Laman

Minggu, 02 Maret 2014

Hak Atas Tanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan



Dari definisinya, tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu (Keputusan No. 5 Tahun 1999 Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Pasal 1 ayat 2). Hak ini adalah hak masyarakat adat (gampong, nagari, dusun, dll) atau komunitas asli desa untuk menguasai tanah lokal. Walaupun hak ini mempunyai kekuatan yang berbeda di setiap daerah, pada umumnya hak ini meliputi hak-hak komunitas untuk mengalokasikan tanah, menyetujui peralihan tanah, mengelola pemakaian tanah dan menyelesaikan sengketa tanah di daerah tertentu.

Secara historis, Simulie (2004) memberi penjelasan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Pasal 720 Burgerlijk Wetboek (BW), Hak Guna Usaha (Erfpachtsrecht) adalah hak keberadaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun hasil atau pendapatan. Dengan digunakannya alas hak Erfpacht tersebut di atas, tanah tidak lepas dari pemiliknya, sementara investor (pengguna tanah) berkewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah sebagai pengakuan tentang kepemilikannya. Setelah Jepang masuk, investor meninggalkan Indonesia, dan menurut adat tanah harus kembali kepada pemiliknya (kabau pai kubangan tingga).

Sayangnya, melalui UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria) Tanah eks Erfpacht tersebut dikonversi menjadi tanah negara. Pada masa Orde Baru peraturan tentang pemanfaatan tanah ulayat belum ada, sedangkan investor memedukan tanah untuk perusahaan. Untuk mengatasinya pemerintah menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), dengan ketentuan bahwa pemilik ulayat menyerahkan tanah kepada Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Pemerintah Daerah menyerahkannya kepada investor untuk diganti alas haknya menjadi HGU. Implikasi dari perubahan hak Erfpacht menjadi HGU ini adalah bahwa tanah (hak ulayat) lepas dari pemiliknya menjadi tanah Negara, sementara investor tidak mempunyai kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik ulayat. Menurut catatan Simulie (ibid.), tanah ulayat yang sudah lepas dari pemiliknya hingga saat ini berjumlah kurang lebih 182.141,56 hektar, karena berubah alas haknya menjadi Hak Guna Usaha.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), secara tegas dalam penyusunannya berpedoman pada hukum adat dan hukum agama. Hak ulayat diakui dengan tegas dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan: "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi".

Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, serta UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2.

Tentang pelaksanaan hak ulayat itu dijelaskan dalam Pasal 5 UUPA sebagai berikut: "Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.”

Bardasarkan hak ulayat yang bersumber pada hukum adat, maka masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh Pemerintah. Jika Pemerintah akan melaksanakan pembukaan hutan secara besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh menjadi penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum dapat menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat-masyarakat hukum yang bersangkutan. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara (Abdul Syani, ibid.).

Dalam Memori Penjelasan UUPA ditegaskan: "Tidak dapat di benarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungan dengan masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara kesatuan". Jika dipertahankan sikap demikian, maka bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam Pasal 2 UUPA yang berbunyi: "Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu "hukum adat yang mana saja yang dimaksudkan dalam UUPA" (Abdul Syani, ibid.).

Selain itu, hak ulayat juga tidak ada jika terhadap sebuah bidang tanah telah melekat hak milik secara inidividual. Hal ini sesuai dengan Keputusan No. 5 Tahun 1999 Menteri Negara Pertanian/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mengatur prosedur untuk menyelesaikan masalah sehubungan dengan hak ulayat yang dimiliki masyarakat. Dalam Keputusan ini disebutkan: hak ulayat tidak akan diakui dan dicatat apabila tanah itu sudah menjadi hak milik (termasuk hak pengusahaan hutan).

Dalam kaitan ini, Maria Sumardjono (1993) menyebutkan bahwa ukuran hak ulayat dapat ditentukan melalui tiga ciri pokok yaitu: 1) adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; 2) tanah / wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan obyek hak ulayat; dan 3) adanya kewenangan mesyarakat hukum untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana yang telah ditentukan.

Ketiga kriteria tersebut di atas secara komulatif cukup memberikan nilai yang obyektif. Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah atau wilayahnya. Kemudian pernyataan yang menyatakan bahwa pengakuan atas hak adat itu berlaku "sejauh adat itu masih ada/hidup" dapat pula dipertanyakan lebih lanjut. Pernyataan itu mengandung asumsi bahwa adat itu "bisa mati". Apa sebenarnya hakekat hukum adat itu?. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa adat tidak pernah mati; adat selalu hidup; hanya saja selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang menyertai.

Zulfikar (tanpa tahun) memberi analisis yang menarik dengan mengatakan bahwa berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tahah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain: TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41), TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa telah terjadi transformasi yang sangat mendasar terhadap status dan pemanfaatan tanah hak ulayat. Hak yang dahulu melekat secara jelas dan tegas dalam struktur sosial kemasyarakatan, saat ini lebih menjelma sebagai hak milik negara. Dengan demikian, hak atas tanah ulayat secara faktual sulit ditemukan, khususnya secara legal formal, karena memang tidak ada sertifikasi atas tanah ulayat ini.

Pergeseran tersebut dalam realitanya sering kali tidak dapat dihindari karena interaksi sosial ekonomi antar kelompok masyarakat, proses urbanisasi dan migrasi (perpindahan) penduduk. Akibatnya, corak masyarakat adat yang berbasis kesamaan genealogis mulai terkikis, dan sebagai gantinya muncullah konsep masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam suku bangsa dan adat istiadat.

Sementara itu, penghormatan terhadap masyarakat desa juga diakui dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konsep revisi UU No. 32 Tahun 2004, misalnya, muncul ide pengaturan desa secara khusus. Dalam hal ini, pengaturan tentang desa yang selama ini dituangkan dalam tingkat Peraturan Pemerintah (PP No. 72 Tahun 2005) akan meningkat dalam level Undang-Undang. Ini berarti bahwa eksistensi desa semakin dihormati. Oleh karena itu, atribut-atribut masyarakat desa, termasuk hak ulayat, secara otomatis juga harus semakin dihormati. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan tentang status dan kedudukan serta penggunaan dan pemanfaatan tanah hak ulayat perlu semakin diperjelas pada masa yang akan datang, seiring dengan penataan desentralisasi yang ditandai oleh revisi UU Pemerintahan Daerah.

Daftar Bacaan

Anonim, tanpa tahun, Urgensinya Hak Ulayat di Minangkabau, tersedia online di http://qbar.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=33
Firmansyah, Nurul, 2009, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan (Refleksi Persoalan Hak Ulayat di Sumatera Barat Untuk Tahun 2009), tersedia online di http://www.legalitas.org/?q=content/nasib-hak-ulayat-tanah-dan-hutan-refleksi-persoalan-hak-ulayat-sumatera-barat-untuk-tahun-20
IDLO (International Development Law Organization), “Tanah Hak Milik Adat”, dalam Buletin Anda dan Keseharian Hukum No. 57.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1965, Desa, Sumur Bandung cet. 2.
Narihisa, Nakashima, tanpa tahun, Tanah Ulayat and the Pembangunan Issues in West Sumatra, Bulletin of the Faculty of Intercultural Communication, Hosei Univeresity, Japan.
Saptomo, 1995, Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah Kajian Antropologi Hukum tentang Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau, Tesis S-2. Jakarta: PPs UI.
Simulie, Kamardi Rais Dt P, 2004, Status Tanah Ulayat dan Potensinya (Bagian Terakhir dari Dua Tulisan), tersedia online di http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2325
Sudijat, Iman, 1981, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty Yogyakarta, cet. ke-2.
Syani, Abdul, tanpa tahun, Hak Atas Tanah Ulayat Bagi Masyarakat Adat Lampung.
Taqwadin, 2008, Tanah Hak Ulayat, tersedia online di http://ajrc-aceh.org/artikel/tanah-hak-ulayat/
Utomo, Tri Widodo W., 2002, Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta: Navila.
Zulfikar, tanpa tahun, Nasib Tanah Hak Ulayat Aceh,  tersedia online di http://www.acehinstitute.org/opini_zulfikar_hak_tanah-ulayat.htm

(Tulisan lama yang ketemu lagi)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar