Laman

Selasa, 03 September 2013

Omnipresence



Saya yakin banyak diantara kita yang sering mendengar, atau bahkan merasakan, sebuah situasi dimana kita mengharapkan eksistensi dan peran negara/pemerintah, namun tidak kita temukan. Dalam berbagai peristiwa kita sering mengalami situasi tidak hadirnya pemerintah (the absence of the state). Sebagai contoh, saat terjadi konflik antar kelompok yang mengakibatkan korban jiwa, saat ada seorang warga negara yang ketahuan telah menjadi mayat karena kelaparan dan tidak makan berhari-hari, saat kemacetan parah di sebuah simpang empat dan tak terlihat satupun petugas kepolisian, saat anggota masyarakat ditolak berobat oleh banyak rumah sakit, atau saat-saat lain ketika seseorang sangat membutuhkan uluran tangan aparat namun hanya kehampaan yang ditemui, maka saat itulah muncul pertanyaan: “kemana negara/pemerintah kita?”

Dalam konsep kepemerintahan yang baik, salah satunya dikenal prinsip atau asas omnipresence. Omni berarti banyak, dan presence berharti hadir. Artinya, pemerintah harus hadir dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun saat warga negara membutuhkan. Maka, seorang pendaki gunung yang tersesat atau mendapat kecelakaan karena minimnya informasi tentang situasi jalur pendakian, adalah wujud ketidakhadiran pemerintah. Demikian pula seorang penduduk miskin yang tidak bisa membayar jaya layanan kesehatan bahkan sampai beriklan menjual organ tubuhnya, dia ibarat hidup di sebuah negara tanpa pemerintah (state without government).

Kehadiran pemerintah tentu tidak selalu berarti secara fisik dan tangible. Pemerintah dapat hadir dimanapun dan kapanpun (eternal presence) lebih banyak melalui simbol-simbol pemerintahan, antara lain melalui peraturan, informasi resmi, peringatan, rambu-rambu, dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang pendaki gunung yang telah mendapat informasi lengkap tentang situasi jalur pendakian, laksana sudah berhadapan dengan pemerintah. Begitu pula penduduk miskin yang tidak mampu membayar biaya kesehatan namun diterima secara gratis di rumah sakit manapun, adalah wujud konkrit kehadiran pemerintah bagi orang tersebut. Demikian halnya antisipasi dini aparat pemerintah yang mampu mencegah terjadinya konflik sosial, atau pengguna jalan yang sudah mengetahui adanya lubang-bulang di depan mereka, proyek gorong-gorong, atau penyempitan, sehingga dapat menghindarkan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan, adalah manifestasi adanya mekanisme kepemerintahan yang tengah bekerja (government that works).

Ini memang sebuah konsep yang sangat ideal, sehingga menjadi sebuah kewajaran ketika dalam realitanya terjadi gap yang cukup besar antara ekspektasi publik dengan kemampuan pemerintah untuk benar-benar hadir disetiap waktu. Namun, untuk itulah pemerintah sengaja diadakan. Secara filosofis, pemerintah memang dibentuk, dipilih, diangkat, dan/atau diberi mandat untuk menyelesaikan semua permasalahan warga negara tanpa kecuali. Para pemimpin adalah sosok setengah dewa yang diharapkan dapat menjadi dewa penolong terhadap setiap situasi problematis yang dihadapi masyarakat.

Maka, meskipun tidak dipungkiri adalah berbagai keterbatasan, pemerintah tetap tidak etis untuk mencari alasan pembenar, dalih, atau excuse terhadap kegagalan menjalankan tugas dan fungsi, apalagi menyalahkan pihak lain atas terjadinya sebuah kejadian. Jika ada adagium dalam ilmu hukum bahwa “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya”; atau dalil dalam dunia kesehatan bahwa “dokter tidak boleh menolak pasien dengan alasan tidak ada obatnya”, maka dalam administrasi negara-pun harus dikembangkan prinsip bahwa “pemerintah tidak boleh menghentikan pelayanan dengan alasan tidak ada sumber dayanya”. Sebagai contoh, pemerintah tidak bisa membiarkan para gelandangan hidup dibawah kolong jembatan dengan alasan tidak ada anggaran pembangunan rusunawa (rumah susun sangat sederhana). Artinya, pemerintah harus tahu persis setiap situasi dan peristiwa yang menimpa warganya, kemudian mengambil posisi paling depan dan bertanggungjawab atas keselamatan warga negara. Kasus pengendara motor yang meninggal karena kecelakaan akibat terperosok lubang yang tidak segera ditutup/diaspal oleh pemerintah, berdasarkan asas omnipresence tadi dapat dikatakan lalai dan harus bertanggungjawab penuh atas kerugian yang diderita korban. Dan banyak lagi contoh kasus yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan betapa sulit dan beratnya tugas dan tanggungjawab pemerintah.

Maka, menjadi agak aneh ketika banyak orang yang ingin menjadi aparat pemerintah, baik dari jalur legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Apa motif utama mereka yang sesungguhnya? Melayani masyarakat dan hadir dimanapun di setiap waktu dibutuhkan warganya, ataukah sekedar mencari kemuliaan pribadi?

Semoga tulisan ini bisa menjadi renungan bagi kita semua. Bagi masyarakat dan rakyat jelata semoga bisa lebih menyadari hak-hak konstitusionalnya dihadapan pemerintah, dan bagi pemerintah semoga dapat menjadi motivasi untuk meluruskan niat dan komitmennya dalam mengabdi pada negeri dan rakyatnya.

Balikpapan, 4 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar