Laman

Selasa, 13 Mei 2014

Institusionalisasi Inovasi


Kalau selama ini orang Indonesia dikenal pandai membuat rencana namun tidak cukup pintar menjalankannya, saya khawatir suatu ketika akan ada atribut baru sebagai bangsa yang pandai mencari atau menemukan inovasi namun tidak cukup pintar untuk menjaga kesinambungannya. Kekhawatiran seperti inilah yang mendasari pemikiran saya tentang perlunya institusionalisasi inovasi. Maknanya, inovasi tidak cukup hanya dipikirkan, dilakukan, bahkan dilombakan. Inovasi baru benar-benar akan menjadi inovasi yang baik jika dikembangkan, disebarluaskan, dan dibiasakan menjadi tradisi dalam organisasi. Imovasi tidak lagi dipandang sebagai kewajiban melainkan kebutuhan bagi setiap instansi dan setiap orang. 

Terus terang, terlepas dari penafsiran dan pemaknaan yang berbeda tentang inovasi, saya merasa bahwa dewasa ini pemikiran dan praktek inovasi relatif sudah banyak dihasilkan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Para kepala daerah maupun pimpinan instansi sering meng-klaim telah melakukan program-program perubahan dan pembaharuan terkait dengan tugasnya masing-masing. Itulah sebabnya, menulis buku kompilasi tentang praktek-praktek inovasi di berbagai instansi tidaklah terlalu sulit. Lembaga-lembaga penyelenggara lomba inovasi seperti JPIP Jawa Pos, Kedeputian Pelayanan Publik Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, UKP3, Pemerintah Provinsi DKI, dan sebagainya, pun seperti kebanjiran pendaftaran dari berbagai penjuru tanah air. Boleh jadi diantara inisiatif yang diajukan sebagai inovasi tadi sesungguhnya bukanlah inovasi, dalam artian sebuah inisiatif perubahan yang mengandung unsur kebaruan (novelty), membawa dampak positif bagi organisasi, mampu mengurangi masalah yang dihadapi, dan tidak melanggar tata nilai atau aturan tertentu. Namun paling tidak, animo yang besar untuk mengikuti lomba inovasi sudah menjadi titik terang untuk mengembangkan inovasi itu sendiri. 

Sebagaimana kita saksikan bersama, pada tanggal 3 Desember 2013 yang lalu, Kementerian Dalam Negeri memberi penghargaan IGA (Innovative Government Award) kepada empat daerah pemenang yakni: Kabupaten Maros (kategori Tata Kelola Pemerintahan), Kabupaten Agam (Pelayanan Publik), Bupati Lamongan (Pemberdayaan Masyarakat), dan Bupati Bantaeng (Daya Saing Daerah). Selain keempat daerah itu, ada lagi delapan penerima penghargaan nominator unggulan IGA, yakni Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Badung, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Palu, dan Kabupaten Maluku Tengah. 

Demikian pula UKP4 telah merampungkan even dengan tema Kontes Inovasi Solusi yang pada tahun 2013 diikuti oleh  3.000 karya inovasi mulai dari masyarakat sipil hingga PNS se Indonesia. Pada bulan Januari 2014 yang lalu telah terpilih delapan pemenang. Pemberian award inovasi yang paling baru dilakukan oleh Pemprov DKI mengenai inovasi sosial dengan empat kategori yakni Public Service, Living Environment, Street-preneur, dan Cultural Harmony and Branding. Lomba yang disponsori oleh Indomaret dan bekerjasama dengan Surya University ini menampilkan finalis dari ITB, UGM, dan Untirta (Universitas Tirtayasa). Adapun program kompetisi inovasi yang masih berlangsung adalah kompetisi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB. Hingga saat ini sudah terpilih 33 besar inisiatif inovasi, dari 99 besar di tahap sebelumnya. Tentu saja, jumlah daerah atau unit kerja yang mengikuti lomba namun belum beruntung sebagai pemenang, jauh lebih banyak lagi.  

Nah, animo saja tidaklah cukup, sebagaimana kompetisi saja tidak cukup. Jika kita berhenti pada pemberian piala sebagai “babak final”, saya khawatir para peserta lomba akan merasa tujuannya telah tercapai sehingga “tugasnya pun telah selesai”. Apabila ini terjadi, maka tidak akan ada upaya lanjutan untuk menjaga inovasi tadi benar-benar menghasilkan manfaat terbesar, sekaligus menggagas inisiatif-inisiatif inovasi baru pada bidang tugas lainnya. Oleh karena itu, dalam perspektif kedepan perlu ada sebuah desain yang lebih sistematis untuk mendorong animo mengikuti lomba inovasi menjadi budaya inovasi yang lebih mengendap dan merasuk dalam sistem kerja sehari-hari. Berinovasi bukan lagi karena ada perlombaan atau karena sikap ingin mendapat publikasi secara luas, namun muncul sebagai sebuah kebiasaan yang melekat dan mendarahdaging dalam budaya kerja organisasi. Maka, jika lomba-lomba inovasi sekarang lebih menonjolkan pada inovasi apa yang dikerjakan, pada masa mendatang mungkin sekali akan berubah menjadi lomba tentang inovasi apa yang sudah terlembaga sebagai budaya kualitas dalam sebuah organisasi.  

Atas dasar pertimbangan seperti itulah saya meyakini bahwa institusionalisasi inovasi merupakan keharusan yang tidak boleh ditawar lagi. Sayangnya, hingga saat ini sepanjang pengetahuan saya belum ada satupun pedoman, hasil kajian, maupun arah kebijakan yang menjadi basis dilakukannya institusionalisasi inovasi ini. Untuk sekedar memberi pancingan dalam pengembangan lebih lanjut, saya menawarkan 6 (enam) upaya untuk memperkuat budaya inovasi dan budaya kualitas dalam rangka pelembagaan inovasi, yakni sebagai berikut: 

·         Mendorong budaya belajar dalam organisasi. Agar budaya belajat ini bisa tumbuh subur, maka program “wajib belajar” baik secara terstruktur maupun mandiri (self-learning) harus diberlakukan dalam setiap organisasi, forum-forum diskusi informal perlu diciptakan dan dijalankan secara rutin, kebebasan mengemukakan gagasan dan saling menghormati perbedaan harus ditumbuhkan, sementara kapasitas menulis dan presentasi perlu diperkuat.
·         Menciptakan iklim kompetisi yang sehat antar pegawai. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain pemilaian kinerja berdasarkan capaian prestasi individu, penetapan team leader dalam sebuah kegiatan berdasarkan seleksi atas kesiapan dan motivasi seseorang, penugasan khusus (misalnya ke luar negeri atau tugas belajar) atas dasar capaian kerja, pengangkatan dalam jabatan berdasarkan kompetensi substantif dan menggerakkan orang, dan seterusnya.
·         Menerapkan mekanisme insentif dan disinsentif. Dalam hal ini, perlu ada rule of the game yang obyektif tentang kriteria, mekanisme, dan instrumen dalam menetapkan pemberian insentif atau disinsentif bagi seorang pegawai. Kasus di Toyota mungkin perlu dicontoh, dimana seorang karyawan yang memiliki ide untuk kemajuan organisasi akan diberikan penghargaan. Untuk instansi publik di Indonesia, mungkin kasus-kasus kepedulian seseorang terhadap koleganya, atau “pengorbanan” waktu dengan datang lebih cepat dan pulang lebih lambat, atau ketekunan dan ketelitiannya dalam tugas harian, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai variable untuk pemberian penghargaan atau sebaliknya.
·         Memberi delegasi dan kebebasan yang lebih luas kepada staf. Seorang pimpinan tidak perlu lagi memberi arahan yang terlalu rinci dan membatasi kreativitas seorang pegawai. Pimpinan yang baik adalah yang berhasil mengkader bawahannya untuk menjadi calon pemimpin yang baik melalui pemberian tugas-tugas yang menantang, sambil terus memberi pendampingan (coaching) dan perkonsultasian.
·         Mengembangkan terus menerus kapasitas untuk berinovasi, misalnya melalui pelatihan.
·         Melakukan upaya cross fertilization antar best practices atau inisiatif inovasi, misalnya melalui kompetisi atau benchmarking. 

Semoga kesadaran akan arti penting institusionalisasi ini sama besarnya dengan semangat untuk merancang dan melakukan inovasi. Proses pelembagaan inovasi bagi pelaku atau pihak-pihak yang telah melakukan inovasi yang dibarengi dengan replikasi bagi pihak-pihak yang belum berinovasi, saya yakini akan menjadi strategi yang dahsyat untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi, sekaligus untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional membangun bangsa yang sejahtera, maju, adil, dan makmur. 

Jakarta, 13 Mei 2014
*pulang malam, seperti biasa. tetap bersyukur, seperti biasa*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar