Laman

Jumat, 14 Maret 2014

Belenggu Kreativitas



Konon, tidak perlu keterampilan tingkat tinggi untuk menjinakkan seekor gajah liar. Cukup rantailah salah satu kakinya kuat-kuat. Pada tahap awal, gajah itu pasti akan memberontak dan terus meronta untuk melepaskan diri dari belenggu rantai yang menjeratnya. Setiap kali ia lapar, instingnya pasti akan menuntunnya untuk pergi ke suatu tempat yang ada rumput atau dedaunan segar. Begitu pula ketika libidonya sedang menuntut pemuasan, pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari jeratan rantai tersebut dan menemui kekasihnya di tengah hutan. Namun, ketika dia gagal setiap kali mencoba melepaskan diri, sedikit demi sedikit akan terbentuk keyakinan bahwa dia memang tidak bisa melakukannya. Perlahan-lahan akan terbangun sugesti bahwa dia tidak bisa berjalan lebih jauh dari panjang rantai yang membelit kakinya. Maka, yang terjadi kemudian adalah bahwa gajah tadi tidak lagi mencoba memberontak, meronta, atau berusaha melepaskan diri dari belenggu rantai. Akhirnya, ketika lapar ia cukup berteriak dan si pawang dengan sendirinya akan datang memberi makan. Dan akhirnya, si pawang melepaskan rantai di kaki gajah tadi karena yakin bahwa si gajah tidak lagi liar seperlu sedia kala. Gajah seperti ini sudah berubah mindset-nya bahwa cara mendapatkan makan bukanlah dengan berkelana ke dalam hutan, melainkan cukup berteriak dan makanan akan tersaji dengan sendirinya. Gajah seperti ini tidak lagi memiliki rantai di kakinya, namun sudah berpindah ke pikirannya. Pikirannyalah yang telah membelenggu insting, tenaga, bahkan perilakunya bahwa ia tidak lagi bisa berlari kencang atau menentukan nasibnya sendiri.

Cerita serupa terjadi pula pada kisah seekor ikan Piranha yang hidup dalam akuarium yang sama dengan seekor ikan Nila. Meskipun tinggal dalam satu tempat, namun keduanya dipisahkan oleh kaca transparan. Mereka bisa saling melihat namun tidak pernah bisa menyentuh. Nah, si Piranha merasa senang karena dia pikir akan dapat makan kenyang dengan menyantap si Nila. Ketika mencoba menerkam pertama kali, dia terkejut karena membentur dengan keras sesuatu yang tidak nampak. Dia mencoba lagi, ternyata sama, dan dia mulai merasakan sakit pada mulutnya. Terdorong oleh lapar yang semakin hebat, Piranha tadi mencoba lagi dan mencoba lagi meski hasilnya gagal lagi dan gagal lagi. Pada saat itulah Piranha tadi memiliki keyakinan bahwa dia tidak bisa memakan si Nilai dengan cara bagaimanapun. Maka, ketika kaca transparan dibuang sehingga tidak ada lagi penghalang antara kedua ikan tadi, Piranha tadi tetap saja tidak agresif sebagaimana layaknya seekor Piranha. Mindset-nya telah terbentuk bahwa dia tidak bisa melakukan hal apapun terhadap diri si Nila. Kaca penghalang tadi telah berpindah ke pikiran si Piranha.

Ada juga cerita tentang anak burung Rajawali yang menetas dalam eraman induk ayam bersama anak-anak ayam lainnya. Karena tumbuh dalam lingkungan ayam, maka anak Rajawali inipun merasa dirinya adalah ayam. Meski postur tubuhnya sangat berbeda, tetap saja dia berperilaku layaknya ayam. Dia bergerak dengan kakinya, dan lupa bahwa dia memiliki sayap yang dapat menerbangkannya ke angkasa. Dia mengambil makanan dengan paruhnya, dan tidak menyadari bahwa dia memiliki cakar yang bisa mencengkeram anak kelinci sekalipun. Rupanya, anak Rajawali ini terkena sindrom “seeing is believing”, sehingga apa yang dia lihat sehari-hari menjadi keyakinan yang begitu kuat dalam alam bawah sadarnya.

Nah, kitapun sering tanpa sadar berperilaku seperti Gajah, Piranha, atau anak Rajawali tadi. Tanpa bermaksud untuk meremehkan diri sendiri, namun faktanya aka fenomena bahwa kita memelihara berbagai belenggu dalam pikiran kita. Akibatnya, kita sering merasa sangsi atas kemampuan kita sendiri dan merasa minder untuk melakukan sesuatu. Kita takut bahwa yang kita kerjakan akan mendapat kritik atau cemoohan dari orang lain. Kita juga merasa malu jika yang kita kerjakan tidak sempurna di mata orang lain, terutama atasan kita. Pada kasus lain, mungkin kita tidak berani melakukan sesuatu karena berbagai alasan dari pendidikan yang rendah, kesehatan yang tidak mendukung, penampilan yang kurrang menarik, masa kerja yang masih sedikit, pengalaman yang masih minim, jabatan yang masih sekedar staf pelaksana, dan sejuta alasan lain. Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya tentang ESQ menambahkan 7 (tujuh) macam belenggu yakni prasangka, prinsip hidup, pengalaman (kebiasaan), kepentingan, sudut pandang, pembanding, dan literatur. Dalam kasus anak Rajawali diatas, faktor lingkungan juga bisa menjadi belenggu kreativitas bagi seseorang. Bahkan umur, jenis kelamin, dan nasibpun bisa dijadikan alasan untuk tidak mencoba sesuatu, takut menerima tantangan baru yang lebih berat, atau untuk tidak menjadi pribadi yang lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Itulah belenggu-belenggu yang membuat kita tidak kreatif, tidak mengalami kemajuan yang berarti, menjadikan potensi dalam diri kita ridak tergali dan teraktualisasikan dengan maksimal, dan bahkan membuat kita seperti jalan di tempat. Sepanjang belenggu tadi masih mendekam dalam alam sadar dan bawah sadar kita, maka selama itu pula kata “kreativitas” tidak akan pernah hadir dalam kamus hidup kita, sehingga mustahil pula bagi kita untuk membuat terobosan atau inovasi guna meningkatkan kualitas dan derajat hidup kita.

Maka, yang harus kita lakukan hanyalah menyadari adanya belenggu dalan jiwa-jiwa kita, untuk kemudian membuangnya jauh-jauh, menenggelamkannya di dasar palung Samudera Atlantik yang terdalam, atau membakarnya hingga menjadi abu yang hilang tertiup angin. Namun, ini bukanlah hal yang mudah. Kita harus mengenal diri sendiri, mengetahui potensi yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta jagad raya, dan meyakini bahwa setiap diri kita tercipta dalam kondisi terbaik untuk bisa menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.

Sekedar mengingatkan apa yang ditulis Ary Ginanjar, bahwa setiap makhluk hidup memiliki alphabet basa DNA yang sama, yaitu A (Adenine), C (Cytosine), G (Guanine) dan T (Thymine). Dalam struktur helix ganda DNA, basa A berpasangan dengan T, sedang C berdampingan dengan G. Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat 100 trilyun sel. Dalam setiap inti sel itu terdapat 23 pasang kromosom yang disusun oleh 3 milyar huruf alphabet tadi. Jika DNA dalam setiap tubuh manusia direntangkan, maka panjangnya akan melebihi 600 kali jarak bumi dan matahari. Betapa dahsyat dan sempurnanya manusia hasil kreasi The Great Creator, Allah Sang Penguasa alam semesta. Sekedar mengingatkan juga bahwa setiap diri kita adalah pemenang, karena kita adalah satu-satunya sel spermatozoa yang berhasil membuahi sel telur diantara berjuta sel yang ada.

Potensi yang demikian dahsyat tadi, tidak cukup hanya kita syukuri, namun lebih dari itu harus sungguh dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menghasilkan perbedaan dan perubahan di sekitar kita, untuk mewarnai kehidupan sosial dan organisasi kita, untuk menjadikan bumi tempat tinggal kita lebih baik lagi dan lagi. Itulah wujud syukur yang paling hakiki. Sungguh sebuah kerugian besar jika manusia hanya berdiam diri berpangku tangan menunggu orang lain berbuat sesuatu untuk dirinya. Sungguh merugi jika kita hanya menjadi obyek dan penonton dari panggung dinamika lingkungan strategis kita, serta hanya menjadi beban bagi pihak lain. Bisa dibayangkan, jika bukan kemurkaan, betapa kecewanya Allah yang telah menciptakan kita dengan kita potensi teramat besar namun kita sia-siakan begitu saja.

Intinya, diri kita sendirilah yang bertanggungjawab pada diri kita sendiri. Kita adalah raja atas jiwa kita sendiri dan tuan atas pikiran kita yang bebas merdeka. Carilah berbagai hal yang bisa memotivasi kita untuk mengubur dalam-dalam belenggu dalam diri kita. Lebih baik stress karena banyak pekerjaan dari pada stress karena bingung mencari pekerjaan. Lebih baik kecapean karena kesibukan dari pada letih karena menjadi pengangguran. Lebih baik salah karena mencoba sesuatu yang baru dari pada tidak pernah salah karena tidak melakukan apapun. Lebih baik tidak disenangi seseorang karena kita melakukan perubahan dari pada tidak disenangi karena tidak memiliki inisiatif sama sekali. Lebih baik diolok-olok sebagai seorang idealis dari pada dipuji sebagai penjilat yang loyalis. Lebih baik dicibir karena ide-ide ”gila” dari pada menjadi ”orang gila” yang tidak memiliki ide sama sekali.

So, jangan tunda sampai nanti atau sampai besok, hancur leburkan belenggu yang membelit kreativitas kita, sekarang juga. Selamat mencoba !!

Villa Melati Mas Serpong, 15 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar