Laman

Jumat, 06 September 2013

Kesan Pertama Tentang Timika


Hari ini, Kamis, 5 September 2013, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Timika, Papua. Pesawat Garuda yang membawa saya ke Jayapura dari Jakarta, harus transit selama 1 jam lebih di Timika. Kesempatan pertama di bumi berlimpah emas ini tentu saja tidak saya lewatkan untuk sekedar melihat sekeliling saya, meski terbatas di lingkungan bandara Mozes Kilangin.

Perlu diketahui bahwa Timika adalah kota kabupaten dimana terdapat perusahaan tambang multinasional bernama PT Freeport Indonesia, yang berafilisasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold di Amerika Serikat. Tepatnya, perusahaan ini terletak di kota Tembagapura, yang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam dari pusat ibukota Timika. Konon, nilai asset dari penambangan emas di perusahaan ini mencapai Rp. 1.500 trilyun/tahun, atau kurang lebih sama dengan APBN Indonesia selama satu tahun. Jika negeri ini bisa membiayai pembangunan seluruh sektor, seluruh lembaga negara, seluruh pemerintah daerah, ratusan kota dan ribuan desa, dan sekaligus membayar gaji para pegawainya sebanyak 4,5 juta PNS selama setahun hanya dengan Rp. 1.500 trilyun, bayangkan dengan jumlah uang yang sama apa yang bisa dihasilkan oleh sebuah perusahaan saja? Tentu saja, bukan hal sulit bagi Freeport (kalau mau) untuk membangun Timika menjadi kota sekelas Singapura sekalipun.

Maka, ada benarnya juga banyaknya tuntutan dari berbagai kalangan, termasuk yang paling getol adalah Amien Rais, tentang perlunya neregosiasi kontrak karya antara Freeport dengan pemerintah RI, agar proporsi kemanfaatan usaha tambang bisa lebih dinikmati oleh rakyat banyak sebagai pengejawahtahan spirit konstitusi. Bahkan tidak aneh juga desakan untuk melakukan nasionalisasi karena fakta rendahnya kemanfaatan perusahaan bagi daerah dan masyarakat sekitarnya.

Meskipun demikian, kita juga jangan menutup mata bahwa keberadaan perusahaan ini sedikit banyak ada manfaatnya. Saya tidak bermaksud melakukan perbandingan antara manfaat dan kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan ini. Saya hanya sekedar ingin menuliskan kesan pertama (first impression) tentang Timika (termasuk Freeport), dari perspektif yang sangat sempit, karena hanya terpotret dari bandara, dalam waktu yang sangat singkat, dan tanpa proses konfirmasi atau klarifikasi. Oleh karenanya, sangat mungkin kesan saya ini kontras dengan fakta yang sesungguhnya. Dalam hal ini, kesan yang hanya didasarkan pada fakta yang eksplisit atau peristiwa yang terlihat di permukaaan saja, akan menghasilkan kesan positif karena sesuatu yang terlihat pastilah menonjolkan yang baik-baik saja, sementara hal yang buruk cenderung disembunyikan.

Untuk itu, kesan pertama sayapun juga baik terhadap keberadaan Freeport. Bagaimana tidak? Di dinding-dinding bandara banyak sekali informasi tentang aktivitas teknis maupun non-teknis dari perusahaan ini. Dari segi teknis, saya melihat paling tidak ada tiga jenis usaha Freeport yakni pengolahan bijih (ore process), tambang terbuka Grasberg (Grasberg surface mine), dan tambang bawah tanah (underground mine). Sementara dari segi non-teknis (tidak terkait langsung usaha penambangan), cukup banyak variasi program dari community health initiative (prakarsa masyarakat sehat), from will to skills (kesungguhan berbuah keterampilan), preserving tradition (melestarikan tradisi seni dan budaya), fostering entrepreneurship (membina semangat kewirausahaan), environmental management (pengelolaan lingkungan), preserving the wealth of nature (melestarikan kekayaan hayati), hingga tailings reutilization (pemanfaatan pasir sisa tambang atau sirsat). Khusus yang terakhir, pasir sisa tambang ternyata memiliki manfaat ekonomi yang cukup tinggi karena bisa menjadi bahan cor dalam pembuatan beton. Bukan hanya jalan-jalan di Timika yang sudah dibeton dengan bahan dasar sirsat ini, bahkan bandara Mozes Kilangin sendiri dibangun dari sisa tambang ini. Bukankah hal-hal seperti ini sangat bermanfaat bagi masyarakat?

Tidak berhenti sampai disitu. PT Freeport juga membangun lapangan terbang Naramatei (Mulu) yang berlokasi di puncak sebuah bukit. Sebelum ada bandara ini, pengiriman bahan-bahan kebutuhan masyarakat hanya bisa disuplai sebanyak 2 kali dalam setahun, namun dengan adanya lapangan terbang ini maka kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat jelas semakin membaik.

Selama di bandara saya juga melihat ada beberapa orang bule bahkan ada yang membawa bayi. Terkesan oleh saya bahwa tidak sedikitpun tersirat rasa kekhawatiran mereka terhadap keselamatan fisik maupun jiwa. Situasi bandara begitu tenang, aman, dan damai, jauh dari kesan selama ini ketika melihat Timika dari Jawa. Sangat boleh jadi, banyak orang Jawa menderita rabun jauh dalam melihat fakta dan peristiwa di Timika khususnya dan Papua umumnya. Tanah Papua ternyata begitu ramah, bersahabat, dan terbuka terhadap orang dari suku/bangsa lain. Ulah oknum yang secara insidental melakukan tidakan penembakan, pencegatan, atau tindakan lainnya, telah merusak citra dan wajah Papua yang begitu cantik dan segar lagi menyegarkan.

Semoga kesan positif yang saya dapatkan adalah cerminan realita kehidupan masyarakat Papua secara utuh. Semoga pula, Freeport benar-benar memiliki komitmen untuk turut membangun Papua dan manusia Papua sebaik mungkin sebagaimana brosur yang tertempel di dinding-dinding bandara, tidak sekedar mengejar profit belaka. Semoga pula oknum-oknum separatis atau pengacau keamanan yang selama ini kecewa dengan kondisi yang ada dapat lebih membaur dengan komunitas yang lebih luas dan diterima oleh seluruh kalangan. Proses pemaafan kolektif dan penerimaan kembali “anak-anak nakal”dalam pelukan masyarakat, merupakan prakondisi yang penting untuk membangun kohesi sosial yang lebih kuat berbasis rasa saling percaya dan penghormatan secara timbal balik antar kelompok (trust and mutual respect). Bagi pemerintah sendiri (pusat maupun daerah), komitmen untuk mengabdikan diri bagi masyarakat melalui langkah nyata menekan inefisiensi, menghindari perilaku korup, mencegah penyalahgunaan wewenang, dan terus menerus melakukan reformasi di berbagai bidang, harus semakin ditingkatkan sekaligus dibuktikan. Jika setiap kelompok (perusahaan, masyarakat, dan pemerintah) bisa mengambil peran secara tepat dan positif seperti ini, betapa Tanah Papua akan menjadi taman surga bukan hanya bagi penduduk Papua, namun juga bagi Indonesia bahkan dunia internasional.

Tentu menjadi harapan kita semua bahwa limpahan karunia Tuhan YMK berupa kekayaan alam Papua yang begitu besar tidak akan menjadi kutukan (resource curse) bagi bangsa ini, seperti kasus yang terjadi misalnya di Irak. Kita semua berdoa semoga sumber daya alam ini akan menjadi berkah (resource blessing) bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Papua dan Indonesia. Aamiin.

Jayapura, 5 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar