Laman

Jumat, 28 Februari 2014

Memaknai Inovasi Secara Inklusif



Selama ini, inovasi lebih banyak dipahami sebagai sebuah perubahan atau kemajuan yang berbasis teknologi. Dari teknologi ruang angkasa hingga dasar laut, dari remote sensing (penginderaan jarak jauh) hingga ultrasonografi, dari nano-teknologi hingga mikro-biologi, dari teknik otomotif hingga teknik informatika, dari teknologi farmasi hingga pembenihan pertanian, dan sejenisnya, itulah yang sering dipandang sebagai wilayah inovasi. sementara disisi lain, perbaikan dalam sistem sosial budaya, kebijakan ekonomi dan pembangunan, atau reformasi aspek organisasi dan manajemen, sering dipandang sebagai “perubahan” saja dan bukannya inovasi. Inovasi menjadi sangat eksklusif karena hanya bisa terjadi di laboratorium penelitian yang dilakukan oleh para insinyur, teknisi, atau ilmuwan eksakta.

Fenomena tersebut menyiratkan bahwa pemahaman masyarakat – bahkan kalangan akademisi – tentang inovasi masih kurang tepat. Di satu sisi, pandangan seperti ini tidak memberikan insentif dan dorongan untuk lahirnya inovasi bidang sosial. Namun disisi lain, boleh jadi pandangan ini justru bersumber dari lambatnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam melakukan inovasi. Situasinya menjadi seperti pertanyaan ayam dan telor, mana yang ada terlebih dahulu? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah terjawab secara tuntas.

Sekedar ilustrasi, kalau kita memasukkan frasa “inovasi sosial” di search engine-nya Google, akan muncul 18.500 hasil yang kita temukan. Sementara kalau kita gunakan frasa “social innovation”, akan ditemukan jumlah input yang jauh lebih banyak, yakni 1,4 juta. Ini saja sudah memberi gambaran bahwa inovasi sosial di Indonesia memang masih teramat minim, jika dibanding inovasi sosial di negara lain yang lebih maju. Bandingkan dengan keyword “inovasi teknologi”. Kita akan menemukan 1,65 juta hasil di Google. Sekali lagi, ini mengindikasikan ketidakseimbangan antara inovasi di bidang sosial dengan inovasi di ilmu-ilmu pasti. Bahkan dalam publikasi Komite Inovasi Nasional (KIN) berjudul “Prospek Inovasi Indonesia” (2012) tidak ada satupun istilah “inovasi sosial”. Sebaliknya pada halaman 24 disebutkan bahwa inovasi teknologi adalah engine pertumbuhan baru. Juga dinyatakan bahwa inovasi teknologi termasuk di dalam Faktor Produktivitas Total. Saya tidak tahu persis dimana posisi inovasi sosial dalam pemikiran KIN, dan apakah inovasi sosial include di dalam inovasi teknologi. Saya juga tidak paham apakah inovasi sosial dianggap sebagai sesuatu yang tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi produktivitas total bangsa ini.

Nah, jika inovasi sosial masih demikian terabaikan, inovasi administrasi negara-pun mengalami situasi yang kurang lebih sama. Jika kita masukkan kata kunci “inovasi administrasi negara” di Google, akan ditemukan hasil sebanyak 14.300, sedikit dibawah inovasi sosial. Entah harus bilang hebat ataukah sebaliknya, kalau harus saya katakan bahwa input yang muncul di Google tentang inovasi administrasi negara ini baru muncul sejak tahun 2013. Mungkin “hebat”, karena dalam waktu 1 (satu) tahun sudah mampu mengumpulkan 14.300 hasil di Google. Sebaliknya, ada perasaan “sedih” karena sudah hampir 70 tahun Indonesia merdeka namun ternyata belum memiliki konsep tentang inovasi administrasi negara (IAN). Kemunculan konsep IAN sendiri baru mulai berkembang setelah lahirnya Perpres No. 57/2013 tentang LAN, yang salah satunya membentuk unit kerja khusus yakni Deputi Inovasi Administrasi Negara. Termasuk dalam inovasi administrasi negara itu adalah inovasi tata pemerintahan (governance innovation), inovasi kelembagaan dan sumber daya aparatur (institutional and human resource innovation), serta inovasi pelayanan publik (public service innovation). Ketiga aspek dari inovasi administrasi negara ini, tentu saja adalah hal yang sangat baru, sehingga masih memerlukan waktu untuk mematangkan konsep dasarnya, membangun framework­-nya, hingga menetapkan target-target dari berbagai program yang dilakukan.

Mengingat masih timpangnya bidang-bidang inovasi sebagaimana uraian diatas, alangkah baiknya jika “sistem inovasi nasional” tidak diterjemahkan sebagai inovasi teknologi belaka, namun juga mengintegrasikan inovasi sosial budaya, inovasi administrasi negara, inovasi ekonomi politik, dan sebagainya. Kewajiban (dan hak) melakukan inovasi bukan lagi menjadi dominasi Kementerian Ristek dan LPNK yang ada dibawah koordinasinya, namun harus pula dilakukan secara seimbang oleh Kementerian/Lembaga yang lain, bahkan juga pemerintah daerah, BUMN/D, lembaga negara, hingga organisasi kemasyarakatan. Inovasi yang datang dan tumbuh dari berbagai penjuru dan dalam berbagai bidang ini nantinya diharapkan menjadi mesin pertumbuhan yang sesungguhnya bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Bukankah peringkat Indonesia dalam Global Innovation Index (GII) juga tidak hanya dikontribusikan oleh kecanggihan teknologi? Justru dalam kerangka kerja GII dijelaskan bahwa perhitungan Innovation Efficiency Ratio dilakukan dengan mempertimbangkan komponen Institusional yang terdiri dari political, regulatory, and business environment. Selain itu, ada komponen human capital and research yang terdiri dari education, tertiary education, and research and development. Masih banyak lagi komponen dan parameter yang mengukur inovasi bukan hanya sebagai fungsi kemajuan teknologi semata.

Pemahaman secara inklusif tentang inovasi ini semakin penting karena tahun 2014 telah dicanangkan sebagai Tahun Inovasi Sosial oleh Institut Inovasi Sosial Indonesia (www.inovasisosial.com). Siapa tahu, LAN pun akan mencanangkan tahun 2016 sebagai Tahun Inovasi Administrasi Negara. Inisiatif untuk memperkuat dan mempromosikan inovasi di bidang sosial dan administrasi negara ini tentu juga harus disambut positif oleh pihak-pihak lain yang lebih dahulu berkutat dan berjuang dalam inovasi (teknologi). Inovasi adalah inovasi, sementara aspek teknologi, sosial, atau administrasi negara hanyalah ruang-ruang dimana inovasi bisa tumbuh subur dan dikembangkan secara sistemik.

Jakarta, 26 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar