Laman

Jumat, 07 Maret 2014

Teknik Berpikir Kreatif



Pada tulisan sebelumnya saya sudah menguraikan cara sederhana, unik, dan fun untuk merangsang kreativitas. Intinya, kreativitas itu adalah dunia kebebasan yang “tanpa batas”. Apapun boleh dan apapun mungkin dalam “disiplin ilmu” kreativitas. Sebab, kreativitas dan kebebasan adalah saudara kembar. Kebebasan haruslah melahirkan kreativitas, dan mustahil kreativitas lahir tanpa dilandasi oleh iklim dan jiwa merdeka. Maka, seorang yang kreatif biasanya adalah masuk kategori “pemakan segala” (omnivore). Artinya, orang kreatif selalu membuka diri terhadap berbagai hal yang belum dimengerti atau belum dikuasai. Mereka tidak alergi dengan ilmu filsafat, ekonomi, hukum, hingga matematik atau hubungan internasional. Mereka juga tertarik untuk mencoba pengalaman baru dari memanah, menggambar, memasak, meditasi, bahkan bermain sulap. Variasi dan kebaruan dalam pengalaman maupun pembelajaran diyakini akan mengasah indera-indera kreatif sehingga membuat pelakunya semakin kreatif.

Nah, kali ini saya akan menuliskan sisi lain kreativitas yang mungkin tidak sepenuhnya bebas merdeka. Ada kaidah dan tahapan tertentu yang harus diikuti untuk menjadi kreatif. Ini dia sisi kreativitas sebagai sebuah science. Sebagai ilmu, maka kreativitas bukan hanya harus dilakukan, tapi juga bisa dipelajari. Meskipun demikian, kaidah dan tahapan tadi tentu bukan tanpa kompromi. Sesuai hukum kreativitas yang penuh kebebasan, maka terhadap kaidah dan tahapan dalam teknik berpikir kreatif-pun juga dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan, gaya, tujuan, dan kehendak hati dari pelakunya.

Baik, mari kita mulai dari teknik pertama yang paling sering kita temukan dalam aktivitas sehari-hari, yakni brainstorming atau curah pendapat. Ide dasarnya sangat sederhana, bahwa banyak kepala akan selalu lebih baik dibanding satu kepala. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh setiap orang, tidak mungkin ia dapat berpikir secara sempurna. Seseorang yang merasa dapat berpikir dengan memperhatikan semua aspek lengkap dengan ide-ide inovatifnya, mampu menjangkau semua kemungkinan, dan bisa mengakomodasi aspirasi semua pihak, pastilah itu sebuah kesombongan jika bukan kebohongan. Dengan melakukan brainstorming, kita dapat menelorkan banyak ide dalam waktu relatif singkat dan cepat. Ide kita sendiripun seringkali berkembang setelah mendengarkan ide-ide dari orang lain. Artinya, ide-ide yang saling bertemu itu sesungguhnya berproses melakukan refinasi (refinement). Semakin banyak gagasan yang bisa digali dari peserta brainstorming, maka peluang mendapatkan ide yang lebih jernih dan bermutu akan semakin tinggi.

Pertanyaannya, bagaimana melakukan brainstorming itu? Prinsip dasar brainstorming sebenarnya sangatlah sederhana. Pada tahap awal, harus sudah ditetapkan issu pokok yang akan didiskusikan, yang didukung informasi terkait issu/masalah tersebut. Hal ini penting agar diskusi tidak terjebak menjadi wacana yang lebih berbasis pada asumsi-asumsi tanpa didukung oleh evidence empiris yang terukur. Selanjutnya, dilakukanlah idea generation dimana setiap peserta memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan pemikirannya. Pada tahap ini, tidak boleh ada yang merasa lebih benar, tidak boleh ada yang menyalahkan, tidak boleh ada penyimpulan atau penafsiran, dan tidak boleh ada interupsi. Setelah terkumpul banyak ide, barulah dilakukan penseleksian untuk menyaring berbagai ide itu menjadi alternatif solusi yang diyakini memiliki efektivitas untuk menyelesaikan masalah. Cara penyaringan ide ini bisa dilakukan misalnya dengan membuat klasifikasi atas dasar ide-ide yang serupa. Dari ide-ide yang sudah terklasifikasikan ini kemudian dilihat kelebihan dan kekurangannya, serta diberi pembobotan sehingga dapat diketahui alternatif mana yang memiliki advantages terbanyak dan disadvantages paling sedikit. Itulah yang akan dipilih sebagai opsi untuk direkomendasikan dalam menyelesaikan masalah bersama. Pada tahap ini, tinggal dipersiapkan berbagai hal terkait bagaimana rekomendasi tadi dapat dieksekusi.

Meskipun brainstorming merupakan salah satu cara berpikir kreatif, namun ada kekurangan dari metode ini, diantaranya memakan waktu relatif panjang, rendahnya efisiensi pengambilan keputusan karena harus mendengar pendapat semua orang, kemungkinan terjadinya kompromi sebagai dampak sikap terlalu mengakomodir gagasan dan harapan orang banyak, serta peluang dominasi seseorang atas orang lain dalam kelompok. Dengan mengetahui kelemahan ini, diharapkan peserta brainstorming dapat mencegah sejak dini inefisiensi yang mungkin terjadi selama proses diskusi berlangsung.

Teknik berikutnya dalam berpikir kreatif adalah analogi, yang secara sederhana bisa dimaknakan sebagai upaya mencari kesamaan atau kesesuaian kondisi, karakteristik, dan cara bekerja dari sesuatu hal, untuk diterapkan pada hal lainnya. Analogi yang menarik dapat disimak dari pengalaman John Vaught dari perusahaan Hewlett Packard. Pada tahun 1979, ia menemukan mesin printer yang dikenal dengan Thermal InkJet Technology. Ternyata, asal mula penemuan mesin itu amat sederhana, yakni terinspirasi oleh cara kerja mesin pembuat kopi otomatis. Konon, Motorola belajar dari Domino’s Pizza untuk mengurangi waktu produksinya, sementara Southwest Airlines belajar mengurangi waktu pemberhentian pesawatnya dengan melihat bagaimana tim balap mobil melakukan pit stop.

Teknik analogi ini sering disamaartikan dengan teknik metafora, yakni membuat perumpamaan atau mentransfer suatu kondisi kedalam kondisi yang lain. Membuat perumpamaan kehidupan sebagai panggung sandiwara, adalah contoh sebuah metafora. Atau, hasil scenario planning yang pernah dibuat untuk menggambarkan Indonesia 2010, yang salah satunya menyebutkan tentang “mengayuh biduk retak” (rowing the leaking boat) adalah juga metafora. Saya sendiri pernah membuat metafora antara karakter Rahwana atau Dasamuka dengan sistem kebijakan yang disusun tanpa pertimbangan rasional, tidak ada analisis cost-benefit atau resiko dari sebuah kebijakan. Sesuatu yang seharusnya diatur justru tidak dibuat aturannya, sementara sesuatu yang tidak perlu diatur justru dibahas secara serius. Kesepakatan antar pihak dalam perumusan kebijakan juga sering dikhianati oleh pihak tertentu. Kualitas kebijakan menjadi sangat rendah, sehingga hanya menguntungkan sedikit orang namun mengakibatkan protes banyak orang lainnya. Kemungkinan terjadinya policy failure sangat tinggi, sehingga kebijakan juga dengan sendirinya gagal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pelajaran dari ketiga contoh metafora itu adalah, jangan ragu-ragu untuk membuat perumpamaan antara satu hal dengan hal lain, meski terlihat bodoh, ekstrim, atau tidak masuk akal.

Variasi dari teknik brainstorming adalah sinektik (synectics), yang pertama kali diperkenalkan oleh William Gordon pada tahun 1961 lewat bukunya berjudul Synectics. Berbeda dengan brainstorming yang membiarkan para peserta mengeluarkan ide tanpa batasan yang jelas, synectics memberikan beberapa batasan sehingga terkesan lebih terstruktur. Namun sebagaimana teknik-teknik berpikir kreatif lainnya, sinektik mengajarkan untuk “mempercayai hal-hal asing dan mengasingkan hal-hal yang dipercayai.” Kita diajak untuk memanfaatkan analogi yang kelihatannya tidak berhubungan dengan masalah yang hendak diselesaikan, dan pada saat sama melupakan ide-ide konvensional yang biasa dipakai (It Pin Arifin, “Menggandakan Kekuatan Analogi Dengan Synectic”).

Dalam buku Gordon yang telah diringkas oleh Arifin dijelaskan bahwa struktur synectics bisa dilihat dari penentuan empat jenis analogi yang akan dipakai selama sesi pemecahan masalah, yakni personal analogy, direct analogy, symbolic analogy, dan fantasy analogy. Personal analogy meminta peserta mengidentifikasikan dirinya dengan bagian atau keseluruhan masalah atau solusinya. Direct analogy mencoba menyelesaikan masalah dengan mencari analogi langsung dari tempat lain, aplikasi lain, teknologi lain, pengetahuan lain, dan sebagainya. Symbolic analogy hampir sama dengan personal analogy, tetapi identifikasi dilakukan bukan dengan peserta, melainkan dengan objek lain. Fantasy analogy memperbolehkan peserta berkhayal sejauh-jauhnya untuk menyelesaikan masalah. Contohnya, sebuah kelompok yang terdiri dari 5 orang sedang berdiskusi bagaimana merancang semacam ritsleting untuk baju astronot. Penggunaan keempat analogi untuk kasus itu kurang lebih sebagai berikut:

·         Personal analogy: “Saya membayangkan menjadi seorang penyelamat pantai. Bayangkan badai besar di laut. Kapal terombang-ambing. Sebagai penyelamat pantai, saya berusaha menambatkan kapal dengan menggigit seutas tali tambang dan berenang mencari tambatan.”
·         Direct analogy: “Saya membayangkan ritsleting yang mirip dengan seekor serangga mekanik. Jika Anda menggunakan seekor laba-laba, dia bisa memintal sehelai benang dan menjahit kedua sisi agar tertutup.”
·         Symbolic analogy: “Kita bisa menjahit dengan baja.”
·         Fantasy analogy: “Saya membayangkan seorang jin yang bisa menutupnya untuk saya. Cukup sebutkan mantranya dan tertutup!”

Teknik selanjutnya yang ingin saya perkenalkan adalah Morfologi. Sangat boleh jadi, teknik ini mengadopsi pengertian morfologi dari disiplin linguistik, yakni cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Dengan pengertian seperti itu, kita dapat menerapkan teknik morfologis secara analogis dalam berbagai bidang. Intinya, kita ingin menghasilkan situasi baru, ide baru, konsep baru atau kebaruan dalam hal apapun, melalui perubahan dari situasi-situasi, ide-ide, dan konsep-konsep lain atau mencampuradukkan diantara mereka menjadi varian baru.

Untuk lebih mudahnya memahami teknik morfologi ini, langsung saja kita membuat contoh. Jika kita ingin bicara soal “diklat“ dan mencari model diklat baru yang lebih unik, misalnya, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan aspek-aspek atau dimensi “diklat” tersebut, misalnya menjadi tempat diklat, waktu diklat, peserta, metode, media, pengajar, dan seterusnya. Dari sini kemudian merinci lagi masing-masing aspek/dmensi kedalam kemungkinan jawaban atau atributnya. Dengan lima aspek diklat tadi, kurang lebih dapat dikembangkan kedalam atribut-atribut sebagai berikut:

·         Tempat diklat: kelas, rumah, kantor, alam terbuka, wilayah konflik, lokasi pengungsian, kantong kemiskinan, daerah rawan bencana, kantong-kantong kemiskinan, puncak gunung yang sepi.
·         Waktu diklat: pagi (06.00-12.00), siang (12.00-16.00), sore (16.00-18.00), malam (18.00-24.00), dini hari (01.00-03.00), fajar/subuh (03.00-06.00), bersamaan dengan jam kerja, diluar jam kerja, dalam hari kerja, musim liburan.
·         Peserta: pimpinan organisasi, pejabat tinggi dan menengah, para pejabat fungsional, pelaksana, tenaga kontrak, mitra organisasi, office boy, tenaga outsourcing, anggota keluarga pegawai.
·         Metode: ceramah (kuliah), tanya jawab, diskusi kelompok, simulasi (role play), praktek, studi kasus, story-telling, pro-kontra, visitasi, pembelajaran mandiri (self-learning), kontemplasi.
·         Media: bahan tayang powerpoint, film pendek, musik, papan tulis/flipchart, alat peraga.
·         Pengajar: Widyaiswara, pejabat fungsional selain Widyaiswara, pejabat struktural, pengusaha, politikus, LSM, masyarakat, orang asing.

Setelah seluruh atribut teridentifikasi, barulah dilakukan analisis dengan mengkombinasikan berbagai atribut tadi. Sebagai contoh, mungkin kita akan menghasilkan kombinasi berupa “Pimpinan organisasi mengikuti diklat pada waktu fajar/subuh melalui metode pembelajaran mandiri, bersama-sama dengan masyarakat di wilayah konflik”. Inilah ide kreatif yang bisa muncul dari teknik morfologis ini. Teknik ini sekaligus membuktikan bahwa berpikir kreatif itu “mudah” dan tidak membutuhkan kejeniusan seperti Einstein atau Habibie.

Jakarta, 7 Maret 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar