Di
suatu sudut kota, seorang pedagang kerak telor dengan sabar berharap ada yang
membeli dagangannya. Sudah hampir satu jam belum juga ada yang membelinya.
Dengan sesekali menyeka keringatnya, ia berbincang dengan pedagang siomay disebelahnya
yang bernasib sama. Entah apa yang diperbincangkan. Mungkin mereka sedang
meratapi nasibnya yang harus berjualan sejak pagi hingga sore bahkan terkadang
sampai malam, namun hasil yang diperoleh tidak seberapa. Tidak jauh dari kedua
pedagang tersebut, seorang anak rajin menjajakan kerupuk yang ditentengnya
dalam sebuah kantong plastik besar. Ia mendekati mobil-mobil yang baru datang
atau akan meninggalkan tempat parkir. Sesekali tawarannya nyantol, namun lebih
sering ia harus gigit jari karena sebagian besar calon pembelinya menunjukkan raut
muka tidak tertarik. Anak itu ternyata tidak sendirian. Ada teman-teman
sebayanya yang menjajakan koran dan majalah, atau ada pula yang menenteng kotak
berisi perlengkapan semir sepatu.
Itulah
sekelumit pemandangan di halaman toko dan di pinggiran jalan sebuah kota besar
di Indonesia. Jika kita melihat mereka secara tersendiri, mungkin akan timbul
rasa iba atas nasib kedua pedagang tadi dan ratusan koleganya di sektor
informal. Namun jika mereka dilihat sebagai sebuah kesatuan di sudut kota
Bandung bernama Dago, Braga, atau Buah Batu, maka akan membentuk sebuah wajah
kota yang lengkap, dimana semua pilihan tersedia disana. Kontribusi para
pedagang tadi dalam membentuk wajah kota semakin disempurnakan oleh keberadaan toko-toko
yang berderet sepanjang jalan protokol itu. Mereka seperti berlomba menggaet
naluri hedonisme warganya melalui sajian yang menggiurkan, dari industri
kuliner beraneka cita rasa, produk fashion
dan sepatu model-model terbaru, alat-alat elektronik dan gadget mulai yang termurah sampai yang bernilai puluhan juta,
kosmetik ala selebriti, hingga barang-barang seni seperti lukisan, kerajinan
tangan, dan beragam souvenir khas
kota kembang. Tentu, hotel-hotel yang didesain unik hadir disana menyemarakkan geliat
kota yang sangat dinamis.
Kehidupan
kota yang begitu bergairah, ditambah lagi oleh aksi kawula mudanya yang seperti
ingin tampil beda. Beberapa diantaranya nongkrong
di café. Sambil bercakap dengan temannya, mereka asyik dengan laptopnya berkelana di alam maya. Mereka seperti tidak
mau tertinggal berita apapun, atau hanya sekedar meng-update status dan ber-narsis
ria dengan memajang foto-fotonya di media sosial. Sementara sekelompok anak
muda yang lain lebih kreatif dalam mengekspresikan jati dirinya. Saat saya
melintas pelan di jalan Dago itu, misalnya, segerombol muda-mudi yang
berpenampilan bersih dan cukup trendy
menyetop saya, kemudian berjoged dan bernyanyi bersama. Meski terkesan tidak
dipersiapkan dengan baik, namun pemandangan ini memberi nuansa yang berbeda.
Ketika saya tanya siapa mereka dan apa motifnya, ternyata mereka adalah para
mahasiswa yang sedang menggalang dana untuk meringankan beban saudara-saudara
kita yang terkena bencana, atau untuk bakti sosial seperti sunatan massal, dan sejenisnya.
Dari berbagai fakta
itulah, langsung terbersit dalam benak saya bahwa Bandung adalah sebuah kota
kreatif. Sama halnya ketika saya berjalan di lorong jalan Malioboro di Yogya,
terasa benar nuansa kreatif yang terpancar dari cara berpakaian para pedagang
dan artis jalanan, barang-barang dagangan yang unik dan khas Jawa, beberapa
arsitektur yang masih mempertahankan karakter tempo dulu, dan seterusnya, yang
secara akumulatif membentuk citra kota yang kreatif. Kesan yang kental
kreativitas juga dengan mduah ditemukan di setiap penjuru Bali. Dari utilisasi
bunga kamboja untuk beragam keperluan, pohon-pohon bersarung kotak hitam putih,
pura-pura yang begitu magis, hingga tarian-tarian yang eksotis, dan seterusnya,
terbentuklah kota yang “beda”, yang tidak mudah ditemukan di kota-kota lainnya.
Saya percaya bahwa semua itu
merupakan manifestasi dari tata kelola perkotaan yang membuka ruang-ruang
kreatif warganya. Disengaja maupun tidak, dan disadari atau tidak oleh walikota
dan para birokratnya, kondisi seperti itu tentulah merupakan konsekuensi dari
kebijakan pemda setempat. Artinya, selain para pemimpin daerah harus memiliki
visi untuk membangun kota yang kreatif, mereka juga harus menyiapkan
seperangkat regulasi yang kondusif untuk berkembangnya kreativitas
masyarakatnya. Kreativitas individu warga tidak serta merta akan
bertransformasi menjadi kreativitas kolektif perkotaan, melainkan butuh
intervensi kreatif dari para pemimpin di kota tersebut. Salah satu caranya
adalah dengan menyediakan ruang-ruang terbuka di setiap penjuru kota agar
merangsang interaksi antar warga dan menarik mereka untuk mengekspresikan bakat
dan hobinya. Bisa juga pemda memasang perangkat wifi di ruang-ruang terbuka tadi, atau mewajibkan setiap kafe,
restoran, dan hotel untuk memiliki koneksi internet nirkabel secara gratis. Hal
lain yang bisa dilakukan adalah dengan membangun gedung pertunjukan untuk
mewadahi aksi kreatif masyarakat seperti membaca puisi, sendra tari, pantomim,
lawak/komedi, sulap, pidato kebudayaan, bahkan bermain skateboard, dan sebagainya. Boleh jadi pula pemda mengundang para
pelukis graffiti untuk mencurahkan imajinasinya dalam gambar-gambar di
sudut-sudut kota yang kumuh. Intinya, para pemimpin itulah yang wajib melakukan
upaya transformasi secara sengaja dengan mengoptimalkan regulasi, otoritas, dan
sumber daya yang dimiliki sehingga terwujudlah kota kreatif yang didambakan.
“Kota kreatif” sendiri ternyata
bukan hal baru. Ketika saya masukkan kata tadi di Google, ternyata Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah mengajukan 4 (empat) kota sebagai kota
kreatif kepada UNESCO, badan PBB untuk urusan pendidikan, sosial dan budaya,
yakni Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Menurut Mari Pangestu, empat kota ini
dipilih karena dinilai maju dalam seni, industri kreatif dan desain. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa Solo dinilai layak sebagai kota kreatif, karena setiap akhir
pekan, jalan-jalan ditutup untuk menciptakan ruang kreatif bagi masyarakat, yakni
dengan menggelar performing art, pameran dan memberi kesempatan UKM pameran
bahkan sampai izin usaha gratis. Bandung dinilay layak sebagai kota kreatif
karena dinilai memiliki sisi visioner dalam bidang pariwisata dan kuliner.
Sedangkan Pekalongan memiliki museum batik serta industri batik dan Yogyakarta
dinilai memiliki ragam budaya dan seni, serta menjadi tujuan wisata Indonesia. Jika
salah satu atau keempat kota nantinya ditetapkan oleh UNESCO sebagai kota
kreatif, maka akan berkedudukan sama dengan London dan Paris yang telah
ditetapkan terlebih dahulu.
Saya yakin, kota-kota
yang lain memiliki kreativitasnya sendiri-sendiri, sesuai dengan keunggulan
komparatif yang dimiliki kota-kota tersebut. Jika di Yogyakarta menonjol aspek
seni budaya yang berbasis pada warisan tradisi keratin, misalnya, di Makasar
bisa lebih dikembangkan kreativitas berbasis warisan maritim dan kehidupan bahari.
Demikian pula jika kreativitas di Bali lebih didominasi oleh sisi budaya yang
berakar pada filosofi Hindu dengan dukungan kekayaan wisata alamnya, maka di
Padang bisa diarahkan pada penguatan harmoni sosial dan sistem kekerabatan
bersendi sara’. Sedangkan kreativitas pada hal-hal umum seperti kuliner,
tari-tarian, seni rupa (lukisan, batik, patung), mitologi atau dongeng
tradisional, dan sebagainya, dapat dikembangkan di kota manapun.
Selain konsep creative city, ada juga konsep tentang intelligence city atau ada yang menyebut
pula virtual city, digital city, information city, wired city,
telecity, knowledge-based city, electronic communities, electronic community
spaces, flexi-city, teletopia, dan cyber-ville
(Wikipedia). Salah satu kota yang pernah memenangkan penghargaan Intelligent Community of the Year 2005 dari
Intelligent Community Forum (ICF),
adalah Mitaka, daerah pinggiran barat Tokyo berjarak 18 km dari pusat kota.
Beberapa pertimbangan ICF dengan menganugerahkan award tadi adalah karena masyarakatnya yang memberi perhatian
tinggi terhadap teknologi dan litbang sehingga terbangun budaya sosial politik
yang berorientasi kedepan (forward
looking). Selain itu, kota Mitaka juga memiliki ciri adanya kolaborasi
antar warga yang erat, yang merupakan syarat untuk pembangunan komunitas yang
cerdas (intelligent community). Mitaka
juga merupakan basis riset bagi sektor bisnis, pendidikan, dan lembaga
pemerintahan. Termasuk perguruan tinggi yang ada di Mitaka adalah International
Christian University (ICU) dan Kyorin University. Dan yang paling menonjol dari
Mitaka adalah sebagai salah satu pusat produksi kantun “anime” (Ayano Hirose and Ikujiro Nonaka, 2013, “Social Innovation in Mitaka City: Collaborating in Harmony”,
Hitotsubashi University: International Corporate Strategy).
Diluar
konsep creative city dan intelligent city, masih ada lagi konsep tentang smart city. Di Wikipedia disebutkan
bahwa A city can be
defined as ‘smart’ when investments in human and social capital and traditional
(transport) and modern (ICT) communication infrastructure fuel sustainable
economic development and a high quality of life, with a wise management of
natural resources, through participatory action and engagement
(Caragliu et al. 2009). Namun bagi saya, creative
city,
intelligent community maupun smart city sesungguhnya memiliki esensi
yang sama, yakni adanya spirit inovasi untuk menjadikan kota yang lebih baik
bagi penghuninya.
Tentu,
Bandung, Yogyakarta atau kota manapun di Indonesia tidak perlu menjadi London,
Paris, atau Mitaka untuk dapat menjadi kota kreatif, intelligent community maupun smart
city. Karakteristik yang khas dan unggulan lokal masing-masing kota perlu dikemas
sedemikian rupa sehingga membedakan kota ini dengan kota manapun, bahkan
dibanding dengan Mitaka sekalipun. Semua kembali kepada political will dan kerja keras para pemimpin kota beserta warganya untuk
mau melakukan transformasi bagi kotanya ataukah tidak.
Jakarta, 17 Maret 2014
Luar biasa bung Tri...saya punya mimpi untuk mewujudkan sebuah kota yang kreatif dan berdaya saing di kota tempat saya tinggal. Pasti seru banget kalo bisa minta nasihat dari bung Tri ini hehehe
BalasHapusDengan senang hati bung. Silakan datang ke kantor saya, LAN Jl. Veteran 10 Jkt. Kebetulan kami memang sedang banyak menggali inovasi2 dari berbagai daerah dan instansi. Senang bisa menjalin komunikasi dengan Bung ... Salam.
BalasHapus