Laman

Kamis, 22 Mei 2014

Inovasi dan Inpres Nomor 4/2014



Membicarakan inovasi dari perspektif penghematan anggaran dan pemotongan program adalah sesuatu yang mengasyikkan dibalik kegetiran. Asyik, karena inovasi itu bisa tumbuh dimanapun, bahkan di iklim tergersang atan tanah tertandus sekalipun. Bahkan banyak fakta bicara bahwa inovasi justru lebih subur dan berkembang di sebuah lingkungan yang serba sulit dan terbatas. Situasi kesulitan itulah yang menjadi pemantik ide-ide kreatif sebuah masyarakat. Sebagaimana dikatakan Peter F. Drucker, salah satu sumber inovasi itu adalah situasi incongruities, yakni situasi dimana ada dua tuntutan yang bertolak belakang. Sebagai contoh, disatu sisi kita dihadapkan pada sumber daya (termasuk anggaran) yang sangat minim, namun disisi lain organisasi dan bangsa kita membutuhkan inovasi yang lebih banyak, lebih cepat, lebih bervariasi, dan lebih berkualitas. Situasi seperti inilah yang justru sangat kondusif untuk bersemi dan bersemainya inovasi.

Dengan cara berpikir seperti ini, maka lahirnya Instruksi Presiden No. 4/2014 tentang Penghematan dan Pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014, boleh disambut dengan optimis bahwa minimnya anggaran tidak akan mempengaruhi secara negatif semangat menghasilkan banyak perubahan dan pembaharuan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi.

Untuk diketahui, dengan Inpres No. 4/2014 tadi pemerintah ingin melakukan penghematan sebesar Rp 100 triliun dengan memotong anggaran instansi di tingkat pusat (kecuali Bawaslu, KPU, dan Kemdikbud). Konsekuensinya jelas bahwa program kerja yang sudah direncanakan harus dibatalkan. Kalaupun bisa dilakukan, otomatis akan mengurangi volume kerja, mengurangi IKU (indikator kinerja utama), dan mengurangi output pekerjaan. Dengan pengurangan IKU, volume dan output pekerjaan tadi, maka logikanya pemerintah tidak bisa mencapai visinya. Ini berarti pula bahwa pemerintah relatif gagal memenuhi tugas dan kewajibannya. Bayangkan saja, ketika anggaran Kementerian PU dipotong sebesar Rp 22 triliun lebih, berapa infrastruktur yang semestinya dapat dinikmati oleh rakyat harus ditunda, untuk tidak mengatakan dibatalkan? Bayangkan pula, ketika anggaran Kementerian Pertahanan dipangkas lebih dari Rp 10 triliun, bagaimana bangsa ini bisa meremajakan teknologi militernya? Seorang teman berkelakar bahwa boleh jadi militer kita akan kembali mengandalkan senjata tradisional berupa bambu runcing dan ketapel untuk menjaga kedaulatan bangsa ini. Itu baru sedikit contoh dari situasi kritis yang dihadapi oleh setiap instansi yang mengalami nasib sama berupa pemotongan anggaran.

Itulah sebabnya, Inpres tadi juga membawa kegetiran yang cukup menyayat. Disaat negara-negara lain semakin memperbesar anggaran untuk penelitian dan inovasi, negara kita malah memangkas secara besar-besaran. Disaat negera lain sudah menghasilkan beraneka ragam inovasi, kita semakin banyak menggunakan inovasi mereka. Mimpi mewujudkan perekonomian Indonesia yang maju berbasis inovasi pada tahun 2025 sebagaimana dirumuskan oleh Komite Inovasi Nasional (KIN), nampaknya harus segera dikoreksi.

Faktanya, meski idealnya inovasi itu tidak tergantung pada besaran biaya, namun realita berbicara lain. Pemotongan anggaran yang berimplikasi pada pemotongan program kerja dan pemotongan IKU dan output program, secara faktual membuktikan korelasi tegak lurus antara anggaran dengan program dan output inovasi. Anggaran adalah “faktor produksi” yang memungkinkan pengolahan input menjadi output. Anggaran juga memberi keleluasaan bagi pengelolanya untuk menentukan strategi, mekanisme, maupun pemilihan metode untuk menghasilkan output tadi. Maka, tanpa adanya anggaran, faktor produksi menjadi berhenti. Kalaupun proses produksi tetap berjalan, pasti tidak akan seefektif jika didukung dengan anggaran yang memadai. Oleh sebab itu, pemerintah harus siap dengan “harga yang harus dibayar” dengan kebijakan berupa pemotongan tadi, yakni kemungkinan menurunnya kinerja instansi pemerintah.

Meskipun tidak bisa dihindarkan adanya pengaruh faktor anggaran terhadap program riset dan/atau inovasi, namun para pelaku riset dan inovasi harus tetap yakin bahwa innovation never die. Dalam kondisi sulit dan terjepit, inovasi harus semakin melangit. Mentalitas seperti inilah yang harus dimiliki oleh para innovator, sehingga kendala, hambatan, dan segala bentuk permasalahan tidak dipersepsi sebagai penghalang, melainkan sebagai pemacu untuk berinovasi. Hal ini tentu sangat berat, meskipun bukan sesuatu yang mustahil. Saya yakin bahwa motivasi untuk berinovasi dan motivasi untuk maju (needs for achievement) akan menjadikan segala bentuk rintangan terasa lebih ringan dan mudah dihadapi.

Jakarta, 22 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar