”. Maksudnya, Kementerian Keuangan yang menerima manfaat RB, namun kegagalan program reformasi seolah menjadi tanggungjawab tunggal Kementerian PAN dan RB. 

Kedua, soal berlarutnya pembahasan dan pengesahan RUU ASN (Aparatur Sipil Negara), yang diindikasikan ada penolakan serius dari dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama pada Sekretaris Jenderal Kementerian dan asosiasi Sekretaris Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketidakakuran seperti ini membuktikan betapa birokrasi kita masih dikelola dengan pola “monarki” atau “rejim”. Penolakan terhadap RUU ASN jelas sekali mencerminkan kuatnya ego sektoral dan kepentingan aktor-aktor tertentu yang tidak menginginkan goyah dari istana comfort zone. Maka, dengan mudah kita bisa maklum jika kinerja pemerintahan kita teramat rendah, karena memang tidak ada common interest, shared values and vision, mutual understanding, dan sense of synergy diantara instansi pemerintah tersebut. Kasus Peraturan Pemerintah No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, adalah contoh lain betapa birokrasi kita terlalu berat menanggung beban politik, dan betapa Kementerian PAN dan RB tidak bisa berbuat sesuatu dan menolak hal yang jelas-jelas diyakini debagai kekeliruan. Sebagai institusi yang paling bertanggungjawab terhadap program RB, Kementerian PAN dan RB justru berubah menjadi kambing hitam terhadap kebijakan-kebijakan keliru yang mengatasnamakan reformasi. 

Ketiga, merebaknya lembaga-lembaga non struktural baru serta mengembangnya unit-unit kerja kementerian, yang dilakukan di era reformasi dan desentralisasi. Desain dasar reformasi dan desentralisasi jelas menghendaki adanya perampingan unit kerja organisasi di tingkap pusat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dimana rata-rata kementerian semakin tambun, dan jumlah LNS semakin “menggila”. Ditambah dengan pemekaran provinsi hingga kecamatan dan kelurahan, maka peningkatan beban APBN dan APBD secara otomatis menjadi taruhannya. Lagi-lagi, dalam situasi seperti itu nampaknya Kementerian PAN dan RB tidak bisa berperan banyak. Meski gossip-nya ada silent moratorium untuk pemekaran unit-unit organisasi K/L, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tentu ada “sesuatu” dibalik lemahnya Kementerian PAN dan RB sebagai filter untuk menahan berkembangbiaknya lembaga pemerintah. 

Keempat, agar RB bisa berhasil secara optimal, maka komitmen pimpinan tertinggi negeri menjadi faktor determinan. Beliau harus menjadikan RB sebagai the living reform, bukan sekedar reform agenda. Saat ini memang beliau sudah menerbitkan Perpres No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, namun substansi Perpres tadi nampaknya belum merasuk dalam jiwa, urat nadi, dan aliran darah para penyelenggara negara. Beliau dituntut untuk menghapus reformasi sebagai wacana atau lip service belaka, dan menghilangkan jarak, sekat, atau tirai antara Presiden dengan program RB. Sebab, selama ini ada kesan publik bahwa Presiden sesungguhnya tidak tahu banyak tentang esensi dan manfaat reformasi birokrasi, sementara para pembantunya juga gagal meyakinkan beliau bahwa RB merupakan kebutuhan utama Kabinet Indonesia Bersatu II untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan yang benar-benar bersih, amanah, kompeten, dan berkinerja tinggi. Ada baiknya Presiden membuat acara coffee morning atau afternoon break dengan agenda khusus membahas issu reformasi birokrasi ini. 

Dalam konteks penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan, saya merekomendasikan agar para penceramah diminta untuk bicara tidak hanya di level permukaan saja, namun lebih kepada hal-hal yang tidak banyak diketahui publik. Apalagi pada jenjang Diklatpim I, tidak masanya lagi peserta diberi kualiah teknis dan teori yang bertumpuk. Issu-issu strategis tidak harus dimaknakan sebagai issu-issu internasional atau issu-issu lintas disiplin saja, melainkan juga issu-issu lokal dan spesifik, namun mempunyai nilai informasi yang tinggi. Inilah yang saya maksudkan dengan the untold stories. The untold stories ini sangat boleh jadi akan menjadi the driving force untuk sebuah perubahan yang nyata. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 18 April  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar