Laman

Minggu, 23 Februari 2014

Praktik Plagiat: Antara Etika Birokrasi dan Etika Akademik



Kasus dugaan plagiat yang menimpa AA, seorang Guru Besar universitas terkemuka yang sekaligus seorang Direktur Jenderal di sebuah Kementerian, menarik untuk dicermati dari aspek etika. Meski sesungguhnya bersifat universal, namun penerapan etika bisa kontekstual tergantung milieu dimana nilai-nilai etis berkembang. Di dunia akademik, plagiasi bukan hanya sebuah pelanggaran etika, namun juga bisa dikatakan sebuah kejahatan intelektual. Itulah sebabnya, ancaman terhadap tindak penjiplakan ini sangat berat, bukan hanya berupa sanksi akademik seperti pencabutan gelar atau pemberhentian dari jabatan akademik, namun bisa juga berupa hukuman penjara dan denda. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta yang menegaskan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1 juta, atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 miliar. Pasal 2 ayat (1) sendiri menjelaskan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Adapun jenis-jenis Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang antara lain mencakup buku, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.

Sementara itu, di dunia birokrasi persoalan plagiasi sepertinya tidak mendapat perhatian yang cukup. Mungkin hal ini dipandang bukan bagian dari urusan birokrasi. Urusan kepegawaian dan akademik seolah adalah sebuah dikotomi. Itulah sebabnya, dalam hal seorang PNS adalah juga seorang dosen, jika ia melakukan perbuatan plagiarism, hampir dapat dipastikan bahwa penyelesaiannya dilakukan melalui jalur akademiknya, bukan jalur birokrasi. Fenomena banyaknya studi banding untuk meniru atau meng-cloning sebuah kebijakan, sedikit banyak menjelaskan budaya kurang kreatifnya sistem penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini.

Kasus AA diatas mengkonfirmasi gejala dikotomi dalam alam birokrasi dan dunia akademisi. Seketika setelah dugaan plagiasi merebak, beliau langsung mengundurkan diri sebagai dosen di PTN tertua di Indonesia itu, namun tidak mundur dari jabatannya selaku Direktur Jenderal. Dan faktanya, memang tidak ada tuntutan sama sekali untuk mundur dari jabatannya ini. Kasus telah ditutup dan dianggap selesai dengan pengunduran dirinya selaku staf pengajar. Ini berbeda sekali dengan kasus yang menimpa Presiden Hongaria Pal Schmitt. Pada tanggal 2 April 2012 yang lalu, ia meletakkan jabatan sebagai Presiden setelah gelar doktornya pada 1992 dicabut oleh Semmelweis University di Budapest sesudah adanya pernyataan ia menjiplak sebagian dari disertasi setebal 200 halaman. Semula, Schmitt tetap bertahan dan bersikeras ia "tak melihat hubungan" antara masalah plagiat dan pekerjaannya. Kasus serupa terjadi di Jerman tahun 2011, dimana Menteri Pertahanan Jerman saat itu Karl-Theodor zu Guttenberg juga meletakkan jabatan sehubungan dengan tuduhan melakukan plagiat dalam disertasi doktornya (Kompas Online, 3/4/2012).

Tanpa bermaksud memperlebar kasus, ada hal menarik untuk dicermati di negeri ini. Etika yang sesungguhnya bersifat universal, ternyata tidak dapat diterapkan secara sama pada situasi dan lingkungan yang berbeda. Ini sama persis dengan demokrasi atau hak asasi manusia yang juga merupakan nilai-nilai universal, namun kenyataannya selalu diadopsi dengan penyesuaian berdasarkan kondisi dan tata nilai lokal. Maka, standar etika publik di Eropa dan Amerika, tidak serta merta dapat diterapkan apa adanya di Indonesia. Demikian pula, demokrasi Barat sangat berbeda dengan demokrasi Pancasila. Konsep human rights yang ada di negara maju-pun bisa sangat berbeda dengan model pernghargaan dan perlindungan HAM di banyak negara berkembang termasuk Indonesia.

Pertanyaan usil yang dapat diajukan adalah, mengapa banyak kecenderungan orang-orang penting (sebagian juga pejabat tinggi di pemerintahan) melakukan plagiasi? Saya menduga, orang-orang seperti itu memiliki “tim penulis”. Artinya, tidak semua tulisan mereka benar-benar lahir dari pemikiran mereka, atau ditulis sendiri dengan jari-jemari mereka. Jangankan para pejabat yang memiliki kesibukan yang begitu tinggi, dosen berpangkat Lektorpun banyak yang memiliki perilaku opportunistic dengan “mengerjai” mahasiswanya untuk menulis paper atas nama mereka atau nama berdua. Seorang kolega saya adalah buktinya. Pada tahun 2012, ia bersama mahasiswanya menulis makalah tentang desentralisasi asimetris, dan ternyata 3 halaman dari makalah itu adalah jiplakan 100% dari tulisan saya pada tahun 2010. Mental mendapat keuntungan instan dengan memanfaatkan tenaga pihak lain inilah yang menurut saya menjadi sumber utama maraknya kasus plagiasi di berbagai lembaga pendidikan dan di berbagai wilayah. Dan mental seperti ini jelas bukan mental yang menjunjung tinggi etika birokrasi maupun etika akademis. Disinilah kita merasa sangat sedih. Jika para pejabat dan para ilmuwan saja mengabaikan nilai-nilai etika dan moral dalam pekerjaan mereka, bagaimana kita berharap dapat membangun bangsa yang maju, beradab, dan berlandaskan spirit Ketuhanan?

Dalam konteks perbaikan kedepan, perlu dibangun standarisasi prinsip-prinsip atau asas etika yang universal. Budaya “jalan pintas” juga harus dikikis habis dengan mengembangkan kepercayaan diri, menjaga kehormatan diri, dan meningkatkan terus profesionalisme. Tidak ada hasil bagus yang diperoleh dengan cara instan, apalagi melalui eksploitasi tenaga dan pikiran orang lain. Ini adalah jaman merdeka dalam arti yang hakiki, sehingga tidak dibenarkan terjadi “perbudakan model baru” dari seorang dosen terhadap mahasiswanya, atau dari pejabat terhadap anak buahnya. Ini semua adalah problem budaya kolektif kebangsaan yang membutuhkan waktu panjang untuk mengatasinya. Namun jika tidak dari sekarang, kapan lagi. Dan jika bukan dari kita, dari siapa lagi? Komitmen kita untuk memegang teguh nilai-nilai etika, prinsip-prinsip moral, dan sistem hukum dalam seluruh sendi kehidupan, akan menentukan kualitas bangsa kita di masa depan!

Minggu malam di Serpong, 23 Februari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar