Laman

Jumat, 28 Februari 2014

Kreativitas: Bawaan Lahir atau Produk Kreatif?



Bakat, mungkin benar adalah anugerah dan kemurahan Tuhan YME yang telah diberikan kepada seorang hamba semenjak lahir. Dengan sifat Maha Agung dan Maha Adil-Nya, Tuhan memberi bakat kepada semua manusia, meski dengan bakat yang berbeda-beda, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia secara berbeda-beda pula. Boleh jadi, semua ini adalah wujud keadilan Tuhan Yang Maha Kreatif, agar manusiapun menggunakan bakatnya secara kreatif untuk menunaikan tugas-tugasnya. Persoalan apakah bakat itu berkembang atau tidak, itu bukan lagi urusan Tuhan. Manusialah yang harus mengenali, menggali, dan mengembangkan bakatnya.

Maka, saya sepakat jika bakat dikatakan sebagai bawaan lahir. Namun sangat berbeda kasusnya dengan kreativitas. Jika bakat bersifat taken for granted from the heaven untuk ditumbuh kembangkan lebih lanjut, maka kreativitas adalah murni upaya sadar dan logis untuk membangun bakat tadi menjadi kebiasaan. Dalam bahasa Robert Sternberg (dalam Jane Porter, How to Cultivate a Creative Thinking Habit, Feb. 2014, www.fastcompany.com), “Creative people are creative … not as a result of any particular inborn trait, but, rather, through an attitude toward life”.

Dengan demikian, kadar kreativitas seseorang adalah agregat dari tekat, kesungguhan, dan usaha tiada henti (tentu juga doa) dari seseorang untuk selalu menjadi lebih baik. Kreativitas tidak pernah muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari proses yang relatif panjang dan sungguh-sungguh. Ketika Isaac Newton menemukan Teori Gravitasi dari peristiwa jatuhnya apel saat ia duduk di bawah pohon apel, itu bukanlah kreativitas yang datang tiba-tiba, namun lebih karena ia sudah melakukan banyak riset yang mendukung teorinya. Sama halnya ketika Archimedes berendam di bak mandi dan tiba-tiba berteriak “eureka” karena telah menemukan hukum Archimedes, itupun bukan hal yang kebetulan. Dalam kesendirian di bawah pohon apel maupun di bak mandi, ada proses berpikir kreatif dalam otak kedua manusia istimewa tadi. Dan ketika terjadi fenomena lumrah seperti jatuhnya apel atau melubernya air saat ada benda masuk kedalam bak mandi, mereka dapat membaca gejala alam tadi secara berbeda. Kejadian yang teramat biasa itu oleh orang-orang kreatif dapat menjadi contoh yang menjelaskan teori besar.

Jadi, kreativitas sangat berbeda dengan ilham. Apa yang dialami Newton dan Archimedes boleh saja kita sebut sebagai ilham. Namun bisa saja kita menyebut itu bukan ilham, karena semua orang juga pernah mengalami peristiwa yang sama sebagaimana dialami Newton dan Archimedes, dan tidak menyebutnya sebagai ilham. Yang membedakan kedua orang ini dengan orang kebanyakan adalah bahwa mereka jauh lebih kreatif, sehingga mampu mengubah “ilham” menjadi sebuah penemuan yang monumental. Dengan kata lain, kreativitaslah yang menjadi syarat munculnya banyak penemuan (invensi) dan inovasi-inovasi besar di dunia.

Lantas, bagaimana membangkitkan dan menumbuhkan kreativitas itu? Bagaimana menjadikan kreativitas sebagai habit atau kebiasaan dalam keseharian kita? Menarik mencermati pendapat Tim Wesfix (Kreativitas Itu Dipraktekin, Grasindo, 2013) bahwa kreativitas itu seperti software, sedangkan otak ibarat hardware-nya. Untuk itu kreativitas harus di-install melalui pembiasaan. Dalam hal ini, ada 8 (delapan) langkah untuk menjadikan kreativitas sebagai kebiasaan, yakni:

1.      Questioning atau selalu bertanya tentang apa yang diperlukan untuk sebuah perubahan dan kebaikan. Mari kita lihat di sekeliling kita, anak-anak sekolah yang rajin bertanya sejak SD, biasanya tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pintar, namun juga kreatif, dalam arti memiliki ide-ide segar dan wawasan yang jauh melampaui teman seangkatannya.
2.      Exploring, yakni mencari informasi tambahan dari yang sudah kita miliki, atau menggali lebih dalam sebuah pemahaman agar lebih paham lagi. Rasa tidak puas dan rasa ingin tahu (curiosity) akan menjadi modal dasar untuk melakukan eksplorasi ini.
3.      Crafting, yakni membuat kesimpulan awal tentang ingin ditangani secara simple, atau menarik hipotesis, atau membentuk konstruksi awal tentang situasi problematik tertentu. Kemampuan ini dibangun dengan menghubung-hubungkan sebuah fenomena dengan fenomena lainnya, sebuah variabel dengan variabel lainnya, serta membangun sebab akibat antar fenomena/ variabel tersebut.
4.      Playing, artinya bermain-main dengan ide kreatif terkait sebuah masalah / kejadian yang dihadapi. Keberanian berpikir bebas akan menjadi faktor yang membantu memudahkan dalam mengembangkan banyak opsi untuk dipilih.
5.      Cutting, yakni keberanian untuk menentukan ide atau opsi mana yang akan dipilih untuk dikaji lebih lanjut. Adanya intuisi bahwa sebuah pilihan adalah yang terbaik, serta fantasi dan imajinasi tentang hasil akhir dari sebuah pilihan, akan membantu kita mendapatkan pilihan terbaik.
6.      Planning, artinya merancang langkah-langkah konkrit yang diperlukan untuk menindaklanjuti pilihan.
7.      Sharing, yakni berbagi dengan setiap orang tentang apa yang sudah kita rancang. Hal ini penting untuk mendapatkan feedback sekaligus menguji kualitas pilihan kita serta kemampuan kita dalam mempertahankan pilihan tersebut.
8.      Doing, yakni melakukan apa yang sudah kita pilih dan kiya yakini sebagai hal terbaik.

Oleh karena kreativitas adalah sebuah kebiasaan, maka untuk menilai kreativitas seseorang sesungguhnya teramat mudah, yakni nilailah bagaimana kebiasaan yang dilakukan setiap harinya. Jika ia melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain, maka dia tidak memiliki kreativitas. Terkait hal ini, menarik untuk menyimak kasus Mavis Gallant, seorang penulis Kanada yang meninggal pada tanggal 18 Februari 2014 yang lalu di Perancis dalam usia 92 tahun. Dalam sebuah wawancara dengan The Paris Review (1999), ia mengatakan: “Most days in the morning but some days anytime, afternoon or evening. It depends on what I’m writing and the state of the thing. It is not a burden. It is the way I live” (Jane Porter). Kebiasaan menulis setiap hari yang dilakukan Mavis Gallant, yang tidak dilakukan oleh orang lain bahkan yang lebih muda, memberi ilustrasi tentang kebiasaan kreatif yang dilakukan Gallant. Bagi dia, menulis bahkan adalah jalan hidup. Dia berani mendobrak rutinitas kaum jompo pada umumnya, dan mampu menghasilkan sesuatu yang berbeda dan jauh lebih bermakna.

Tentu saja, kreativitas ala Gallant ini bukanlah bawaan lahir, namun merupakan sebuah pembiasaan yang telah dijalaninya selama berpuluh-puluh tahun. Dengan kata lain, kreativitas adalah sebuah proses kreatif. Dan ketika proses kreatif ini sudah terbentuk pada diri seseorang, maka tinggal menunggu lahirnya banyak inovasi dari orang tersebut.

@Kantor, Jl. Veteran 10 Jakarta.
26 Februari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar