Laman

Kamis, 26 September 2013

Negara Peraturan


Kompas Online tanggal 25 September 2013 memuat berita menarik tentang Perda Pengendalian Minuman Keras di DKI yang tidak pernah dilaksanakan maupun ditegakkan. Wagub DKI, Ahok, sampai mengatakan: “Di Jakarta mana ada sih peraturan yang jalan”?

Apa yang terjadi di DKI ini mungkin sekali juga terjadi di daerah lain di Indonesia, bahkan bisa jadi di tingkat nasional. Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, tidak ada komitmen dan kapasitas institusi.pejabat dalam mengimplementasikan kebijakan, sehingga terjadi kegagalan implementasi (implementation failure). Kedua, kebijakan disusun / dirumuskan secara asal-asalan, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak memecahkan masalah apapun. Boleh jadi, kebijakan disusun hanya untuk mengejar target penyelesaian pembahasan dan pengundangan belaka. Seolah-olah, keberhasilan sebuah instansi atau daerah meng-gol-kan aturan adalah kinerja hebat dari instansi atau daerah tersebut. Yang terjadi kemudian, lembaga pemerintah terlalu pandai menghasilkan aturan, namun tidak pandai menjalankannya. Situasi ini akan berimplikasi semakin banyaknya peraturan (surplus aturan) namun tidak disertai dengan kepatuhan terhadap aturan (defisit ketaatan).

Dalam realita, gejala surplus aturan defisit ketaatan tadi bukan sekedar isapan jempol. Data lima tahun terakhir (2009-2013) yang saya coba kumpulkan dari website kementerian terkait menunjukkan adanya nafsu mengatur yang cukup besar di kalangan birokrasi Indonesia. Hal ini terutama terlihat sekali di Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PAN dan RB (lihat Tabel dibawah).

Jenis Peraturan
2009
2010
2011
2012
2013 *)
Undang-Undang
47
13
24
24
13 (s/d September)
Peraturan Pemerintah
77
75
79
99
59 (s/d Agustus)
Peraturan Presiden
55
88
95
126
62 (s/d Agustus)
Permen Dalam Negeri
55
66
73
78
42 (s/d Juni)
Permen PAN dan RB
20
29
70
233
31 (s/d September)
Permen Keuangan
216
259
258
239
117 (s/d Agustus)
Permen Kesehatan
1249
1799
2415
58
39 (s/d Mei)
Permen PU
24
20
20
7 (s/d Agustus)
Permen Nakertrans
25
19
18
20
6 (s/d Juni)
Permen PPN/Bappenas
6
5
6
8
3 (s/d Juni)

Terus terang akal sehat saya belum bisa menerima fakta bahwa sebuah kementerian dapat menghasilkan Peraturan Menteri lebih dari 100 dalam satu tahun. Ini sama artinya dalam satu bulan ada 9-10 Permen yang dihasilkan, atau 2-3 Permen dalam satu minggu. Terlebih Kemenkes, pada tahun 2011 menghasilkan 2.415 Permen, yang berarti dalam satu hari kerja menghasilkan kurang lebih 10 Permen, dengan asumsi hari kerja efektif per bulan adalah 20 hari. Pertanyaan saya kemudian adalah, apakah mereka hanya bekerja untuk membuat aturan, yang nota bene membatasi ruang gerak masyarakat, menimbulkan beban baru bagi masyarakat, dan menambah panjang rantai pelayanan kepada publik? Tidak adakah pekerjaan lain selain mengatur? Dan, benarkah aturan itu dibutuhkan oleh masyarakat? Adakah perbedaan signifikan yang dihasilkan oleh aturan tersebut? Dan, pernahkah dan mampukah mereka melakukan evaluasi terhadap penerapan ribuan peraturan tersebut? Jika mereka sudah terlalu disibukkan oleh proses membuat aturan, lantas bagaimana dan kapan mereka akan melaksanakan dan mengevaluasi aturan tersebut?

Meskipun tidak separah Kementerian Kesehatan dan belum menembus jumlah 100 Permen/tahun, Kementerian Dalam Negeri nampaknya juga terjangkit nafsu mengatur. Hal ini terlihat dari jumlah aturan yang selalu naik dari tahun ke tahun. Situasi sama juga terjadi dengan produk hukum berupa Peraturan Presiden yang trend-nya selalu meningkat. Sementara di lingkup Kementerian PAN dan RB, terjadi lonjakan yang luar biasa dengan menghasilkan 233 Permen pada tahun 2012, dari tahun sebelumnya yang “hanya” 70 Permen. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi maha besar mengingat terjadi di era reformasi birokrasi (RB), dan dilakukan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang RB. Bukankah RB justru mengusung semangat deregulasi, pemangkasan rantai birokrasi (red tape), dan pelonggaran ruang-ruang baru untuk inovasi dan partisipasi publik? Mengapa RB justru dijawab dengan melonjaknya jumlah regulasi?

Inilah yang menurut saya merupakan salah kaprah dengan reformasi kita. Birokrasi pelayan yang harus dibangun, justru menjelma menjadi rezim regulasi baru. Negara pelayan menjadi negara pengatur. Kita seperti terjangkit amnesia dan lupa dengan sejarah bangsa bahwa tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 salah satunya disebabkan oleh tabiatnya yang terlalu banyak mengatur (over regulasi).

Saya tidak mengatakan bahwa lembaga pemerintah tidak boleh lagi menjalankan regulatory function di era reformasi saat ini. Aturan baru sesungguhnya adalah sebuah kelaziman sepanjang tidak overdose dan cenderung dipaksakan. Kasus UU No. 17/2013 tentang Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) barangkali dapat menjadi contoh faktual adanya kesan pemaksaan tadi. Ketika terjadi penolakan dari berbagai ormas secara bertubi-tubi karena nilai kemanfaatan yang kecil, serta sudah diberikan alternatif penggantinya dengan cara merevisi UU Yayasan, toch tetap saja UU ini diundangkan. Meskipun ada ancaman akan segera digugat ke Mahkamah Konstitusi begitu diundangkan, tidak menyurutkan langkah pemerintah bersama DPR untuk memberlakukan aturan ini.

Bagi saya, akan lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas implementasi peraturan lama. Jika terbukti masih efektif, tinggal dilanjutkan. Dan jika sebaliknya, maka perlu segera direvisi tanpa harus memunculkan aturan baru sama sekali. Dengan demikian, perbaikan sistem kebijakan tidak dilakukan secara radikal melainkan lebih secara inkremental. Dengan cara seperti ini pula maka kesan masyarakat awam bahwa “ganti pejabat ganti aturan” dapat dihindari.


Jakarta 26 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar