Jika anda adalah rakyat
kebanyakan dan kebetulan sedang mempersiapkan pesta pernikahan anak gadis
satu-satunya yang sangat anda sayangi, pernahkah terpikirkan untuk mengundang
tamu istimewa seperti bupati, gubernur, menteri, atau bahkan presiden? Kalaupun
anda termasuk orang iseng yang berani mengirimkan undangan kepada mereka,
yakinkah anda bahwa mereka akan hadir? Dalam kasus lain, pernahkan anda melihat
seorang kepala daerah yang datang berempati menunjukkan sikap belasungkawa
kepada salah seorang rakyat yang ditinggal mati anggota keluarganya?
Para pejabat pemerintahan memang
biasa menghadiri acara pernikahan ataupun pemakaman seseorang, namun dapat
dipastikan bahwa itu dilakukan karena mereka saling mengenal. Nah, yang saya
bayangkan mereka melakukan bukan karena saling mengenal, melainkan karena
adanya relasi penguasa dan rakyat yang terbentuk diantara mereka. Konkritnya,
rakyat mengundang pejabat ke pesta pernikahan anaknya karena ia adalah pemimpin
bagi si rakyat tadi. Sebaliknya penguasa mendatangi rakyatnya yang kesusahan
karena mereka adalah rakyat yang menjadi tanggung jawab sang pemimpin. Maka,
seorang pejabat yang mendatangi rakyatnya untuk memberi bantuan, menyampaikan
simpati, atau turut merayakan kebahagiaan, adalah hal yang sangat lumrah,
bahkan begitulah semestinya konstruksi hubungan rakyat-penguasa dibangun. Dalam
situasi ekstrim, seorang pejabat harus rela mendonorkan darah untuk rakyatnya
yang sedang sangat membutuhkan, meski di tengah malam sekalipun.
Namun dalam dunia nyata, situasi
seperti itu tidak terjadi. Antara birokrasi dan rakyatnya terdapat jarak yang
nyata. Kepala daerah dan rakyat yang mestinya membentuk relasi layaknya orang
tua dengan anaknya, berubah menjadi hubungan kaku dan formal antara seseorang
dengan orang asing. Dalam situasi seperti itu, peristiwa membahagiakan atau
menyedihkan bagi seorang warga menjadi urusan diluar kepentingan sang penguasa.
Sayapun lantas bertanya dalam
hati, mungkinkah ada hubungan interpersonal yang lebih humanis antara rakyat dengan
penguasanya? Mungkinkah penguasa menempatkan rakyatnya sebagaimana anggota
keluarganya sehingga akan memperlakukannya seperti saudara sendiri? Bukankah
soal keadilan, obyektivitas, dan ketegasan tidak hanya berlaku untuk rakyat
jelata maupun orang yang tidak dikenal? Jadi, teori apa dan keberatan macam
apakah yang membenarkan sikap seorang pemimpin untuk tidak rela mengorbankan
diri sendiri demi kepentingan rakyat banyak? Secara teoretik, bukankah justru
seorang pemimpin dipilih untuk melayani segala kebutuhan dan kepentingan rakyat?
Lantas mengapa justru terkesan bahwa pejabat-lah yang memiliki hak untuk
dilayani, misalnya dengan disediakan mobil dan fasilitas serba mewah, dipayungi
oleh ajudan kemanapun pergi, dikawal petugas keamanan secara ketat, dan
sebagainya? Mengapa justru rakyat yang harus menaruh hormat, sedikit takut, dan
cenderung mengalah terhadap kepentingan penguasa?
Sayapun membayangkan tentang
konsep altruisme bagi birokrasi, dan ternyata saya temukan di website www.canadiancontent.net yang menyebutkan bahwa theory of altruistic government is the irrational belief that the
government will do what they promised to do because they were elected to do it
(Brent Jessop). Kebetulan, beberapa tahun lalu saya pernah menulis artikel
berjudul “Otonomi dan Altruisme Kepala
Daerah”. Dalam artikel tersebut saya menguraikan fenomena “manusia setengah
dewa” yang diperankan beberapa kepala daerah, misalnya dengan mempertahankan
hidup miskin dan tinggal di rumah mertuanya, menolak menggunakan APBD untuk
membiayai perjalanan dinasnya, memberikan gajinya untuk rakyat yang lebih
membutuhkan, dan seterusnya. Bahkan ada juga perilaku altruistik seorang bupati
dengan menyediakan ratusan amplop setiap harinya yang sewaktu-waktu diberikan
kepada siapapun yang dipandang berhak menerimanya. Saya hanya berharap bahwa
perilaku seperti ini dilandasi oleh niat tulus dan ikhlas, serta tidak ada
motif terselubung misalnya untuk mendapatkan dukungan suara pada pemilihan
bupati periode berikutnya. Disamping itu, saya juga hanya bisa berharap bahwa
perilaku obral dengan menyebar amplop itu bersumber dari dana pribadi yang
bersih dan tidak mengandung unsur penyimpangan administrasi keuangan.
Terlepas dari ada tidaknya motif
tertentu atau menyimpang tidaknya dari aturan, namun fakta bahwa altruism dapat
dikembangkan dalam sistem birokrasi kita adalah sebuah hal positif. Tinggal
dikawal agar perilaku altruistik tadi tidak mengandung muatan money politics atau hal-hal yang tidak
dibenarkan oleh peraturan penrudang-undangan. Bagi saya, perilaku altruistik
itu dapat dikemas secara formal/institusional dalam bentuk kebijakan yang
berpihak sepenuhnya kepada masyarakat, misalnya dengan menghapus pungutan yang
tidak diperlukan, mengurangi besaran pajak/retribusi yang harus ditanggung
rakyat, atau cara-cara lainnya. Berbagai bentuk subsidi kepada rakyat pada
hakekatnya juga manifestasi dari perilaku altruistik, namun harus dijamin bahwa
subsidi tadi tepat pada sasaran yang membutuhkan dan tidak diselewengkan untuk
kepentingan tertentu. Pada saat yang sama, altruisme secara individual perlu
diperkuat misalnya dengan menumbuhkan hubungan yang lebih berbasis informal dan
kekeluargaan.
Kisah-kisah kepemimpinan yang
ditunjukkan Rasulullah Muhammad SAW, para Khulafaur Rasyidin dan para Sahabat
bisa menjadi cermin bagaimana seorang pemimpin memiliki rasa sayang yang begitu
dalam terhadap rakyatnya. Merekapun bisa mencucurkan air mata melihat derita
rakyat, dan itu akan membuat mereka semakin serius mengabdi atau berhikmat
terhadap rakyatnya. Para pemimpin seperti itu sadar benar bahwa jangankah
umpatan dan caci maki rakyat, keluhan kecil atas kepemimpinannya-pun harus
dibayar dengan pertanggungjawaban di depan Sang Pencipta kelak di hari
pembalasan. Maka mereka tidak pernah bermain dengan kepemimpinan mereka, dan
mensedekahkan seluruh hidupnya untuk umatnya. Bukankah kita selalu terngiang
kisah dikala Nabi Muhammad menjelang sakaratul maut, beliau terus saja menyebut
umatnya? Inilah bentuk perilaku altruistik yang tertinggi. Suri tauldan telah
digoreskan dengan begitu indah, giliran para pemimpin jaman modern saat ini
untuk membuktikan bahwa merekapun layak disebut sebagai pemimpin yang
benar-benar pemimpin.
Mungkin sekali ada banyak pihak
yang menilai bahwa pemikiran saya ini bertentangan dengan mainstream yang berkembang dan terlanjur dianggap sebagai
kewajaran. Mungkin banyak pihak menilai bahwa tidak ada yang salah dengan fakta
bahwa pemimpin umat kurang menaruh kepedulian terhadap kondisi subyektif
warganya. Namun bagi saya, bukan seperti itu yang seharusnya terjadi. Artinya,
saya memang berpikir secara terbalik. Kebetulan sayapun sedang senang berpikir
serba terbalik setelah membaca buku-buku provokatif seperti tulisan Paul Arden
berjudul “Whatever You Think, Think
Differently”, atau tulisan Jules Goddard and Tony Eccles berjudul “Uncommon Sense, Common Nonsense”. Saya
merasakan bahwa dengan berpikir terbalik, saya bisa melihat sesuatu dari
perspektif yang berbeda, dan itu memberi “rasa” yang unique namun nikmat. Saya juga bisa merasakan bahwa berpikir
berbeda akan menjadikan ide-ide kita nampak lebih kritis, sehingga mampu
menghasilkan opsi-opsi yang lebih cerdas, terutama saat kita terlibat dalam
sebuah diskusi untuk menemukan strategi baru untuk organisasi kita.
Sayapun tidak peduli jika
pemikiran saya ini dianggap aneh dan tidak ada yang memperhitungkan, karena
pemikiran berbeda seringkali memang baru bisa diterima dalam jaman yang
berbeda. Kewajiban saya hanyalah menuangkan gagasan kedalam tulisan. Kalaupun
ide yang saya telorkan disamakan dengan kotoran yang dihasilkan sapi, sayapun
tidak peduli. Sekotor-kotornya kotoran sapi, bukankah baik untuk pupuk tanaman?
Siapa tahu tulisan-tulisan sayapun bisa menjadi pupuk, entah untuk siapa. Saya
akan mencoba untuk terus menulis hal-hal ganjil yang menggelitik benak saya.
Sungguh, ini adalah sebuah pengalaman yang begitu mengasyikkan, terkadang
bahkan membawa saya pada keadaan trance
atau masuk dalam situasi bawah sadar yang begitu khusyu; dan nikmat.
Aston City Hall, Medan, 10 Mei
2014, jam 00.45 wib.
*menuntaskan tulisan yang
tertunda sejak di executive lounge
bandara Soekarno-Hatta*
Luar bisa pak tri, hanya dgn waktu sesempit itu bisa menangkapkan dsn mengikatkan ilmu untuk orang banyak
BalasHapusSahminan Badiklat prov sumut
Hehehe ... ini berkat bapak juga yang mengundang saya ke Badan Diklat Sumut. Saya memang berusaha memanfaatkan waktu untuk menuangkan banyak ide yang semerawut dalam otak saya. Pikiran saya menjadi agak tertib jika ide-ide itu sudah saya "buang" dalam wujud tulisan. Terima kasih pak Sahminan ... (y)
BalasHapus