Laman

Kamis, 12 September 2013

Seleksi CPNS

Di berbagai media, akhir-akhir ini diramaikan oleh berita penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Setelah tiga tahun dilakukan moratorium, akhirmya keran untuk menjadi salah satu profesi yang paling diminati ini dibuka kembali. Hal yang menggembirakan adalah bahwa penerimaan kali ini sudah didukung dengan perangkat teknologi seperti pendaftaran secara online, dan juga test dengan CAT (computer assisted test) yang bisa memberikan skor test tertulis secara cepat dan akurat, hanya dalam hitungan menit setelah test selesai.

Terobosan-terobosan seperti ini dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya KKN seperti jual beli soal, janji untuk meloloskan, kesepakatan terselubung, dan sebagainya. KKN dalam penerimaan CPNS sendiri selama ini relatif marak karena rendahnya transparansi sejak penerimaan berkas hingga pengumuman akhir. Akuntabilitas penyelenggara juga sangat lemah yang antara lain terbaca dari banyaknya kasus-kasus penyimpangan di berbagai daerah dan instansi. Test masuk PNS seolah menjadi sebuah judi karena tidak ada jaminan peserta seleksi yang pintar dan berperilaku baik akan diterima, sementara yang kurang secara intektialitas dan perilakunya akan tertolak. Oleh karena itu, meskipun sistem online dan CAT juga masih ada banyak kekurangan, namun kita tetap pantas memberi apresiasi sebagai wujud adanya inovasi dalam sistem kepegawaian khususnya dan sistem administrasi negara pada umumnya.

Setiap instansi seperti berlomba mendapatkan generasi muda terbaik melalui serangkaian test yang berat dan kompetitif. Hal ini masuk akal mengingat merekrut pegawai adalah urusan jangka panjang yang akan sangat menentukan prestasi dan prestise organisasi dimasa depan. Kesalahan menemukan kader terbaik akan menimbulkan efek laksana salah makan obat: penyakit lama tidak sembuh namun justru timbul banyak keluhan baru. Atas dasar kehati-hatian agar tidak salah pilih itulah, kemudian diciptakan instrumen seleksi yang sangat ketat. Bayangkan saja, seorang pelamar harus mengikuti beragam jenis test mulai seleksi administrasi, TKD (Tes Kompetensi Dasar), TKB (Tes Kompetensi Bidang), dan dilanjutkan dengan test Bahasa Inggris, Psikotest, dan wawancara. Setiap instansi masih bisa menambahkan jenis test lain sesuai kebutuhan, misalnya test karya tulis (essay), praktek, dan sebagainya.

Bagi saya pribadi, aneka ragam test tadi sah-sah saja dilakukan, namun tidak perlu didesain dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Sebab, instansi pemerintah tidak sedang mencari seseorang yang sudah “jadi”, dalam arti telah memiliki kompetensi yang relatif lengkap. Secara jujur harus kita akui bahwa sistem pendidikan kita belum mampu menghasilkan manusia siap kerja (ready to work), melainkan tenaga kerja siap latih dan siap berkebang (ready to grow). Bagi saya, yang harus lebih dipentingkan adalah menjaring “potensi”, baik dari sisi intelektualitas maupun kepribadian. Meski dalam rangkaian test tadi telah ada test psikologi untuk memperoleh gambaran kepribadian seorang kandidat, namun secara umum saya masih melihat bahwa test pengetahuan, intelektualitas, atau kognitif, cenderung masih dominan. Artinya, berbagai bentuk ujian tadi lebih mengungkap explicit knowledge seseorang dibanding implicit atau tacit knowledge-nya.

Saya memiliki pandangan seperti ini berdasarkan pengamatan bahwa banyak orang yang sebelum masuk menjadi PNS begitu hebat yang ditunjukkan oleh raihan IPK mendekati 4, aktivis organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, pengalaman kerja sebagai asisten dosen atau di perusahaan, dan sebagainya, namun setelah menjadi pegawai justru tidak pernah menjadi nomor satu. Sebaliknya, ada yang semasa mahasiswa biasa-biasa saja namun setelah menjadi pegawai menunjukkan performa yang jauh lebih baik. Ini berarti bahwa starting point seorang pegawai tidak secara signifikan menentukan hasil akhir mereka di kemudian hari. Aspek-aspek explicit intelligence sangat mudah ditingkatkan sepanjang usia karir pegawai, namun aspek implicit intelligence seperti motivasi untuk terus maju (need for achievement), keteguhan terhadap prinsip dan tata nilai (istiqamah), kesetiaan pada organisasi, kerelaan berkorban demi kebenaran (institutional patriotism), kerendahhatian (humble), pemikiran positif dalam segala hal (positive thinking), dan  sebagainya, jauh lebih sulit dibangun. Itulah sebabnya, saya jauh lebih menyukai menjaring “potensi” dari pada kepandaian dalam proses rekrutmen pegawai. Memang menjaring potensi terpendam bahkan tidak terkenali (unidentified potency) jauh lebih sulit dibanding memetakan kecerdasan seseorang. Namun, sesuatu yang sulit bukan alasan untuk meminimalisir apalagi meniadakannya,

Terkait dengan upaya deep scanning terhadap potensi pelamar CPNS tadi, saya menilai bahwa sistem gugur dalam seleksi tidaklah tepat. Seperti kita ketahui, sistem penerimaan CPNS saat ini menggunakan sistem gugur yang dimulai dari seleksi administrasi (kelengkapan berkas). Jika berkas tidak lengkap, maka seseorang langsung gugur. Padahal, bisa jadi orang tadi adalah orang yang sangat potensial namun terlambat melengkapi berkas hanya karena keterlambatan informasi tentang pendaftaran CPNS tersebut. Setelah lolos seleksi administratif, pelamar harus mengikuti TKD yang kurang lebih berisi tentang test pengetahuan umum. Jika gagal di tahap ini, maka pelamar tidak dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya yakni test TKB. Padahal, bisa jadi seseorang yang sangat ahli di bidangnya (misalnya akuntansi, hukum pidana khusus, pertambangan, farmasi, dan lain-lain) namun kurang memiliki wawasan yang luas sekitar tema sistem pemerintahan negara, kebijakan pelayanan publik, good governance, dan sejenisnya, sehingga yang bersangkutan dinyatakan gugur. Ini jelas sebuah kesalahan mendasar dalam sistem seleksi, karena lebih mengutamakan kompetensi dasar (generalis) dari pada kompetensi bidang (specialis). Pada tahap TKB-pun, seorang pelamar dengan mudah bisa gugur jika tidak memiliki wawasan terkait tugas dan fungsi instansi yang dilamar. Padahal, kompetensi bidang ini justru yang akan terus dibangun dan ditingkatkan selama seseorang menjadi pegawai pada instansi tersebut. Tidak fair rasanya seorang frsh graduate sudah dituntut memiliki penguasaan substantif pada bidang tertentu, sementara kurikulum pendidikan perguruan tinggi tidak mendukung hal tersebut. Dengan tiga tahap dengan sistem gugur tadi, boleh jadi akan tersisa kader-kader terunggul. Namun boleh jadi pula justru tersisa mereka-mereka yang sekedar beruntung, bukan yang terbaik.

Selanjutnya, dilakukan test bahasa Inggris dan psikotest, kemudian diakhiri dengan Wawancara. Bagi saya, test bahasa Inggris tidak begitu penting dengan alasan apapun seperti globalisasi kek, siap untuk melanjutkan studi ke luar negeri kek, memperkuat daya tawar organisasi di era kompetisi kek, dan seterusnya. Sebab, jika bahasa Inggris menjadi pertimbangan mendasar, maka alumni sastra Inggris-lah yang memiliki peluang lebih besar untuk lolos, sementara formasi CPNS untuk pengajar dan penutur bahasa Inggris sangatlah sedikit. Lagi pula, kemampuan berbahasa asing dapat dilakukan secara terus menerus sepanjang karir seseorang (long-life career learning), sebagaimana kompetensi dasar dan bidang.

Oleh karenanya, tahap wawancara bagi saya adalah tahap terpenting yang harus diberi porsi waktu dan bobot terbesar. Kontak langsung antara pewawancara dengan pelamar ini akan bisa memberikan “sisi lain” dari sosok seorang pelamar CPNS. Saya masih sangat percaya adanya feeling, instinct, naluri, atau kata hati adalah perangkat Ilahiah yang dianugerahkan Tuhan YMK dan merupakan instrumen yang jauh lebih akurat dalam menentukan sebuah pilihan. Dengan memperkuat utilisasi piranti ruhaniah dalam menyeleksi CPNS ini, seorang pewawancara bisa membaca sesuatu yang tidak terbaca dengan mata telanjang (read the unreadable), atau mendengar sesuatu yang tidak terkatakan (listen to the unspoken truth). Pertimbangan rasional boleh saja digunakan, namun sebaiknya tidak menegasikan aspek qalbu atau kebatinan dan pertimbangan transendental ini. Tentu tidak ada jaminan bahwa dimensi hati ini akan lebih baik dibanding dimensi rasionalitas. Kuncinya adalah bahwa hati kita harus bersih, tidak ada kepentingan terselubung, bersih dari syak wasangka, dan jujur dengan diri sendiri.

Dan hal ini jelas akan memperbesar subyektivitas, yang justru ingin dikikis dengan seperangkat test yang panjang dan berat tadi. Bagi saya, tidak ada yang salah dengan subyektivitas. Subyektivitas seorang pewawancara yang hebat dan tangguh (well trained and experienced interviewers) menurut saya adalah obyektivitas itu sendiri. Sesungguhnyalah bahwa pewawancara merupakan instrumen utama dalam seleksi CPNS, yang tidak mudah begitu saja diganti dengan instrumen test kognitif sesulit apapun. Hal ini dapat dianalogikan dengan proses penelitian yang lebih mengandalkan peneliti sebagai instrumen utamanya, bukan kuesioner, pedoman wawancara, atau instrumen penelitian lainnya. Berbagai instrumen paper-based tadi hanyalah pendukung terhadap instrumen utama yakni pelaku aktivitasnya (human instrument). Selain itu, jaminan obyektivitas dari penilaian secara subyektif adalah kredibilitas dan integritas seorang pewawancara. Tanpa adanya integritas, maka sehebat dan setangguh apapun seorang pewawancara hanya akan menghasilkan sampah-sampah organisasi.

Ini hanyalah refleksi saya terhadap sistem seleksi yang tengah berlangsung saat ini, semoga bisa menjadi perenungan bagi otoritas kepegawaian di tingkat nasional, daerah, maupun instansional untuk terus mencari model seleksi terbaik guna menemukan orang terbaik untuk birokrasi Indonesia.


Jakarta, 11 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar