Laman

Selasa, 25 Februari 2014

Berhati-hati Dengan Inovasi: Antisipasi Ekses PPPK



PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang diperkenalkan oleh UU ASN, adalah sebuah kemajuan cara berpikir dalam mengatasi sebuah persoalan keterbatasan SDM aparatur. Ditengah makin maraknya tuntutan kinerja organisasi dan pelayanan publik yang lebih berkualitas, PPPK adalah sebuah ide inovatif yang diyakini mampu memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal ini, UU ASN mendefinisikan PPPK sebagai WNI yang  memenuhi  syarat  tertentu,  yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu  tertentu  dalam  rangka  melaksanakan  tugas pemerintahan.

Mengapa disebut sebagai inovasi? Sebab, PPPK dapat memenuhi kebutuhan tenaga terampil dan ahli tanpa harus mengusulkan formasi baru dan berinvestasi atas diri seorang pegawai dalam kurun waktu yang relatif panjang. PPPK juga lebih mudah dievaluasi, sehingga jika seorang PPPK tidak menunjukkan kinerja yang sesuai kontrak, maka dengan mudah tidak perlu diperpanjang ketika kontraknya habis, kemudian mencari PPPK lain yang lebih kapabel. Selain itu, PPPK bisa menaikkan iklim kompetisi dengan PNS yang berstatus pegawai permanen. Dengan demikian, PPPK diharapkan mampu mendongkrak kinerja birokrasi secara menyeluruh. Jika dimasa lalu kita mengenal status kepegawaian bernama “honorer” yang laksana keranjang sampah, maka PPPK ini laksana sarang lebah yang isinya kader-kader penuh bakat (talent pool, expert pool)/

Meskipun demikian, jika PPPK ini tidak diatur secara jelas, justru akan menimbulkan banyak interpretasi, yang pada gilirannya akan menyebakan kebingungan pada tahap implementasinya. Ketika setiap orang seolah dapat menafsirkan mekanisme PPPK ini, maka muncullah upaya-upaya untuk menunggangi PPPK untuk kepentingan pribadi. Beberapa ekses yang mungkin muncul dari kebijakan ini anatara lain sebagai berikut. Pertama, karena orienasi quick yielding untuk merekrut SDM yang sudah “jadi”, maka akan terjadi peningkatan jumlah PPPK dan penurunan ratio PNS tetap terhadap total pegawai. Maka, perlu diatur batas maksimal yang diperkenankan bagi sebuah instansi pemerintah untuk merekrut PPPK. Ibarat sebuah klub sepakbola, harus ada pembatasan jumlah pemain asing yang akan direkrut. Tanpa pembatasan ini, maka akan terjadi situasi seperti di Premier League Inggris, dimana jumlah pemain asing lebih banyak mendiami klub dibanding pemain asli Inggris. Jika ini terjadi di sektor publik, boleh jadi yang muncul adalah “pemerintahan partikelir”, atau pemerintahan yang dikelola oleh kelompok non-pemerintah, dan tentu ini bukan tujuan dari digagasnya konsep PPPK.

Kedua, tanpa kejelasan siapa yang eligible sebagai PPPK dan tanpa ada prosedur baku untuk rekrutmennya, PPPK bisa menjadi safety net bagi pejabat yang pensiun. Artinya, PPPK akan menjadi “pelarian” bagi pejabat yang memasuki usia pensiun, atau mereka yang non-job. Dengan kata lain, PPPK akan dijadikan sebagai second career bagi para pensiunan yang sudah masuk usia jompo. Akibatnya, akan terciptalah pemerintahan oleh para orang tua, atau lebih dikenal dengan istilah gerontokrasi. Situasi seperti ini mirip dengan tradisi di Jepang yang dikenal dengan istilah Amakudari yang kurang lebih berarti “turun dari langit”. Dalam hal ini, seorang pejabat tinggi yang pensiun, biasanya akan mendapat posisi baru sebagai pimpinan perusahaan. Perusahaan ini memanfaatkan para pensiunan kelas elit tadi dengan maksud untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan sektor pemerintahan. Di Indonesia-pun praktik ini cukup marak, dimana seorang mantan Menteri, Panglima, atau pejabat tinggi negara lain sering menempati pos selaku komisaris utama di perusahaan milik negara. Lebih parah lagi, pejabat setingkat Eselon I atau lebih yang masih aktif ternyata juga banyak yang merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan, seolah-olah tidak ada lagi yang kompeten untuk mengemban tugas itu.

Amakudari baik yang terjadi di Indonesia maupun di Jepang mungkin masih bisa ditorerir. Selain jumlahnya yang relatif sedikit, juga karena mereka masuk “dunia lain” yakni sektor privat. Namun jika Amakudari tadi terjadi dalam tubuh birokrasi, maka ibaratnya adalah “jeruk makan jeruk”. Sungguh aneh seorang yang sudah mengakhiri statusnya selaku pegawai, kembali menjadi pegawai dengan status baru (PPPK). Agar hal ini dapat dicegah sedini mungkin, maka perlu diidentifikasikan jenis-jenis jabatan yang terbuka untuk PPPK dan kriteria pelamarnya, serta ditetapkan standar kompetensi dan sistem seleksinya.

Situasi ketiga yang mungkin muncul adalah fenomena kelambanan dalam kaderisasi dan pembangunan kompetensi pegawai. Situasi ini bisa terjadi jika pengadaan PPPK tidak didukung oleh formasi dan tidak ada sistem kendalinya. Oleh karena itu, sebaiknya pengadaan PPPK hanya untuk mengisi defisiensi kompetensi dalam suatu instansi, sambil menunggu pemenuhan formasi pegawai secara reguler. Jika selama ini sebuah instansi menyusun analisis kebutuhan pegawai atau analisis beban kerja untuk menentukan kebutuhan pegawai yang ideal, maka dengan berlakunya UU ASN instansi tadi seyogyanya juga melakukan analisis gap kinerja dan gap kompetensi untuk menentukan kebutuhan PPPK yang ideal. Prinsip dasarnya adalah bahwa sebuah instansi harus mampu self-sufficiency atau memenuhi sendiri kebutuhan kompetensinya, sehingga tidak boleh terjadi ketergantungan terhadap SDM dari luar instansinya. Dengan kata lain, semakin banyak PPPK dalam sebuah organisasi, hanya membuktikan kegagalan organisasi tersebut dalam membangun kapasitas institusionalnya.

Dari penerawangan terhadap kondisi the unexpected future tersebut kita dapat belajar bahwa sebuah inovasi harus terus dikawal agar tidak salah arah dan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Kita harus selalu berhati-hati dengan sebuah inisiatif bernama inovasi. Inovasi tidak selesai saat ditetapkan sebagai pilihan kebijakan, namun tetap membutuhkan upaya-upaya monitoring, analisis, evaluasi, dan juga beberapa penyesuaian sesuai kebutuhan. Inilah seni mengelola inovasi.

Sepanjang tol Kebon Jeruk yang macet.
Jakarta, 25 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar