Pada tulisan saya sebelumnya
berjudul “Uang Pecahan Baru dan Inovasi Kebijakan”, saya berjanji akan menulis tentang fenomena
tidak inovatifnya penanganan lalu lintas. Ide saya ini dapat dikatakan teramat
sangat sederhana. Mulanya, sebagai pendengar radio El-Shinta FM, saya tidak
merasa aneh ketika banyak laporan pendengar El-Shinta tentang peristiwa di
jalanan dari kecelakaan, kemacetan, keberadaan petugas, perbaikan jalan, hingga
kasus kehilangan dan cuaca. Namun lama kelamaan terbersit pertanyaan dalam hati
saya, mengapa El-Shinta mengetahui peristiwa di jalanan di seluruh penjuru
tanah air secara real time, sementara
aparat Polri hanya mendapat feeding
dari El-Shinta? Bukankah tanggungjawab pengaturan lalu lintas hingga penanganan
ketika muncul kejadian luar biasa (kecelakaan dan sebagainya) ada pada mereka?
Tidak terhindarkan, sayapun membandingkan sumber daya El-Shinta dengan Polri.
Berapa gelintir penyiar dan petugas teknis radio El-Shinta? Berapa pula
anggaran yang mereka miliki dalam satu tahun? Hebatnya, mereka mampu
menggerakkan aparat Jasa Marga, Kepolisian, hingga pejabat sipil dari level
Menteri sampai Lurah, untuk bergerak melakukan
tindakan nyata maupun untuk mengeluarkan statement
terhadap suatu peristiwa. Sebaliknya, berapa ratus ribu aparat Polri yang ada,
dan berapa trilyun yang dihabiskan dalam satu tahun? Namun, mengapa mereka
tidak mampu berpikir, bertindak, dan memperoleh informasi secepat El-Shinta?
Mengapa mereka nampak cukup puas menerima laporan dari El-Shinta?
Tanpa bermaksud merendahkan peran
aparat Polri, saya menangkap kesan bahwa yang terjadi di Polri adalah paradigma
doing less with more, sedangkan yang
terjadi di El-Shinta adalah sebaliknya, doing
more with less. Nah, ketika sebuah lembaga mampu berbuat lebih banyak
dengan sumber daya yang lebih sedikit, itulah esensi dari inovasi. Dengan kata
lain, inovasi di tubuh kepolisian, khususnya inovasi dalam manajemen jalan raya
(highway management), masih harus
terus dikembangkan. Ini bukan berarti tidak ada inovasi sama sekali dalam
sistem transportasi publik yang dibangun oleh Polri. Adanya TMC (traffic management center), pemasangan
CCTV di berbagai sudut dan simpang jalan, pemanfaatan social media seperti Facebook
dan Twitter sebagai media komunikasi
dan informasi publik, adalah bentuk-bentuk kebaruan dan terobosan yang patut
diapresiasi.
Namun, ini saja belum cukup. Best practice seperti yang dilakukan
El-Shinta, tidak ada salahnya diadopsi, direplikasi, dan dimodifikasi oleh
Polri, misalnya dengan membangun Stasiun Radio yang khusus melayani pengguna
jalan, menginformasikan segala sesuatu terkait layanan jalan raya told an
non-tol, menampung berbagai informasi lagsung dari masyarakat yang sedang
bepergian, dan menjalin koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Dengan
demikian, Polri tidak perlu lagi tergantung kepada El-Shinta, sehingga dapat
lebih cepat memberikan pelayanan kepada publik.
Ketika Polri sudah memainkan
peran barunya ini, bukan berarti El-Shinta kehilangan lahan dan perannya. El-Shinta
tetap dapat menjadi mitra strategis Polri, terutama mengisi hal-hal yang belum
dilakukan Polri. Keduanya juga tetap dapat saling melengkapi terkait
pemberitaan dan informasi lalu lintas. Paling tidak, masyarakat tidak hanya
memiliki pilihan tunggal dalam menyalurkan informasinya, namun tersedia pilihan
yang lebih luas. Masyarakat juga bisa meminta langsung informasi tertentu dari
Polri tanpa melalui perantaraan El-Shinta.
Mengapa Polri harus melakukan hal
yang telah dengan baik dilakukan El-Shinta? Apakah itu justru tidak menimbulkan
inefisiensi baru? Atau, bukankah hal itu melemahkan partisipasi masyarakat
dalam urusan publik? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memiliki
satu jawaban besar yaitu bahwa layanan publik (public goods) hendaknya dilakukan oleh institusi publik
(pemerintah), sedangkan layanan privat (private
goods) diberikan oleh swasta. Secara ideal, meski telah banyak pergeseran public goods ke private goods dan sebaliknya, namun tidak dibenarkan institusi
publik mengurusi fungsi privat, sementara swasta menangani urusan publik. Nah,
pertanyaannya, apakah layanan lalu lintas dan jalan raya itu merupakan public goods atau private goods? Menurut hemat saya, ini adalah domain institusi publik, sehingga aparat pemerintah tidak dibenarkan
diam saja melihat urusan publik dilakukan oleh lembaga swasta. Jika ini
berlangsung terus, suatu saat akan muncul tudingan bahwa pemerintah tidak
berbuat sesuatu (procrastination),
melakukan pembiaran, dan sejenisnya. Maka, atas nama partisipasi sekalipun,
tidak dibenarkan fungsi publik dilakukan oleh swasta, dan sebaliknya.
Yang pasti, Polri masih harus
menggali banyak inovasi untuk mengatasi problem jalanan yang semakin rumit dan
kompleks. Polri tidak perlu malu belajar dan mem-benchmark inovasi dari siapapun, termasuk dari El-Shinta.
Jakarta, 15 Oktober 2013
Sama-sama mas Ivan. Tks juga sudah mampir di blog saya dan meninggalkan respon positif ... (y)
BalasHapus