Kita sering mendengar bahwa
melakukan perubahan itu tidaklah mudah. Kita juga teramat sering mendengar
adanya keengganan bahkan penolakan terhadap perubahan (resistance to change). Jika sekedar berubahpun enggan, bagaimana
mungkin sebuah organisasi akan melakukan transformasi? Dalam hal ini, saya
menafsirkan transformasi sebagai sebuah perubahan besar yang membuat sistem,
struktur, dan budaya organisasi menjadi sangat berbeda dibanding sebelumnya.
Transformasi bukan sekedar mempercepat proses pelayanan menjadi lebih cepat 1
hari atau 1 minggu; bukan pula postur organisasi yang tambun menjadi sedikit
lebih ramping. Transformasi lebih mencerminkan perubahan mental model atau paradigma
dari dilayani menjadi dilayani, dari big
is powerful menjadi small is
beautiful, dari alon-alon waton
kelakon (pelan asal selesai) menjadi quick
response (reaksi cepat), dari inefisien menjadi efisien, dari inward looking yang berorientasi self-interest menjadi outward looking yang berorientasi public values, dan seterusnya.
Maka, jika perubahan adalah
sebuah proses evolusi yang biasanya bersifat inkremental, maka transformasi
adalah evolusi yang dipercepat, atau sebuah langkah revolusioner. Jika
perubahan cenderung memilih satu atau dua aspek untuk disempurnakan berdasarkan
urutan prioritasnya, maka transformasi menghendaki perubahan serentak,
simultan, paralel, holistik, dan integral. Tidak ada aspek yang boleh dibiarkan
tertinggal dan tidak tersentuh perbaikan, Jika perubahan lebih mudah dipahami
secara kuantitatif, maka transformasi harus dirasakan secara lebih kualitatif.
Jika perubahan sudah terjadi ketika secara individual saya meneguhkan tekad
untuk lebih disiplin, maka transformasi baru muncul ketika disiplin disiplin
individu saya telah melebur kedalam disiplin kolektif yang menjelma sebagai
kebiasaan bersama (collective habit).
Nah, dengan pembedaan diatas,
saya mengasumsikan bahwa transformasi jauh lebih sulit dikelola dibanding
mengelola perubahan. Namun, ada satu ajaran dari John P Kotter dalam artikelnya
berjudul Leading Change: Why
Transformation Efforts Fail?, yang menurut saya memberi arahan atau panduan
yang sangat logis, sederhana, dan operasional untuk melakukan sebuah
transformasi dalam organisasi. Dia mengemukakan adanya 8 (delapan) langkah
dan/atau peran seorang pemimin dalam melakukan transformasi. Ke-8 hal itu
adalah:
1.
Establishing
sense of urgency;
2.
Forming
a powerful guiding coalition;
3.
Creating
a vision;
4.
Communicating
the vision;
5.
Empowering
others to act the vision;
6.
Planning
for and creating short-term wins;
7.
Consolidating
improvements and producing more changes;
8.
Institutionalizing
new approaches.
Pada tahap pertama, saya merasa sreg dan klop sekali bahwa transformasi harus diawali dengan menemukan
urgensinya. Mengapa transformasi harus dilakukan; apa tekanan (pressure), kesulitan (difficulties), dan tantangan (threat) yang dihadapi; serta apa
dampaknya bagi organisasi jika transformasi tadi tidak dilakukan? Urgensi
transformasi, oleh karenanya, adalah alasan mendasar (raison de’tre) mengapa transformasi mutlak harus dijalankan. Tanpa
adanya alasan ini, bisa dijamin transformasi akan kehilangan spirit, kekuatan,
dan arah yang jelas. Dan uniknya, faktor yang membuat transformasi menjadi
lebih bertenaga, bersemangat, dan jelas arah orientasinya, adalah situasi serba
sulit, tidak pasti, dan penuh tantangan tadi. Ketika sebuah organisasi merasa tidak
memiliki faktor komplikasi dalam mencapai tujuannya dan merasa segala sesuatu
baik-baik saja, maka sesungguhnya organisasi tersebut sedang berada dalam
situasi yang tidak baik-baik saja,
Selanjutnya, manakala urgensi
untuk transformasi sudah berhasil diidentifikasikan, langkah yang harus
ditempuh adalah meminta dukungan dan komitmen berbagai pihak untuk menggulirkan
perubahan. Komitmen tadi bisa bersumber dari lingkungan internal maupun dari stakeholder eksternalnya. Kolaborasi,
koalisi, dan kooperasi antar aktor akan menjadi condition sine qua non keberhasilan sebuah transformasi. Tanpa
adanya hal tersebut, maka perubahan hanya akan menjadi omong kosong dan angin
lalu. Sekuat apapun pressure yang
dimiliki untuk terjadinya perubahan, dan sekuat apapun komitmen pimpinan untuk
berubah, namun tanpa adanya dukungan multi-aktor, perubahan ibarat sebatang
lidi yang tidak mampu membersihkan sampah yang berserakan. Sampah-sampah itu
hanya bisa dibersihkan oleh kumpulan lidi yang diikat oleh sebuah komitmen dan visi
bersama (shared vision).
Pembentukan visi bersama ini
merupakan syarat mutlak ketika koalisi perubahan sudah terbangun. Visi ini
memiliki banyak fungsi. Selain untuk menyelaraskan irama dan gerak langkah,
atau untuk menciptakan frekuensi hati dan pemikiran yang sama, shared vision juga memberi arah yang
jelas kemana organisasi akan dibawa, sekaligus menyediakan gambaran masa depan
yang harus diwujudkan oleh organisasi tersebut. Tanpa adanya visi, sangat
mungkin sebuah organisasi akan tersesat di tengah jalan. Ibarat biduk yang
berada di tengah lautan lepas di tengah malam gulita, visi adalah bintang utara
(North Star) yang memberikan peta
jalan (roadmap) yang memandu sang
nelayan keluar dari kesesatan.
Namun, visi saja sangat tidak
cukup. Visi ini harus dikampanyekan atau dikomunikasikan kepada seluruh pihak
terkait. Komunikasi ini akan menjaga visi tidak mengalami reduksi pada
perjalanan organisasi. Dengan kata lain, kampanye visi bertujuan untuk memelihara
shared vision tidak tercabik-cabik
menjadi visi-visi individu yang berbeda haluan. Pada saat yang bersamaan,
kampanye visi harus disertai dengan pemberdayaan, pengembangan kapasitas, atau
pengembangan pegawai. Visi yang kuat harus dikelola oleh SDM yang kompeten.
Kekuatan visi harus compatible dengan
kapasitas SDM. Kecepatan (velocity)
dan ketangguhan (durability) keduanya
harus seimbang dan saling mengisi atau saling memperkuat. Jika salah satu unsur
timpang dan tidak mampu mengikuti kecepatan dan ketangguhan unsur lainnya, maka
sia-sialah semuanya.
Jika alasan untuk transformasi
sudah jelas, koalisi sudah ada, visi sudah dibangun dan dikomunikasikan, dan
kapasitas SDM terus dikembangkan, maka pondasi yang kokoh untuk sebuah
transformasi dapat dikatakan telah terpenuhi. Langkah berikutnya tinggal
membuat perencanaan dan program unggulan untuk jangka pendek (quick wins). Perencanaan ibarat busur,
sedang program unggulan ibarat anak panah. Keduanya membentuk sinergi dalam
mencapai sasaran seakurat mungkin. Dengan kata lain, perencanaan dan quick wins merupakan stepping stones atau milestones menuju tujuan akhir (ultimate goals) organisasi. Visi saja
tidak mungkin bisa merealisasikan tujuan. Visi membutuhkan kristalisasi berupa
kerja keras seluruh SDM-nya dan aktualisasi melalui program dan kegiatan yang
nyata dan terukur tingkat kinerjanya.
Pada saatnya, sebuah organisasi
tidak boleh puas hanya dengan satu atau beberapa quick wins saja. Ini harus terus direproduksi dan/atau direplikasi
sehingga akan melahirkan banyak quick wins yang tidak pernah berhenti sebelum visi dan tujuan
organisasi menjadi kenyataan. Banyaknya quick
wins ini diharapkan akan membentuk efek bola salju (snowball effect) yakni terkonsolidasinya program organisasi dan
sumber daya yang dialokasikan untuk menjalankan program tersebut. Dan akhirnya,
perbaikan seperti ini harus menjadi kebiasaan yang melekat pada manajemen
organisasi sehari-hari (day-to-day
management).
Pada praktek dalam kehidupan
sehari-hari, tanpa harus melakukan penelitian secara khusus kita bisa melihat
organisasi atau perusahaan yang telah melakukan transformasi dengan 8 langkah
tersebut. Garuda misalnya, beberapa peristiwa kecelakaan dan pelarangan terbang
ke wilayah Eropa adalah salah satu titik paling urgen yang mengharuskan perusahaan
melakukan transformasi. Urgensi yang serupa juga dihadapi oleh PT. KAI yang
sering mengalami kecelakaan yang menelan ratusan korban jiwa. PT. KAI bahkan juga
menghadapi situasi kritis yang lain seperti pelemparan, sabotase, pencurian
bantalan rel, dan sebagainya. Demikian halnya, PT. Angkasa Pura Bandara
Soekarno-Hata mempunyai alasan keurgenan sendiri untuk transformasi dengan
membludaknya jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, sering terjadinya
keterlambatan take-off, toilet yang
kotor dan bau seperti di terminal bus, dan sebagainya. Syukurlah, ada kesadaran
penuh dari jajaran direksi perusahaan untuk segera berbenah dan mengubah wajah
perusahaan yang saat itu begitu kusut, kumuh, dan berkinerja amat buruk. Saya
yakin bahwa semangat berbenah ini kemudian dikomunikasikan dengan seluruh pihak
terkait, meski saya tidak tahu apa yang mereka lakukan untuk membangun
kolaborasi lintas stakeholder ini.
Satu hal yang pasti, dalam
persepsi saya mereka mengganti visi baru yang lebih kuat. Hal ini ditandai dari
perubahan logo. Bagi yang kurang memaknai sebuah logo, mungkin hanya dilihat
sebagai perubahan simbol atau gambar semata. Namun saya yakin bahwa perubahan logo
yang seringkali memakan biaya milyaran rupiah ini telah disosialisasikan dan
diinstitusionalisasikan di kalangan internal perusahaan. Dengan proses
internalisasi tadi, maka logo bukan sekedar perubahan lambang, melainkan sebuah
spirit baru, orientasi baru, tekad baru, cara kerja baru, dan target-target
baru.
PT. Angkasa Pura Bandara Soetta
bahkan memasang secara permanen visualisasi Grand
Design Bandara Soetta 2014 di seluruh terminal. Keterhubungan (interconnectedness) antar terminal,
kualitas pelayanan yang jauh lebih baik, nuansa yang lebih modern, serta
standar kenyamanan dan keamanan yang lebih tinggi, seolah menjadi janji yang
tidak dieksplisitkan secara verbal dari gambar-gambar yang terpasang di seluruh
penjuru bandara tersebut. Model komunikasi seperti ini, secara langsung maupun
tidak langsung, memberikan pengaruh positif kepada pengguna jasa layanan PT.
Angkasa Pura Bandara Soetta. Para pelanggan sudah merasa tidak sabar menunggu
realisasi visi perusahaan, dan sudah sangat ingin menikmati rezim pelayanan
bandara kelas dunia, bukan kelas terminal Kampung Rambutan seperti saat ini.
Sayangnya, saya tidak punya
informasi rinci tentang strategi komunikasi dan pemberdayaan staf/pegawai di
ketiga perusahaan tersebut. saya juga tidak tahu pasti apa program quick wins yang mereka unggulkan. Saya
hanya yakin bahkan hal-hal strategis ini telah mereka lakukan secara optimal,
yang antara lain dibuktikan dengan kinerja PT. Garuda yang berhasil meraih
penghargaan sebagai maskapai penerbangan regional terbaik, atau kinerja PT. KAI
yang mampu membalikkan kondisi dari perusahaan yang selalu merugi ratusan
milyar menjadi profit generating company.
Tantangannya sekarang adalah,
mereka tidak boleh berhenti dan tidak boleh puas dengan performance yang mereka raih. Tugas yang tidak kalah penting adalah
mencari dan melakukan program-program unggulan lain secara berkelanjutan,
hingga pada akhirnya inovasi dan transformasi menjadi kebutuhan harian sebuah
organisasi, dan mendarahdaging dalam setiap aktivitas para pegawainya.
Jakarta, 9 Oktober 2013
Penjelasan Materi menggunakan bahasa yang mudah difahamai,
BalasHapusbagus !