Laman

Senin, 26 Agustus 2013

Polisi Tidur

Mantan Presiden Gus Dur pernah bergurau bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi baik, yakni Jenderal Hoegeng, Polisi Tidur, dan Patung Polisi. Meskipun dalam nada bercanda, sebenarnya itu merupakan sindiran yang amat tajam mengenai perilaku polisi yang dalam pandangan banyak orang lebih mempersulit dibanding melayani. Polisi Tidur, jelas tidak pernah berlaku diskriminatif kepada siapapun yang melewatinya. Ia juga tidak pernah mengajak “damai” terhadap pelanggar lalu lintas yang terjadi di sekitarnya. Lebih-lebih, ia juga tidak mungkin mempermainkan sebuah perkara untuk kepentingan dirinya. Mungkin, itulah sebabnya Gus Dur memberi predikat Polisi Tidur sebagai salah satu polisi terbaik di Indonesia.

Namun disisi lain, saya justru merasakan bahwa polisi tidur yang asal dibuat dan “asal ditidurkan” sering menimbulkan permasalahan tersendiri. Saya pribadi – mungkin juga orang lain –pastilah  merasa tidak nyaman ketika dalam sebuah gang atau jalan raya sekalipun banyak polisi tidur dan melintang menghalangi jalan kita. Alasan saya sederhana saja: bukankah jalan di aspal atau di beton adalah untuk memberi kenyamanan bagi para penggunanya? Mengapa setelah jalan bagus justru diadakan polisi-polisi tidur? Bagi saya, cara berpikir seperti itu menunjukkan logika yang kacau. Bahkan tidak jarang, di dekat polisi tidur sering ditemui peringatan bernada ancaman “Ngebut Benjut”.

Jika pembangunan polisi tidur dan peringatan “ngebut benjut” esensinya adalah pesan (message) dari masyarakat sekitar atau dari inisiator yang membangun polisi tidur (sender) kepada para pemakai jalan (receiver) untuk berhati-hati dalam berkendara, menurut saya itu adalah model komunikasi yang kurang etis dan kurang beradab. Sender menggunakan alat dan media komunikasi yang hard (kasar/keras) untuk memberi tekanan (pressure) mental kepada receiver. Kalaupun si receiver melaksanakan message si sender, dapat dipastikan dia melakukannya dengan hati gondok. Maka, persoalan hati-hati, berkendara secara santun, dan menjaga etika serta keselamatan orang lain sesungguhnya terletak pada kesadaran dan kepedulian pengendara (rider’s consciousness) serta kecerdasan berkendara (riding intelligence), bukan pada sang polisi tidur. Boleh jadi polisi tidur cukup efektif membangun rider’s consciousness dan riding intelligence tadi, namun upaya yang lebih humanistic seperti sosialisasi (public campaign) yang berkelanjutan, pendidikan lalu lintas bagi anak-anak sejak dini, dan seterusnya, menurut saya jauh lebih baik untuk konteks jangka panjang.

Kalaupun tetap dipandang perlu memberi peringatan kepada pengendara, mengapa tidak dipilih cara yang lebih bijak? Contoh di Jalan Manyar, Cilacap, mungkin bisa layak ditiru dan dikembangkan diseluruh belahan negeri ini. Di gang kecil tersebut ada sebuah Taman Kanak-Kanak yang cukup banyak muridnya, sehingga pada jam-jam masuk dan pulang sekolah, jalan tersebut sangat ramai. Pengendara yang tidak hati-hati, bisa saja menjadi ancaman bagi anak-anak tersebut. Di dekat TK tersebut memang ada polisi tidur, namun bukan TK tadi yang membuatnya. Pimpinan TK justru membuat peringatan berbunyi “Pelan itu Sopan”. Dan bagi para pengantar/penjemput anak TK yang seringkali membuat semerawut dan macet, ada himbauan berbunyi “Teratur itu Berbudi Luhur”. Nah, dengan pendekatan yang menyentuh sistem nilai universal seperti itu, orang cenderung taat tanpa merasa diperintah atau bahkan diancam.

Lebih ekstrem lagi, saya pernah berpikir bahwa membangun polisi tidur tanpa ijin resmi dari Kepolisian dan Kementerian/Dinas Perhubungan adalah sebuah sabotase. Bayangkan, jalan yang dibangun pemerintah dengan dana yang tidak sedikit, malahan dirusak oleh warga dengan alasan keselamatan, kehati-hatian, dan sejenisnya. Saya yakin pemerintah telah mempertimbangkan bahwa dengan lebih baiknya kondisi dan kualitas jalan, maka kecepatan kendaraan akan lebih tinggi. Dan dengan kecepatan yang lebih tinggi tadi, saya juga yakin bahwa pemerintah sudah memperhatikan implikasinya terhadap faktor keselamatan. Maka, sekali lagi, pembangunan polisi tidur semestinya tidak dibiarkan menjadi mekanisme warga sementara pemerintah (cq. Polisi dan aparat Perhubungan) hanya diam melihatnya. Biarkan aparat yang menentukan dimana akan dibangun polisi tidur (jika diperlukan). Biarkan pula mereka yang menganalisis aspek keamanan dan keselamatan pada suatu lokasi. Partisipasi masyarakat tentu sangat didorong dan perlu diapresiasi, namun bukan berarti masyarakat boleh mengintervensi fungsi institusi kenegaraan. Konkritnya, jika warga merasa perlu membuat polisi tidur di lingkungannya, sampaikan usulan kepada aparat, yang atas dasar usulan tadi aparat akan mengkaji kelayakannya dan kemudian mengalokasikan anggaran jika polisi tidur tadi benar-benar dibutuhkan. Namun, jangan pernah seseorang membangun polisi tidur dengan berdalih demi keselamatan.

Untuk selanjutnya, agar tidak muncul preseden bahwa siapapun dapat membuat polisi tidur dimanapun sesukanya, maka aparat Kepolisian dan Perhubungan perlu lebih cerdas dan tegas dalam menjalankan tugasnya. “Cerdas” dalam arti memiliki informasi yang lebih akurat tentang tingkat keselamatan di berbagai ruas jalan dan wilayah, kebutuhan kualitas jalan, mampu mengkomunikasikan kepada publik. “Tegas” dalam arti bahwa mereka lebih pro-aktif untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan terhadap polisi tidur yang terlanjur sedang/ telah dibangun. Dengan demikian, keberadaan polisi tidur benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dasar legalitas, dan secara moralitas kepada para penggunanya. Polisi tidur bukan hanya pengganggu kenyamanan, namun benar-benar dibutuhkan untuk menjaga keselamatan semua pihak. Jika ini terjadi, maka pernyataan Gus Dur bahwa polisi tidur adalah salah satu polisi terbaik di Indonesia akan menjadi kenyataan, bukan sekedar gurauan belaka.


Jakarta, 26 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar