Laman

Senin, 26 Agustus 2013

Korupsi Dalam Pandangan Pengunjung Blog Saya

Iseng-iseng saya membuat survey melalui Blog saya tentang korupsi. Awalnya saya ingin membuat banyak pertanyaan, mulai dari pengertian responden tentang korupsi, faktor yang mendorong terjadinya korupsi, kesungguhan aparat hukum menangani kasus korupsi, para pelaku korupsi, dan seterusnya hingga strategi menghapus korupsi dari bumi pertiwi. Namun, Blog gratisan saya nampaknya memang tidak didesain sebagai Blog yang bersifat akademik dan interaktif, sehingga akhirnya saya hanya bisa membuat satu pertanyaan tentang strategi mengatasi korupsi.

Pertanyaan saya adalah: “Menurut Anda, apa solusi terbaik untuk mencegah dan memberantas korupsi?". Terhadap pertanyaan tersebut, saya menyediakan 6 (enam) opsi jawaban. 4 (empat) jawaban pertama menyangkut upaya pencegahan, sedangkan 2 (dua) jawaban lain merupakan langkah pemberantasan korupsi. Keenam opsi jawaban tersebut adalah:

  •  Meningkatkan kesejahteraan pejabat;
  • Memperkuat landasan spiritual dan religius para pejabat;
  • Menciptakan sistem pengelolaan keuangan yg lebih mudah dan transparan;
  • Memasukkan korupsi dalam kurikulum pendidikan;
  • Penegakan hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif;
  • Ancaman pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya.

Karena ini hanya survey iseng-isengan saja, maka saya tidak menetapkan populasi dan target sampel dari responden saya. Saya juga tidak memperhitungkan aspek waktu pelaksanaan survey, apalagi dikaitkan dengan kasus-kasus tertentu. Ini benar-benar hanya helicopter view yang ingin melihat di tingkat permukaan terhadap pendapat siapapun yang kebetulan berkunjung ke Blog saya.

Sampai saya buat tulisan ini, ada 42 orang yang memberikan jawaban, dimana setiap responden boleh memberikan jawaban lebih dari satu. Dan saya ucapkan terimakasih kepada Blogspot yang secara langsung telah membuat rekapitulasi terhadap seluruh jawaban yang masuk. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Opsi Jawaban
Distribusi & Persentase Jawaban
Meningkatkan kesejahteraan pejabat
2 (4%)
Memperkuat landasan spiritual dan relijius para pejabat
13 (30%)
Menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan transparan
16 (38%)
Memasukkan korupsi dalam kurikulum pendidikan
8 (19%)
Penegakan hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif
21 (50%)
Ancaman pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya
19 (45%)

Menurut Anda, apa solusi terbaik untuk mencegah dan memberantas korupsi?
Dari rekap diatas nampaklah bahwa responden lebih mendukung upaya pemberantasan dari pada pencegaha, yang ditunjukkan oleh banyaknya pilihan terhadap opsi penegakan hukum yang tegas dan pemberian ancaman pidana mati (death sentence). Ini saya kira mencerminkan harapan umum masyarakat Indonesia yang menginginkan para koruptor dihukum seberat-beratnya. Dan harapan ini sama sekali tidak ada salahnya, mengingat korupsi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merusak sendi-sendi kehidupan rakyat di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan. Jika saja korupsi dapat ditekan mendekati zero corruption, kesulitan pendanaan dalam pembangunan sub-way, monorail, atau bahkan jembatan Selat Sunda, mungkin sekali tidak akan muncul. Sangat boleh jadi pula, masalah busung lapar, lumpuh layu, atau kematian karena kurang makan, tidak akan pernah kita dengarkan jika  tidak ada korupsi di negeri ini. Maka wajarlah jika masyarakat menuntut pemberian sanksi yang tegas, jika perlu yang keras, terhadap pelaku korupsi. Itu saja mungkin tidak cukup. Masyarakatpun masih mencaci, menghijat, dan mendoakan para manusia serakah tadi agar abadi di kerak neraka.

Namun, pilihan responden yang cenderung pada upaya penanganan dibanding pencegahan menurut saya juga menunjukkan karakter bangsa ini yang menyukai segala sesuatu yang bersifat instan, jangka pendek, mudah dilihat hasilnya seketika, dan tidak memberi prioritas terhadap masalah jangka panjang. padahal dari teori gunung es (Iceberg Theory), pemberian hukuman seberat apapun terhadap koruptor dapat dikatakan sebagai langkah reaktif yang hanya mengatasi masalah di permukaan (surface) saja. Berapa banyakpun koruptor dihukum, akan lahir koruptor-koruptor baru sepanjang tidak ada penanganan yang lebih mendasar, sistemik, dan komprehensif. Ibaratnya, hilang satu koruptor, tumbuh seribu koruptor lainnya. Sama juga ketika kita memberihkan sampah di sungai sementara mindset masyarakat masih memandang sungai sebagai keranjang sampah, maka tidak akan pernah terwujud sungai yang bersih dan bebas polusi.

Oleh karena itu, perlu upaya lain yang tidak sekedar rektif, namun lebih bersifat responsif, generatif, dan sistemik. Nah, strategi pencegahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya yang lebih responsif, generatif, dan sistemik tadi. Pemberantasan korupsi sesungguhnya bukan sekedar target menangkap para pelakunya, namun lebih merupakan proyek besar bangsa Indonesia bernama nation building dan character building. Repotnya, saat ini kita sudah teramat jarang mendengarkan program-program nation building ini. Nampaknya banyak orang merasa bahwa pembangunan semangat kebangsaan kita telah selesai melalui penataran P-4 (Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Bahkan kurikulum pendidikan nasional kita amat sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) mengajarkan soal-soal budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan perjuangan kebangsaan, dan sejenisnya. Saya khawatir, meskipun telah ada KPK, jika mentalitas bangsa tidak dibangun, dalam kurun 30-50 tahun yang akan datang korupsi justru lebih menggila dari kondisi sekarang.

Maka menjadi menyimak jawaban responden yang hanya 19% yang mendukung agar program anti korupsi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi. Akan menjadi ironis jika pandangan seperti ini juga dimiliki para perancang kurikulum dan para pengambil kebijakan lainnya. Coba kita lihat kasus “sepele” tentang kantin kejujuran di berbagai sekolah. Berapa banyak sekolah yang dulu berinisiatif membuat kantin di sekolahnya tanpa penunggu? Siapapun boleh mengambil makanan atau benda lain yang dijual di kantin tersebut, dan mereka membayar dengan harga yang telah tertera, dan menaruh uang pembayaran dalam tempat yang tersedia. Jika ada kembalian, para penjual ini juga yang langsung mengambil uang kembalian. Nah, pertanyaannya: berapa kantin kejujuran yang masih bertahan saat ini? Saya hanya melihat 1 saja, yakni kantin kejujuran yang ada di kantor KPK. Ilustrasi ini memberikan sinyal red alert bagi bangsa ini, bahsa anak-anak usia sekolahpun belum bisa diajak berpikir anti korupsi. Jika pendidikan anti korupsi tidak diprioritaskan dan dimulai sekarang juga, mau jadi apa bangsa Indonesia dalam waktu 30-50 tahun mendatang?

Menarik pula untuk menyimak jawaban responden yang hanya sebesar 4% yang menyetujui peningkatan kesejahteraan pejabat sebagai strategi penanggulanagn korupsi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan desain reformasi birokrasi yang justru memberikan penambahan tunjangan kinerja (lebih umum dikenal dengan istilah remunerasi) bagi PNS seluruh level. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar pula tunjangan yang diterimanya. Bahkan di kementerian tertentu yang sudah menerima tunjangan kinerja 100%, smasih pula memberikan Tunjangan Kinerja Tambahan yang besarnya bisa sama dengan Tunjangan Kinerja pokok.hal inilah yang sangat berpotensi menyakiti hati masyarakat, terutama yang tergolong miskin dan seolah tidak mampu turut menikmati kue pembangunan. Bagi mereka, bisa saja pemberian tunjangan kinerja ini adalah sebuah kamuflase untuk melegalkan korupsi.

Perbedaan cara pandang antara masyarakat umum dengan pemerintah seperti nampaknya akan menjadi perbedaan yang tidak pernah ketemu titik. Pemerintah meyakini bahwa memberantas korupsi haruslah dengan memberikan kesejahteraan yang cukup, karena memang salah satu penyebab korupsi adalah kebutuhan yang mendesak (corruption by needs). Sementara masyarakat lebih melihat masalah korupsi di tubuh pemerintahan disebabkan oleh keserakahan (corruption by greed), mengingat taraf kehidupan aparat secara umum tidak kekurangan, bahkan sebagian memamerkan kemewahan ditengah kemiskinan warga. Selain itu, kasus-kasus korupsi perpajakan misalnya, memberikan bukti tak terbantahkan bahwa kesejahteraan seorang pegawai akan menghapus perilaku dan tindakan korupsi pegawai yang bersangkutan.

Diantara perbedaan pandangan diatas, saya pribadi mendukung yang kedua. Saya termasuk yang tidak pernah setuju ketika ada argumen yang menyatakan bahwa agar hakim terlibat pada dugaan kasus mafia peradilan salah satunya adalah karena faktor ekonomi hakim tersebut, sehingga munculah kebijakan memberikan kenaikan gaji dan/atau tunjangan hakim. Demikian pula seorang dokter spesialis yang lebih banyak berpraktek bukan di RS karena alasan gaji yang rendah, kemudian disikapi dengan pemberian tunjangan kelangkaan profesi. Di salah satu daerah di Kalimantan, tunjangan kelangkaan profesi dokter spesialis bisa mencapai 25 hingga 30 juta/bulan. Bagi saya, perbuatan (okmun) hakim yang terlibat mafia peradilan dengan jual beli perkara, atau seorang dokter spesialis yang tidak disiplin waktu dan berkinerja rendah, pilihannya hanya satu, yakni tegakkan aturan apa adanya, bukan malah dimanja dengan pemberian tunjangan. Ini pola pikir yang bagi saya menyesatkan dan tidak berlandaskan pada rasa keadilan terhadap sesama pegawai atau profesi lainnya.

Persoalan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan transparan menurut saya juga menarik dicermati. Dalam pengamatan saya, sistem keuangan yang ada saat ini masih menerapkan prinsip kebenaran formil dari pada kebenaran material. Kasus nyata yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika saya masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur, salah satu tanggungjawab saya adalah pencetakan hasil kajian dalam wujud buku. Saya sangat bersyukur dengan mitra percetakan yang jujur dan berdedikasi, sehingga mereka melaporkan bahwa dari dana yang sudah teralokasikan, mereka dapat memenuhi jumlah eksemplar buku sesuai standard an target lembaga. Hebatnya, mereka mengatakan bahwa secara riil masih ada sisa dana, dan mereka menawarkan untuk apa uang tersebut akan digunakan. Sebenarnya, itu adalah hak penuh mereka yang tidak perlu lagi dilaporkan kepada kami. Tugas mereka mencetak dan tugas kami membayar sesuai aturan, maka selesailah perkaranya. Itulah sebabnya, saya katakan mitra percetakan tadi sebagai pihak yang berdedikasi, dan ini patut menjadi contoh bagi kalangan aparatur. Karena terus ditanya, maka saya sarankan agar dimanfaatkan untuk mencetak buku yang sama, sehingga total buku yang kami terima lebih dari target. Namun alangkah terkejutnya ketika hal itu disalahkan oleh Inspektorat pada saat melakukan pemeriksaan. Menurut mereka, hal seperti itu bisa dikategorikan sebagai upaya memperkaya orang lain.

Itu hanya sedikit kasus betapa sistem administrasi penganggaran (perencanaan hingga pemeriksaannya) sangat formalistik dan kaku, buta terhadap inovasi dan kejujuran, dan tuli terhadap suara kebenaran yang lebih substansial. Dengan sistem yang ada seperti saat ini, menurut saya sangat rentan terhadap niat-niat jahat, apalagi jika disertai dengan permufakatan jahat. Contoh klasik bisa kita lihat dalam hal penggunaan anggaran perjalanan dinas. Dimana BPK beberapa waktu yang lalu mengindikasikan kebocoran sebesar 40% lebih. Bagi saya, kebocoran substansial bisa saja mencapai 70%. Artinya, perjalanan dinas itu sesungguhnya tidak diperlukan sebesar itu. “Kebocoran” bukan hanya manipulasi tiket atau kuitansi hotel, namun juga karena penggelembungan jumlah orang yang berangkat, penggelembungan lama hari, atau penggelembungan tujuan perjalanan. Namun sepanjang administrasinya lengkap, maka sistem audit kita akan menyatakan sebagai “benar”, meskipun didalamnya terkandung niat-niat yang tidak semestinya dalam penggunaan anggaran perjalanan tersebut.

Banyak lagi yang bisa kita refleksikan dari survey mini tadi, Insya Allah lain kali akan saya teruskan setelah saya buat survey yang serupa yang mendukung issu “seksi” ini. Terima kasih untuk sahabat-sahabat yang terus setia mengunjungi Blog saya. Salam hormat dan akrab selalu !!


Jakarta, 27 Agustus 2013

1 komentar: