Laman

Kamis, 27 Maret 2014

Membangun Budaya Inovasi


Meskipun cukup banyak referensi terkait budaya inovasi, namun teramat sedikit – untuk tidak disebut tidak ada – yang mendefinisikan apa itu budaya inovasi. Saya mencoba mendefiniskan sebagai seperangkat kebijakan atau aturan, kebiasaan, sikap, kondisi lingkungan, dan faktor-faktor organisasi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi secara progresif dalam sebuah organisasi. Mari kita lihat satu per satu dari setiap aspek tersebut.  

Pertama adalah soal kebijakan atau aturan. Betapa banyak dalam dunia nyata (real world) kita temukan aturan yang berjiwa deterministik, mengekang, membatasi kreasi dan inisiatif, dan cenderung menjadi alat untuk menjerat seseorang, bukannya untuk melindungi, melayani dan memudahkan. Itulah sebabnya, teramat sulit menemukan aturan yang memuat istilah inovasi, apalagi memberikan ruang-ruang ekspresi melalui inovasi. Sistem peraturan perundang-undangan kita selama ini disadari atau tidak telah menempatkan inovasi sebagai “musuh” bagi hukum positif. Karakter aturan yang teramat kaku ini pada gilirannya membentuk belief system dalam alam bawah sadar aparatur negeri ini bahwa inovasi identik dengan pelanggaran aturan. Seolah-olah, inovasi hanya bisa dipandang dengan asas praduga bersalah (presumption of guilty) semata, sehingga menimbulkan keengganan dan ketakutan orang untuk berinovasi. Aspek aturan inilah yang secara riil telah memberangus dan mematikan budaya inovasi di sektor publik. 

Untunglah, era reformasi telah memberi sedikit pencerahan akan pentingnya inovasi, sehingga paling tidak ada 3 (tiga) undang-undang atau rancangan undang-undang yang telah “berdamai” dengan inovasi dan mengadopsinya kedalam substansi yang diatur. Ketiga aturan itu adalah UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Litbang dan Penerapan Iptek, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan RUU Pemerintahan Daerah. Sayangnya, ketiganya belum berani menjadikan inovasi sebagai sebuah affirmative action. UU No. 18/2002, misalnya, memang cukup detil mengatur tentang inovasi, namun inovasi tidak didudukkan sebagai sebuah sistem tersendiri, melainkan hanya istilah yang digunakan secara bersama-sama dengan perekayasaan dan difusi teknologi. UU ini nampaknya juga belum melihat inovasi sebagai sebuah sistem manajemen, namun masih terkesan memandang inovasi sebagai aktivitas belaka, jika bukan obyek dari aktivitas tertentu. Sementara itu, UU No. 5/2014 hanya menyebut inovasi sebanyak satu kali sebagai salah satu tugas LAN. Demikian pula, RUU Pemda masih terasa setengah hati dengan menyebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Penggunaan kata “dapat” disini menegaskan bahwa inovasi hanyalah pilihan yang dapat diabaikan, bukan sebuah kewajiban yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, RUU Pemda ini masih lebih banyak mengatur inovasi secara makro meliputi prinsip-prinsip, pelaporan dan penilaian inovasi, atau terkait penghargaan atas inisiatif inovasi, sementara pengaturan lebih rinci didelegasikan kepada presiden untuk menetapan Peraturan Pemerintah tentang inovasi pemerintah daerah.  

Jika semangat inovasi sudah mulai merasuk dalam kebijakan setingkat UU, maka “PR” selanjutnya bangsa ini adalah menjamin bahwa seluruh kebijakan dibawah hirarkhi UU harus memiliki konten inovasi yang lebih kental dan lebih operasional. Paradigma para pembentuk kebijakan harus makin berpihak pada upaya pembaharuan sistemik melalui inisiasi inovasi di segala bidang. Regulasi sudah saatnya diutilisasi sebagai enabling factor yang memampukan dan menyuburkan potensi inovasi, bukan yang menghambat budaya inovasi.

Kedua, budaya inovasi adalah persoalan kebiasaan. Siapapun yang terjebak pada kebiasaan yang dipelihara terus-menerus tanpa upaya mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih baik, sudah pasti dia bukanlah seorang yang inovatif. Semangat inovasi sangat tidak sejalan dengan tradisi turun-temurun, rutinitas yang kaku, ketidakberanian berpikir melampaui tempurungnya (out of the box thinking), atau sesuatu yang melanggengkan status quo. Sebaliknya, inovasi sangat berpihak pada keinginan mencari kebaruan (novelty) dan keluar dari belenggu bernama zona nyaman (comfort zone). Maka, kita perlu mengadopsi tradisi baru yakni “membiasakan pembaharuan dan memperbaharui kebiasaan”. Begitu kita merasa terkungkung dalam rutinitas, merasa tidak ada tantangan dalam pekerjaan, resistance terhadap ide-ide baru, dan merasa tidak perlu berubah, pada saat itulah sesungguhnya kita telah berada di titik kronis bernama kenyamanan, sehingga secepatnya harus kita ambil langkah darurat untuk mendobrak kebiasaan lama sekaligus melakukan inovasi.  

Faktor ketiga pembentuk budaya inovasi adalah sikap. Sikap ini adalah sebuag cara pandang kita terhadap suatu hal, misalnya bagaimana kita memberi makna terhadap tugas dan tanggungjawab dalam organsiasi, bagaimana menghargai sebuah usaha dan kerja keras dari orang lain, bagaimana menyikapi adanya perbedaan atau munculnya tantangan-tantangan baru, bagaimana merespon kegagalan dan konflik yang mungkin terjadi, dan seterusnya. Sikap itu bisa saja bersifat terbuka, adaptif, positif, optimis, apresiatif, dan demokratis, namun bisa pula sebaliknya. Nah, inovasi akan tumbuh subur dalam sebuah lingkungan yang terbuka, adaptif, positif, optimis, apresiatif, dan demokratis tersebut.  

Adapun mengenai faktor-faktor organisasional yang berpengaruh terhadap budaya inovasi, Lynne Maher dalam presentasinya berjudul “Creating the Culture of Innovation” (NHS Institute for Innovation and Improvement) menyebutkan adanya 7 (tujuh) faktor penting meliputi pengambilan goals), penghargaan (rewards), alat/sarana (tools), serta hubungan (relationship). 

Soal risk taking, inovasi apapun selalu memiliki resiko gagal. Sebagai sebuah proses menemukan sesuatu yang baru, tentu tidak ada jaminan bahwa hal itu akan selalu berhasil memenuhi harapan banyak orang. Jika tidak ada keberanian untuk menerima resiko kegagalan dari sebuah inovasi, maka tidak mungkin akan pernah ada inovasi. Untuk itu, perlu ada dukungan moril bagi siapa saja yang berani mencoba berinovasi dan berani mengambil resiko dari inovasi tersebut. Kegagalan dalam berinovasi juga tidak boleh dilihat sebagai sebuah kinerja buruk yang lahir dari kapasitas dan kedisiplinan yang rendah. Kegagalan dalam inovasi harus dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses belajar seseorang atau suatu komunitas. Ingatlah bahwa ketika Thomas Alva Edison mengalami 10.000 kali “kegagalan” dalam menemukan bola lampu, hal itu dianggap sebagai “keberhasilan menemukan 10.000 cara yang salah untuk membuat bola lampu”. Jadi, satu-satunya kemungkinan gagal dalam ujian inovasi adalah kegagalan untuk belajar sesuatu dari kegagalan. Tanpa adanya keberanian mengambil resiko dan tanpa adanya dukungan terhadap kemungkinan inovasi yang gagal, maka tidak akan pernah terbangun kultur organisasi yang inovatif. 

Sementara soal resources, meskipun terkesan teknis, namun memiliki peran cukup penting dalam membentuk budaya inovasi. Meskipun tidak harus mahal, namun implementasi ide kreatif sering membutuhkan dukungan dana, perlengkapan, media, hingga otoritas untuk mengimplementasikan. Tanpa itu semua, inovasi hanya menjadi mimpi indah yang sekedar memuaskan dahaga intelektual, namun tidak menjelma menjadi arus perubahan yang terasa manfaatnya bagi banyak orang. Untuk itu, komitmen sense of ownership dari pimpinan organisasi terhadap ide-ide inovasi harus ditumbuhkan agar dengan sukarela mau mengalokasikan sumber daya organisasi untuk melahirkan banyak inovasi. Pada saat yang sama, para pemegang otoritas perlu memperluas substansi untuk didelegasikan kepada tim atau stafnya, guna menimbulkan kesan bagi tim atau individu yang menerima delegasi tersebut bahwa merekapun memiliki otoritas untuk menempuh pilihan atau upaya inovatif tertentu. 

Faktor berikutnya adalah knowledge. Ini mengandung arti bahwa dalam sebuah organisasi mestilah tidak pernah berhenti menggali pengetahuan. Menggali pengetahuan itu harus menjadi kebutuhan dan tidak terbatas pada pengetahuan yang terkait langsung dengan tugas dan fungsinya. Keberanian mengungkapkan ide/gagasan diantara pegawai harus ditumbuhkan, sehingga akan terbentuk arus besar ide-ide brilian tentang pembaharuan organisasi secara berkesinambungan. Jika perlu, berpikir kreatif dijadikan sebagai kompetisi rutin dalam sebuah organisasi. Prinsip sensor, filterisasi, atau penyaringan ide oleh pimpinan perlu dikurangi karena akan menimbulkan keengganan untuk berinovasi. Sebaliknya, keberhasilan kecil hasil sebuah inovasi perlu dirayakan bersama sebagai sebuah bentuk pengakuan atas knowledge seseorang. 

Selanjutnya, penting juga untuk diklarifikasi soal goals. Sebuah organisasi penting untuk menyusun setting atau kerangka logis mengapa inovasi harus dilakukan, apa saja yang perlu dilakukan, dan apa target-target yang perlu dicapai dari setiap inisiasi inovasi? Lebih konkritnya, seorang pimpinan haruslah memiliki pandangan jauh ke depan kemana organisasinya akan dibawa, bagaimana merespon tantangan-tantangan yang muncul dari lingkungan strategis, serta memberi gambaran tentang apa manfaat dan kebanggaan yang bakal diraih jika mampu mewujudkan visi. Hal ini penting untuk memotivasi dan merangsang kreativitas pegawai. Sebagaimana dikatakan oleh Amabile (dalam Lynne Maher), bahwa “clearly specified strategic goals often enhance people’s creativity … Creativity thrives when managers let people decide how to climb a mountain. 

Rewards adalah faktor pembentuk budaya inovatif lainnya. Faktor ini menghendaki bahwa sekecil apapun upaya inovatif seseorang mestilah dihargai, meski hanya secara lisan dengan ucapak “terima kasih”, atau “luar biasa”, atau “sudah lama saya yakin bahwa anda bisa”, atau ucapan sejenis. Penghargaan juga bisa ditempuh dengan mengkaitkan inovasi staf dengan tujuan organisasi yang lebih besar, sehingga staf tersebut merasa memiliki arti penting bagi organisasinya. Seperti dikatakan Ann-Charlotte Norman (dalam Lynne Maher): “money incentives do not create energy for change: the energy comes from connecting to meaningful goals.” 

Hal yang tidak kalah penting adalah tools. Makna tools disini bukan sekedar alat atau instrumen kerja, namun lebih kepada media/wahana, proses, dan metode untuk pengembangan bakat-bakat inovasi melalui pelatihan, forum-forum diskusi, atau bentuk pengembangan kapasitas lainnya. Menurut Basadur (dalam Lynne Maher): “organizational roadblocks to creative thinking is lack of support for training on and application of innovation processes”. Dalam kaitan ini, sebuah organisasi yang kreatif dituntut untuk mampu menciptakan media/wahana, proses, dan metode baru untuk semakin menyuburkan budaya inovasi. 

Adapun relationship adalah faktor pembentuk budaya inovasi yang memiliki asumsi bahwa setiap orang memiliki sesuatu untuk dibagi, dan setiap mereka memiliki sesuatu untuk dipelajari. Untuk itu, harus ada iklim kerja atau interaksi yang terbuka, saling menghargai, dan saling percaya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk itu adalah dengan menambah frekuensi dialog, atau merotasi staf agar muncul efek cross fertilization, melakukan sebuah tugas/pekerjaan secara tim, mendudukkan yang yunior sebagai koordinator dalam sebuah teamwork, dan seterusnya. 

Satu hal yang pasti adalah bahwa membangun budaya inovasi atau budaya apapun (antri, tertib lalu lintas, membuang sampah, dan lain-lain), bukanlah pekerjaan sepele. Proses ini bisa membutuhkan waktu panjang hingga hitungan generasi. Namun jika tidak dilakukan sekarang, negeri ini akan semakin tertinggal dengan negara-negara lain dalam hal inovasi. LAN sendiri akan memulai dari hal-hal kecil dengan melakukan lomba inovasi internal seperti inovasi penataan ruang kerja, inovasi pelayanan melalui pembudayaan 3S (senyum, sapa, salam), inovasi pengelolaan kegiatan, dan sebagainya. Dalam perspektif kedepan, tradisi seperti ini akan terus direpikasikan di berbagai instansi sehingga menjadi kesadaran sekaligus kebutuhan yang melekat pada diri setiap pegawai dimanapun berada. Dari hal kecil seperti ini, diharapkan akan menjelma menjadi budaya inovasi bagi seluruh anak negeri. Semoga! 

Jakarta, 27 Maret 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar