Laman

Rabu, 16 April 2014

Hambatan Inovasi dan Strategi Pengembangannya


Ada persepsi umum bahwa menghasilkan dan menjalankan inovasi adalah sebuah proses yang sulit. Kesulitan itu terkait dengan kendala atau hambatan dalam berinovasi. Dalam hal ini, Jamil Khatib dalam slide presentasinya berjudul Capacity Building: Barriers to Knowledge Adoption (2013) menyebutkan adanya empat kendala inovasi yakni: do not know, cannot do, not willing, dan not allowed. Sementara itu, Geoff Mulgan dan David Albury (Innovation in the Public Sector, London: 2003) mengemukakan adanya delapan penghambat untuk tumbuhnya inovasi sebagai berikut: 

1.      Reluctance to close down failing program or organization. Maknanya, sebuah program atau bahkan unit organisasi yang sudah jelas menunjukkan kegagalan akan lebih baik ditutup dan diganti dengan program atau unit baru yang lebih menjanjikan. Kegagalan memang hal yang lumrah dalam berinovasi, namun keengganan menghentikan kegagalan sama artinya dengan menutup peluang meraih perubahan yang lebih baik. Di sektor privat, menutup usaha usaha yang gagal atau menghentikan proyek yang merugi sudah cukup lumrah, namun pada sektor publik cenderung lebih sulit untuk melakukan hal tersebut, meski bukan hal yang mustahil.
2.      Over-reliance on high performers as source of innovation. Selama ini, ada kecenderungan bahwa perubahan atau inovasi hanya mungkin terjadi jika ada figur yang kuat dan memiliki konsistensi tinggi. Begitu figur tadi hilang, maka hilang pulalah segala inisiatif pembaharuan. Itulah sebabnya, ide-ide inovatif harus dapat diinstitusionalisasikan sehingga tidak tergantung pada ketokohan seseorang dan dapat dijamin keberlanjutannya.
3.      Technologies available but constraining cultural or organizational arrangement. Seringkali inovasi gagal bukan karena tidak adanya dukungan teknologi, namun lebih karena tradisi atau kebijakan organisasi yang tidak pro-inovasi. Persepsi bahwa perbedaan gagasan adalah bentuk ketidaktaatan pada pimpinan, misalnya, adalah contoh dari problema kultural yang sering ditemui dalam sebuah organisasi. Demikian pula, tiadanya sistem insentif bagi seorang pembaharu, atau kewajiban untuk mendapatkan persetujuan untuk sebuah inisiatif inovasi, adalah contoh dari kebijakan yang tidak berpihak dan tidak ramah pada inovasi.
4.      No rewards or incentives to innovate or adopt innovations. Penghargaan dalam rangka menumbuhkan motivasi pegawai untuk memberi yang terbaik bagi institusinya adalah sebuah kewajaran belaka. Maka, inovasi dan apresiasi sesungguhnya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Kemampuan berinovasi tidak dapat dianggap sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja atau kinerja normal, namun harus dipandang sebagai sesuatu yang istimewa sehingga layak diberikan penghargaan.
5.      Poor skills in active risk or change management. Bagaimanapun, aspek keterampilan memegang perang penting untuk keberhasilan inovasi. Sebesar apapun motivasi pegawai dan lingkungan yang kondusif namun tidak ditunjang oleh keterampilan yang memadai, maka tetap saja inovasi akan berhenti sebagai wacana.
6.      Short-term budget and planning horizons. Dukungan anggaran adalah sebuah keniscayaan untuk berinovasi. Pengalaman banyak negara maju yang menganggarkan dana penelitian dan inovasi hingga 3% dan GDP telah memberi bukti bahwa kemajuan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi adalah hasil dari investasi jangka panjang. Untuk itu, pengembangan inovasi baik dalam sakala organisasional maupun nasional haruslah direncanakan dengan baik bukan hanya dalam perspektif tahunan, namun juga perspektif jangka menengah dan panjang.
7.      Delivery pressures and administrative burdens. Di negara-negara eks-kolonial, aspek administratif sering menjadi kendala dalam pengelolaan urusan tertentu termasuk inovasi. Relasi antara negara dengan masyarakat atau antara pimpinan dengan pegawainya sering didasarkan pada basis ketidakpercayaan (distrust). Akibatnya, untuk sebuah urusan kecil saja (misalnya pelayanan perijinan) harus menyertakan persyaratan yang banyak, prosedur yang panjang, dan melibatkan aktor yang berlapis. Hal seperti ini menimbulkan tekanan bagi siapa saja yang berkepetingan dan menghilangkan hasrat untuk berinovasi.
8.      Culture of risk aversion. Ketidakberanian menanggung dampak dari sebuah pilihan adalah kendala psikologis sekaligus kultural untuk sebuah kemajuan. Resiko dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari bahkan dijauhi, bukan sesuatu yang justru memberi tantangan baru yang lebih berenergi sehingga harus dihadapi. 

Dari berbagai kendala baik yang dikemukakan oleh Khatib maupun Mulgan dan Albury diatas secara sederhana dapat ditemukan adanya 3 (tiga) variabel atau faktor kunci untuk kesuksesan inovasi, yaitu motivasi, keterampilan dan pengetahuan, serta lingkungan yang kondusif. Ketiga hal ini harus dilakukan secara simultan sebagai sebuah strategi menumbuhkan inovasi dalam sebuah organisasi. 

Mengenai aspek motivasi, peluang datangnya inovasi lebih dekat dengan pribadi-pribadi yang menyenangi tantangan dan perubahan, sekaligus menghindari zona nyaman yang melenakan. Adanya motivasi untuk berani menanggung resiko kegagalan atau resiko apapun dari inovasi yang digagas, akan sangat menentukan kelancaran dalam menjalankan inovasi. Mental not willing harus diubah menjadi willing to change, willing to innovate. Dalam hal ini, cara yang dapat ditempuh untuk membangun motivasi berinovasi antara lain dengan memberikan keteladanan (role model), membangkitkan inspirasi melalui pengenalan terhadap kasus-kasus inovasi yang telah membawa manfaat luar biasa, terus menjalin komunikasi secara intensif, serta pemberian insentif dalam bentuk apapun, misalnya pemberian beasiswa untuk tugas belajar ke luar negeri, penunjukan selaku koordinator tim untuk menemukan inovasi tertentu, dan sebagainya.  

Selanjutnya, inovasi yang berhasil juga menghendaki adanya sistem pengembangan kapasitas inovasi. Program inkubasi adalah salah satunya, disamping pelatihan-pelatihan dan pembimbingan untuk replikasi inovasi. Pemberian konsultasi dari pimpinan kepada pegawai yang memiliki gagasan inovasi, pengembangan jejaring inovasi agar dapat dilakukan pertukaran pengalaman antar pelaku inovasi, atau pertukaran ahli (expertise exchange), atau upgrading aplikasi teknologi, adalah opsi-opsi kebijakan yang dapat dipilih untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan berinovasi.  

Adapun dari faktor lingkungan (enabling environment), inovasi dapat dikembangkan melalui upaya terstruktur seperti penyediaan anggaran secara berkesinambungan, merevisi kebijakan yang menghambat lahirnya inisiatif inovasi, pemberlakuan sistem insentif bagi pegawai/unit yang dapat melakukan inovasi, menyediakan program-program training inovasi, menyiapkan SDM yang lebih tangguh, dan seterusnya. Dalam konteks ini, peran pemerintahlah yang lebih dituntut untuk merumuskan kebijakan yang kondusif dan pro-inovasi, tanpa menutup kemungkinan bagi lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan inovasi itu sendiri. 

Sebagai penutup saya ingin sedikit membandingkan sektor pemerintahan dengan sektor bisnis. Inovasi selama ini lebih berkembang di sektor swasta karena mereka mampu keluar dari berbagai jebakan yang menghambat inovasi. Private sector sudah berani mengatakan “Innovate or Die”, sedangkan sektor publik masih menempatkan inovasi di area yang sifatnya opsional, pilihan, atau fakultatif. Lembaga-lembaga publik tidak pernah merasa akan mati walaupun tidak memiliki inovasi sekecil apapun. Nah, mental block seperti inilah yang harus dikikis dan diruntuhkan. Tanpa inovasi mungkin memang instansi pemerintah tidak akan bmati atau dibubarkan, namun pasti akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, mulai detik ini pula harus ditanamkan dalam-dalam bahwa “tanpa inovasi, institusi publik menjadi tidak berarti”. Artinya, inovasi adalah harga mati, bukan hanya bagi kalangan swasta, namun juga untuk lembaga pemerintah pusat maupun daerah. 

Jakarta, 17 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar