Laman

Kamis, 12 September 2013

Menulis itu Seperti Sedekah

Bagi umat Islam, sedekah atau shadaqah amat diyakini memiliki banyak sekali keutamaan, dari memperbanyak rejeki, melancarkan karir dan jodoh, menenteramkan hati, memanjangkan umur, mengobati penyakit, melancarkan usaha, dan seterusnya. Semakin kuat keyakinan seseorang akan keutamaan sedekah, akan semakin ringan dan ikhlas ia melakukannya.

Allah sendiri menjamin bahwa seorang hamba tidak akan jatuh miskin karena banyak bersedekah. Sebaliknya, sekecil apapun nilai sedekah tadi, akan dilipatgandakan dalam berbagai bentuk yang tidak terduga-duga. Mungkin saja saat kita secara ikhlas bersedekah hanya Rp. 1000, Alah akan mengganti dengan rejeki yang 100 kali lebih banyak dari itu, atau dengan wujud lain seperti anak-anak yang menurut dan berbakti, dihindarkan dari kecelakaan, dijauhkan dari fitnah, atau wujud balasan apapun yang Dia kehendaki. Yang pasti, pribadi yang gemar sedekah akan menikmati sensasi keberlimpahan dan tidak pernah merasa kurang dengan apapun yang dimilikinya.

Nah, ketika akhir-akhir ini saya mulai “keranjingan” menulis hal-hal kecil secara harian, tiba-tiba saya merasakan efek keberlimpahan tadi. Awalnya saya hanya memiliki 2-3 ide untuk ditulis. Saya berpikir bahwa saat saya menyelesaikan 2 atau 3 tulisan tadi, saya harus memeras otak untuk bisa mendapat ide lain untuk ditulis. Ternyata hal itu tidak terjadi. Sebelum saya menyelesaikan satu tulisan, telah muncul ide yang lain. Begitu saya selesai dengan tulisan kedua, ketiga, dan seterusnya, saat itu pula muncul ide kedua, ketiga, dan seterusnya. Tanpa saya sadari, setiap tulisan itu akan selalu beranak pinak berupa ide-ide baru. Sama dengan sedekah, setiap sedekah akan memberikan limpahan-limpahan rejeki baru buat kita. Analoginya, setaip tulisan saya adalah sedekah saya. Semakin banyak tulisan/sedekah saya, maka akan semakin banyak pula ide-ide/rejeki yang akan mendatangi saya.

Sebenarnya, menulis bukan hanya analog dengan sedekah. Lebih dari itu, menulis adalah benar-benar sebuah sedekah. Mengapa? Tanpa kita sadari, kita telah menyumbang gagasan untuk para pembaca kita, tidak peduli disetujui atau tidak, dilaksanakan atau tidak. Sedikit banyak, tulisan kita juga memberi inspirasi dan memberi informasi yang mungkin sangat dibutuhkan oleh seseorang. Dengan demikian, tulisan kita – disadari atau tidak – dapat kita katakana sebagai media pencerdasan kehidupan bangsa. Dan itu semua jelas sebuah sedekah yang tidak kecil nilainya.

Hanya saja, dalam keadaan meluapnya ide tadi, saya justru merasa kelabakan karena hadirnya ide-ide baru membuat adrenalis saya meningkat, ingin menuangkan semua kedalam tulisan sementara situasi sering kali tidak memungkinkan. Saya menjadi ragu, dapatkah saya menuliskan semua ide tadi mengingat kemampuan dan waktu saya relatif terbatas? Dari target saya menghasilkan satu tulisan per hari-pun, kadang tidak terwujud karena aktivitas rutin saya di kantor maupun bersama keluarga. Jika ide datang dengan sendirinay dan mengalir terus tanpa dapat dibendung, bagaimana mungkin saya bisa mengelolanya dengan baik?

Meskipun saya merasa “diserbu” dengan banyak ide, dan itu berarti beban baru, sebagaimana saya ungkapkan dalam tulisan saya berjudul “Menulis itu Seperti BAB”, namun saya tetap besyukur dengan limpahan rejeki berbentuk ide-ide yang seringkali “liar” tersebut. Saya senang bisa berpikir secara berbeda dibanding ide-ide yang sudah banyak beredar. Saya juga senang karena saya merasa ide-ide saya memiliki tingkat kebaruan (novelty) dan keaslian (originality) meskipun mungkin sekali akan sangat sulit diterima oleh khalayak luas.

Sebagai penutup, saya mengajak pembaca Blog saya, sahabat-sahabat saya, dan siapapun yang ingin bersedekah melalui tulisan, mari kita perbanyak tulisan kita. Ini bukan hanya karya kita, kontribusi kita, dan jati diri kita. Lebih dari itu, ini adalah sedekah kita untuk kemajuan peradaban umat manusia (human civilization).


Jakarta, 12 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar