Laman

Selasa, 15 Oktober 2013

Inovasi Transportasi Publik




Pada tulisan saya sebelumnya berjudul “Uang Pecahan Baru dan Inovasi Kebijakan”, saya berjanji akan menulis tentang fenomena tidak inovatifnya penanganan lalu lintas. Ide saya ini dapat dikatakan teramat sangat sederhana. Mulanya, sebagai pendengar radio El-Shinta FM, saya tidak merasa aneh ketika banyak laporan pendengar El-Shinta tentang peristiwa di jalanan dari kecelakaan, kemacetan, keberadaan petugas, perbaikan jalan, hingga kasus kehilangan dan cuaca. Namun lama kelamaan terbersit pertanyaan dalam hati saya, mengapa El-Shinta mengetahui peristiwa di jalanan di seluruh penjuru tanah air secara real time, sementara aparat Polri hanya mendapat feeding dari El-Shinta? Bukankah tanggungjawab pengaturan lalu lintas hingga penanganan ketika muncul kejadian luar biasa (kecelakaan dan sebagainya) ada pada mereka? Tidak terhindarkan, sayapun membandingkan sumber daya El-Shinta dengan Polri. Berapa gelintir penyiar dan petugas teknis radio El-Shinta? Berapa pula anggaran yang mereka miliki dalam satu tahun? Hebatnya, mereka mampu menggerakkan aparat Jasa Marga, Kepolisian, hingga pejabat sipil dari level Menteri sampai Lurah, untuk bergerak melakukan tindakan nyata maupun untuk mengeluarkan statement terhadap suatu peristiwa. Sebaliknya, berapa ratus ribu aparat Polri yang ada, dan berapa trilyun yang dihabiskan dalam satu tahun? Namun, mengapa mereka tidak mampu berpikir, bertindak, dan memperoleh informasi secepat El-Shinta? Mengapa mereka nampak cukup puas menerima laporan dari El-Shinta?

Tanpa bermaksud merendahkan peran aparat Polri, saya menangkap kesan bahwa yang terjadi di Polri adalah paradigma doing less with more, sedangkan yang terjadi di El-Shinta adalah sebaliknya, doing more with less. Nah, ketika sebuah lembaga mampu berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit, itulah esensi dari inovasi. Dengan kata lain, inovasi di tubuh kepolisian, khususnya inovasi dalam manajemen jalan raya (highway management), masih harus terus dikembangkan. Ini bukan berarti tidak ada inovasi sama sekali dalam sistem transportasi publik yang dibangun oleh Polri. Adanya TMC (traffic management center), pemasangan CCTV di berbagai sudut dan simpang jalan, pemanfaatan social media seperti Facebook dan Twitter sebagai media komunikasi dan informasi publik, adalah bentuk-bentuk kebaruan dan terobosan yang patut diapresiasi.

Namun, ini saja belum cukup. Best practice seperti yang dilakukan El-Shinta, tidak ada salahnya diadopsi, direplikasi, dan dimodifikasi oleh Polri, misalnya dengan membangun Stasiun Radio yang khusus melayani pengguna jalan, menginformasikan segala sesuatu terkait layanan jalan raya told an non-tol, menampung berbagai informasi lagsung dari masyarakat yang sedang bepergian, dan menjalin koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Dengan demikian, Polri tidak perlu lagi tergantung kepada El-Shinta, sehingga dapat lebih cepat memberikan pelayanan kepada publik.

Ketika Polri sudah memainkan peran barunya ini, bukan berarti El-Shinta kehilangan lahan dan perannya. El-Shinta tetap dapat menjadi mitra strategis Polri, terutama mengisi hal-hal yang belum dilakukan Polri. Keduanya juga tetap dapat saling melengkapi terkait pemberitaan dan informasi lalu lintas. Paling tidak, masyarakat tidak hanya memiliki pilihan tunggal dalam menyalurkan informasinya, namun tersedia pilihan yang lebih luas. Masyarakat juga bisa meminta langsung informasi tertentu dari Polri tanpa melalui perantaraan El-Shinta.

Mengapa Polri harus melakukan hal yang telah dengan baik dilakukan El-Shinta? Apakah itu justru tidak menimbulkan inefisiensi baru? Atau, bukankah hal itu melemahkan partisipasi masyarakat dalam urusan publik? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memiliki satu jawaban besar yaitu bahwa layanan publik (public goods) hendaknya dilakukan oleh institusi publik (pemerintah), sedangkan layanan privat (private goods) diberikan oleh swasta. Secara ideal, meski telah banyak pergeseran public goods ke private goods dan sebaliknya, namun tidak dibenarkan institusi publik mengurusi fungsi privat, sementara swasta menangani urusan publik. Nah, pertanyaannya, apakah layanan lalu lintas dan jalan raya itu merupakan public goods atau private goods? Menurut hemat saya, ini adalah domain institusi publik, sehingga aparat pemerintah tidak dibenarkan diam saja melihat urusan publik dilakukan oleh lembaga swasta. Jika ini berlangsung terus, suatu saat akan muncul tudingan bahwa pemerintah tidak berbuat sesuatu (procrastination), melakukan pembiaran, dan sejenisnya. Maka, atas nama partisipasi sekalipun, tidak dibenarkan fungsi publik dilakukan oleh swasta, dan sebaliknya.

Yang pasti, Polri masih harus menggali banyak inovasi untuk mengatasi problem jalanan yang semakin rumit dan kompleks. Polri tidak perlu malu belajar dan mem-benchmark inovasi dari siapapun, termasuk dari El-Shinta.

Jakarta, 15 Oktober 2013

1 komentar:

  1. Sama-sama mas Ivan. Tks juga sudah mampir di blog saya dan meninggalkan respon positif ... (y)

    BalasHapus