Laman

Jumat, 21 Februari 2014

Mengagas Lagi Perlunya Pendidikan Jarak Jauh



Undang-Undang Pendidikan Tinggi melarang dengan tegas praktek kuliah dengan model kelas jauh. Saya mendukung hal ini, karena faktanya kelas jauh sering kali tidak mencerminkan sama sekali sebuah proses belajar-mengajar. Di kelas jauh tidak ada sekretariat yang mengelola program pendidikan, tidak ada perpustakaan yang representatif, tidak ada dosen yang bisa dihubungi sewaktu-waktu, dan proses pendidikan/pengajaran bersifat amat incidental. Dosen hanya akan datang sekali-kali, itupun sering “diborong” dengan memberi kuliah sehari penuh dan dikalkulasi sebagai pertemuan 3-4 minggu. Belajar menjadi proses yang sangat instan dan formalitas, seolah-olah dengan hanya melakukan 2-3 pertemuan dianggap sudah ekuivalen dengan pertemuan satu semester, dan mahasiswa dianggap sudah memiliki kompetensi yang memadai.

Namun metode jarak jauh berbeda dengan kelas jauh. Meskipun sama-sama tidak berbasis pada pertemuan langsung secara reguler antara pengajar dan siswanya, namun dalam model pendidikan jarak jauh ini tidak ada pemadatan materi atau percepatan waktu belajar. Modul pembelajaran juga diberikan utuh, bukan sekedar bahan tayang berupa power point slide. Boleh jadi peserta justru membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menguasai materi, karena dia harus belajar secara mandiri sebelum datang kesempatan untuk bimbingan atau tatap muka langsung dengan pengajar/ pembimbing.

Model pembelajaran jarak jauh ini pernah diterapkan LAN dalam bentuk DJJ (Diklat Jarak Jauh). Gagasan ini menurut saya adalah sebuah inovasi, karena merupakan sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan konvensional yang bersifat klasikal (pembelajaran di kelas). Padahal, menuntut ilmu bisa dimana saja, apakah di kantor, di pasar, di alam terbuka, di rumah, atau dimanapun. Belajar juga tidak harus dari seorang guru, namun bisa dari siapapun, apakah dari sesama siswa, dari teman se kantor,  dari anak-anak kita, dari para pedagang di kantor, maupun dari siapa saja. Ilmu-pun juga bukan hanya mata-mata pelajaran yang sudah masuk dalam kurikulum, namun bisa berupa kontemplasi dan imajinasi seseorang, sikap bijak dan jujur dari pedagang pasar, pengalaman orang lain, kesederhanaan dan kepolosan anak-anak, dan sebagainya. Paradigma yang menganggap bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran di kelas, dari seorang guru atau tokoh yang dianggap cendikia, dan berkaitan dengan mata pelajaran/mata diklat tertentu, adalah paradigma yang sempit.

Itulah sebabnya, saya cukup heran mengapa sistem DJJ saat ini sudah ditinggalkan. Padahal, mengingat banyaknya jumlah pegawai/penduduk usia sekolah yang tidak semuanya memiliki kesempatan mengikuti diklat/pendidikan secara formal, dan mengingat banyaknya pegawai/penduduk usia sekolah yang berdomisili di pedalaman dan tidak memiliki kesempatan berinteraksi dengan pegawai dari wilayah perkotaan, DJJ menjadi solusi yang cukup ampuh. DJJ adalah metode yang relatif bisa menjamin pemerataan kesempatan pendidikan (education for all), sekaligus mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah yang telah maju dengan daerah pedesaan, terpencil, atau di wilayah perbatasan. Selain itu, DJJ juga dapat mengatasi masalah keterbatasan anggaran serta sarana dan prasarana diklat. Dengan DJJ, kebutuhan pengadaan gedung, ruang kelas, meja kursi, bahkan konsumsi bisa ditiadakan. Belum lagi alokasi untuk perjalanan dinas, uang harian, dan honorarium pengajar yang menyedot banyak anggaran, bisa dihemat untuk direalokasikan ke sektor yang lebih prioritas. Dengan kata lain, jika DJJ ini bisa diterapkan baik untuk diklat aparatur maupun pendidikan umum, maka amanat UUD 1945 untuk mengalokasikan 20% APBN/APBD untuk sektor pendidikan dapat dihemat secara signifikan.

Jika ide dasar pembangunan MRT (mass rapid transportation) di Jakarta adalah moving people, not cars, maka ide dasar DJJ adalah moving knowledge, not people. Artinya, untuk menuntut ilmu atau untuk menjadi peserta didik tidak harus berbondong-bondong ke sekolah, ke pusat-pusat pelatihan, atau ke lembaga-lembaga kursus/pendidikan. Biarkan materi, modul, dan bahan-bahan belajar yang mendatangi si calon pembelajar. Dengan demikian, belajat adalah proses pengembangan kapasitas yang dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja.

Analog dengan DJJ, konsep home schooling dan model belajar secara online yang diterapkan oleh Lemhanas dapat saya katakan sebagai sebuah inovasi dalam sistem pendidikan secara nasional. Jika kursus di Lemhanas masih eksis hingga saat ini dan home schooling makin diminati oleh kelas menengah di perkotaan, maka aneh jika DJJ justru dimatikan. Jikapun banyak kekurangan dalam pelaksanaan DJJ pada masa lalu, menurut saya bukan alasan untuk menghentikan konsep yang baik ini. Bahkan saya berpikir bahwa inovasi-inovasi baru dalam model pendidikan masih bisa digali lagi. Salah satunya adalah self learning.

Seperti kita maklumi, di dunia ini banyak sekali manusia-manusia hebat dengan latent luar biasa dan kreativitas tinggi yang tidak pernah menempuh sekolah/diklat formal. Manusia-manusia otodidak dengan kecerdasan diatas rata-rata orang normal ini terbukti mampu menjadi tokoh-tokoh yang mampu mengubah dunia. Sebut saja Steve Jobs atau Bill Gates, adalah dua ikon terbesar abad 20 di bidang teknologi komputasi. Itulah sebabnya, mudah dipahami mengapa Paul Arden dalam bukunya berjudul “Whatever You Think, Think The Opposite”menyarankan pembacanya untuk tidak kuliah di universitas. Selengkapnya dia menulis sebagai berikut:

 Going to university usually means, “I don’t know what to do with my life, so I’ll go to university”. A gap year confirms this. They are delaying tactics. Some people are lucky enough to know what they want to do early in life. The majority have great difficulty in putting their asserts to useful purpose. I feel sorry for these people. It isn’t easy for them. But going to university is not going to solve their problem. Whereas going to work will.

Sayangnya, di negeri yang lebih mementingkan formalitas seperti Indonesia, sangat sulit seseorang yang tidak sekolah formal menemukan ruang-ruang aktualisasi diri. Seseorang yang berijazah SMA, misalnya, hampir dapat dipastikan nasibnya akan berputar di sekitar kuli bangunan, pesuruh kantor, pedagang asongan, dan sejenisnya. Sebab, tidak ada organisasi pemerintah maupun perusahaaan yang bersedia mengkader mereka sebagai kandidat pimpinan strategis. Maka, orang-orang seperti itu, harus menciptakan sendiri nasibnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Steve Jobs atau Bill Gates. Situasi seperti ini menyiratkan bahwa model self-learning tidak dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan. Dengan kata lain, sistem pendidikan kita selama ini mengingkari fakta bahwa potensi seseorang dapat tumbuh dan berkembang tanpa harus melalui jalur pendidikan formal. Hal ini sangat bertolak belakang dengan praktik di Korea, dimana seorang Kim Dae-jung bisa menjadi pengacara hebat, dan bahkan kemudian menjadi Presiden, meskipun tidak memiliki dasar pendidikan formal bidang hukum. Bagaimana di Indonesia? Seseorang yang ingin ujian calon pengacara, syarat pertama dan utama adalah harus bergelar Sarjana Hukum.

Kembali ke pokok persoalan dari tulisan ini, model pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) seyogyanya diaktualisasikan kembali, baik untuk konteks aparatur maupun pendidikan umum (terutama jenjang pendidikan dasar dan menengah). Bangsa ini harus sudah berpikir di level output, bukan lagi di level proses. Maksudnya, lihatlah pada kompetensi seseorang, bukan bagaimana kompetensi ini dibangun. Sudah saatnya bangsa ini mengedepankan aspek substansial, bukan lagi aspek formal belaka. Sebelum kita mampu menemukan inovasi yang jauh lebih baik dibanding model pembelajaran jarak jauh ini, tidak ada salahnya untuk terus dilanjutkan.

Serpong, 21 Februari 2014
(pulang dari kantor disambut listrik padam di rumah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar