Laman

Rabu, 16 April 2014

Inovasi Pemerintahan Daerah


Jajaran pemerintah daerah sudah layaknya bergembira dengan rencana revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam draft RUU Pemda muncul satu bab tersendiri tentang inovasi daerah. Selain berharap akan lahirnya ratusan bahkan ribuan inovasi, pengaturan inovasi dalam UU ini juga diharapkan dapat memberikan ketenangan bagi kepala daerah dan para pejabat daerah dalam menghasilkan kebijakan yang inovatif untuk percepatan pembangunan daerah dan perbaikan standar hidup masyarakat. Dengan dasar hukum yang semakin kuat ini, maka inovasi tidak lagi dipersepsi secara keliru sebagai penyimpangan dari aturan tertentu, serta tidak dipandang sebagai inisiatif pribadi seorang pimpinan daerah. Artinya, inovasi akan didorong menjadi kebutuhan (jika belum menjadi kewajiban) dan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Inilah alasan bagi saya pribadi untuk mengatakan bahwa gagasan pengaturan inovasi dalam RUU Pemda adalah sebuah langkah maju yang harus disambut positif dan didukung sepenuhnya. 

Sayangnya, masih ada beberapa pihak yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang kurang tepat, sebagaimana dikemukakan oleh Pokja Otonomi Daerah (koalisi enam LSM: KPPOD, Seknas Fitra, PSHK, Yappika, YIPD dan URDI) dalam policy brief mereka berjudul “Inovasi Daerah dan Tindakan Hukum terhadap Aparat Daerah”. Mereka berargumen bahwa peraturan pada hakekatnya adalah suatu upaya pembatasan. Oleh karena itu mendorong inovasi melalui aturan merupakan tindakan yang ironis. Bagi mereka, inovasi bisa didorong dengan menciptakan enabling environment termasuk memberikan insentif dan penyederhanaan peraturan yang terlalu kompleks yang dapat memberi ruang bagi kepala daerah untuk berkreasi. Dalam hal ini, kreatifitas aparat daerah untuk berinovasi dimungkinkan dengan adanya ruang bagi diskresi. 

Saya sepakat bahwa inovasi akan mengalir dengan deras dalam lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya kreativitas. Potensi kreativitas itu pada dasarnya ada pada setiap diri pejabat, sehingga tidak terlalu berlebihan untuk berharap setiap pejabat mampu berpikir, berbuat, dan mengambil keputusan secara kreatif dan inovatif pula. Namun faktanya, keberanian untuk berpikir out of the box atau beyond regulation, dan mengambil keputusan yang berbeda dari kebiasaan atau business unusual itu nyaris tidak pernah terjadi karena ketakutan bahwa hal itu akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan secara aturan. Dan ketika hal ini berlangsung dalam waktu yang panjang, maka muncullah kesesatan pendapat bahwa inovasi identik dengan pelanggaran aturan (baca tulisan saya berjudul “Kambing Hitam Bernama Inovasi”). Pada saat yang bersamaan, berkembang kekeliruan pandangan yang menyamakan inovasi dengan diskresi. Padahal, secara konseptual keduanya sangat berbeda (baca tulisan saya berjudul “Antara Diskresi dan Inovasi”).  

Dari argumentasi diatas terlihat bahwa miskinnya inovasi dalam pemerintahan daerah bukan karena ditutupnya ruang diskresi, melainkan lebih pada kekhawatiran melanggar aturan. Oleh karena itu, dalam hemat saya tidak diperlukan upaya untuk memperluas ruang-ruang diskresi, karena diskresi itu sudah melekat dalam setiap jabatan. Disamping itu, setiap jabatan juga sudah memiliki kewenangan formal yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan, sehingga perluasan diskresi hanya akan menimbulkan kesan tidak jelasnya kewenangan formal seorang pejabat. Yang lebih diperlukan justru adalah memberikan garansi kepada setiap pejabat bahwa inovasi yang dilakukan memiliki landasan hukum yang kuat. Sekali lagi, inilah urgensi dan nilai tambah yang ditawarkan oleh RUU Pemda dengan penambahan pasal-pasal inovasi. 

Saya juga tidak menangkap ada semangat pembatasan inovasi dalam RUU Pemda tersebut. Sebaliknya, dari klausul yang mengatur bahwa inovasi adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, terlihat nyata bahwa RUU ini memberi keleluasaan yang besar bagi pejabat daerah untuk melakukan berbagai inovasi. RUU ini juga inisiatif inovasi dapat berasal dari siapa saja, baik kepala daerah, anggota DPRD, individu aparatur daerah, ataupun perangkat daerah. Saya membayangkan, ketika RUU ini nantinya masuk tahap implementasi secara penuh, Indonesia akan berubah laksana kebun inovasi raksasa, dimana dari Sabang sampai Merauke akan tumbuh beragam inovasi. Jika selama ini Indonesia dijuluki sebagai zamrud yang bertebaran di bumi khatulistiwa, maka zamrud-zamrud itu adalah inovasi-inovasi yang digagas dan dilahirkan oleh anak-anak negeri. 

Sangat menggembirakan bahwasanya RUU Pemda ini juga memberikan apresiasi dan insentif bagi pemerintah daerah maupun pegawai dan SKPD yang melakukan inovasi. hal ini akan memberi motivasi besar bagi setiap daerah, SKPD, maupun pegawai untuk berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk daerah atau instansinya melalui inovasi yang tiada henti. Bahkan lebih hebat lagi, RUU ini memberikan perlindungan terhadap inisiatif inovasi yang “gagal”. Dalam salah satu pasalnya diatur bahwa “Dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemerintah daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparat daerah tidak dapat dipidana”. Mungkin klausul ini terlalu berlebihan dan dapat menjadi sumber masalah baru di kemudian hari. Paling tidak, ketentuan ini akan memunculkan banyak penafsiran (multiple interpretation) yang akan membawa para pihak kedalam perdebatan panjang yang kontra produktif. Meskipun saya sangat menghargai semangat RUU untuk memberi jaminan perlindungan hukum bagi pejabat yang melakukan inovasi, namun saya pribadi tidak mendukung upaya perlindungan harus dieksplisitkan seperti ini. Pada hakekatnya, hukum apapun dan dimanapun sudah memiliki tujuan perlindungan bagi setiap orang sepanjang tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran. Sebaliknya, siapa saja yang terbukti melakukan kesalahan dan pelanggaran maka tidak boleh ada yang melindunginya. 

Terlepas dari berbagai sisi positifnya, harus diakui adanya butir-butir dalam RUU Pemda ini yang berpotensi menghambat inovasi. Beberapa diantaranya adalah pasal atau ayat yang mensyaratkan usulan inovasi yang berasal dari anggota DPRD harus ditetapkan dalam rapat paripurna. Selanjutnya, keputusan sidang paripurna harus disampaikan kepada kepala daerah untuk dituangkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah sebagai inovasi daerah. Ketentuan seperti ini akan menggeser inovasi kearah komoditi politik karena harus dibahas oleh banyak fraksi di DPRD, dengan kemungkinan harus diputuskan berdasarkan suara terbanyak alias voting. Dengan proses yang panjang seperti itu, ide inovasi tidak segera menjadi sebuah aksi, namun akan terbenam dalam jebakan administrasi yang kaku dan jauh dari semangat inovasi.  

Selain itu, ada lagi klausul yang “lucu”, karena menegaskan bahwa dalam hal inovasi berasal dari individu, yang bersangkutan harus memperoleh izin tertulis dari pimpinan SKPD sebelum diangkat sebagai inovasi SKPD tersebut. Artinya, pimpinan SKPD memiliki “hak veto” untuk menyatakan sebuah inovasi boleh atau tidak boleh dilanjutkan. Inovasi menjadi begitu prosedural dan birokratis, serta sangat berorientasi pada pemegang kekuasaan tertinggi di sebuah instansi. Mungkin tidak akan menjadi masalah manakala pimpinan instansi juga memiliki spirit untuk berinovasi. Namun ketika mereka adalah orang-orang yang menyukai prinsip business as usual, mempertahankan kemapanan dan kenyamanan, serta enggan untuk berubah (resistance to change), maka dapat dipastikan inovasi akan mati suri. Pengaturan inovasi yang begitu bagus menjadi sia-sia gara-gara seorang pimpinan instansi tidak memberikan persetujuan. 

Dengan kata lain, masih terkesan adanya kontradiksi antara semangat mendorong inovasi secara kreatif dan dinamis dengan tradisi birokrasi lama yang kaku dan statis. Ibarat sebuah rumah, pintu-pintu dibuka lebar namun tetap saja penghuninya tidak bisa keluar karena pagar/gerbangnya masih terkunci rapat-rapat. Inilah yang bagi saya merupakan tantangan besar untuk menyempurnakan materi pengaturan RUU Pemda khusus yang mengenai inovasi daerah. Inilah momentum negeri ini untuk segera keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) sekaligus segera melakukan lompatan besar (quantum leap) menuju negara dengan kapasitas bersaing setara dengan negara-negara maju. Kalau tidak sekarang, kapan lagi negeri ini akan berbenah, Saya bahkan berharap, ketika RUU Pemda sudah berhasil mendorong inovasi bagi jajaran pemerintah daerah, akan ada aturan yang mewajibkan pemerintah pusat untuk melakukan inovasi yang jauh lebih strategis demi kemajuan Ibu Pertiwi. Semoga! 

Jakarta, 16 April 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar