Laman

Minggu, 31 Agustus 2014

Arti Sebuah Kemasan



Don’t judge a book from its cover. Demikian pepatah yang sangat terkenal berisi nasihat untuk tidak melihat kepribadian dan kualitas seseorang dari penampilannya semata. Namun dalam konteks Thailand, pepatah seperti itu nampaknya sudah sangat usang. Kemasan, penampilan, dan cara penyajian justru menjadi cara ampuh untuk meyakinkan siapapun bahwa kualitas Thailand sama seperti yang terlihat. Itulah sebabnya, di Thailand kita bisa memberikan penilaian (judgement) hanya dengan mengamati apa yang terlihat di sekeliling kita (cover). Itulah kesan paling menonjol yang saya dapatkan dari negeri kerajaan yang terkenal dengan sebutan negeri gajah putih itu.

Ya, teknik mengemas sebuah produk atau jasa di Thailand merupakan daya tarik utama yang membuat seseorang mau mencoba sesuatu atau membeli sesuatu. Jika pedagang di berbagai negara pada umumnya langsung mempromosikan barang dagangannya, beberapa pengusaha Thailand justru sangat inovatif dengan mengajak pengunjungnya untuk mengetahui berbagai hal sekitar produk tersebut. Sebagai contoh, ketika rombongan kami mengunjungi Gems and Jewelry di Pattaya, saya berpikir bahwa kami akan langsung melihat aneka ragam permata dan perhiasan lainnya. Ternyata kami diarahkan kedalam sebuah gua gelap dengan mengendarai kereta bermuatan empat orang, mirip sekali dengan istana boneka di Dufan Ancol. Saya masih belum paham apa yang akan terjadi, hingga seorang petugas menekan tombol berbendera Merah Putih. Setelah tombol tersebut ditekan, barulah saya mengerti bahwa kami akan diajak tour melihat bagaimana batu-batu mulia digali hingga dibentuk menjadi cincin atau perhiasan lainnya. Sepanjang tour tersebut kami dibawa kedalam kehidupan bawah tanah untuk mengetahui bagaimana para penambang bekerja menemukan, membongkar, mengangkat, dan mengolah batu-batuan melalui teknik penambangan dan penggalian yang paling tradisional hingga teknik hidrologi.

Ketika kami keluar dari “gua” tersebut, lebih dari 10 anak-anak muda telah menunggu rombongan kami. Mereka adalah orang yang dididik secara khusus untuk melayani dengan menggunakan bahasa negara asal pengunjung tersebut. saya sungguh surprise dengan kemampuan berbahasa Indonesia mereka yang begitu sempurna sampai-sampai saya memastikan bahwa mereka memang bukan orang Indonesia. Kami dilayani dengan prinsip “satu pelanggan satu pelayan” (one costumer one servant), dan ini saya anggap sebagai sebuah terobosan besar dari pemilik toko permata tersebut dengan mempekerjakan begitu banyak orang untuk melayani tamu dari berbagai negara. Merekapun begitu professional saat menjelaskan bagaimana batu-batu mulia tadi dipecah menjadi kecil-kecil, dibentuk, digosok, dan seterusnya hingga dipajang di gallery.

Perlu saya tambahkan disini bahwa sepanjang perjalanan kami di “gua” itu, disela-sela penjelasan tentang proses dihasilkannya perhiasan tersebut, mereka juga menyisipkan pesan bahwa batu-batu permata tersebut adalah benda yang tidak ternilai harganya, yang sangat cocok dijadikan sebagai tanda cinta untuk orang-orang yang paling kita cintai. Meski saya paham bahwa pesan seperti ini adalah upaya menyentuh alam bawah sadar (subconscious mind) pengunjung, namun dengan kesadaran penuh saya membenarkannya, dan bahkan saya menjadi salah satu “korban” dari bagusnya cara mereka mengemas. Sebagai seorang yang awam tentang batu permata, sikap professional dan pelayanan prima yang mereka tunjukkan membuat saya tidak ragu-ragu untuk membeli sepotong cincin. Seumur hidup, baru kali inilah saya membeli cincin untuk orang yang paling saya cintai, karena pada saat menikahpun saya mempercayakan istri saya untuk membeli cincin pernikahan. Ini semua terjadi karena efek pengemasan yang luar biasa tadi. Pendeknya, mereka tidak meminta saya membeli, apalagi memaksa-maksa dengan menawarkan potongan harga, melainkan sayalah yang ingin membelinya. Bayangkan, berapa ratus orang yang bisa mereka pengaruhi dalam satu hari, sebagaimana mereka telah mempengaruhi saya.

Teknik promosi (mengemas dan menyajikan) yang sangat baik juga saya saksikan di sebuah toko madu. Rombongan kami tidak dibiarkan bebas melihat-lihat atau menawar, melainkan dimasukkan dalam sebuah ruang seperti meeting room, dimana disana sudah disiapkan gelas kecil berisi madu untuk seluruh rombongan. Selanjutnya, pemilik toko atau pegawainya memberi penjelasan tentang bagaimana madu, bee pollen, dan royal jelly dihasilkan dan diolah. Mereka juga menjelaskan dengan rinci tentang manfaat ketiga produk itu dan cara pemakaiannya. Satu hal yang pasti, presentasi itu diberikan dalam bahasa sesuai asal negara pengunjung. Tidak lupa pula mereka memberi sample bee polen dan royal jelly untuk kami cicipi secara langsung.

Mereka tidak berkata: “belilah produk kami, karena produk kami adalah produk nomor satu”, seperti lazimnya pedagang kecap berkata. Mereka cenderung menyampaikan pesan: “inilah kami dan produk kami, keputusan ada pada anda untuk membeli atau tidak”. Teknik komunikasi bisnis yang persuasif namun meyakinkan seperti inilah yang saya anggap inovatif dan jauh lebih efektif untuk menggaet pembeli baru dan mempertahankan pelanggan lama. Sebenarnya sayapun cukup terpengaruh dengan cara berjualan mereka ini. Hanya saja, saya menghindar membeli barang yang harus masuk bagasi pesawat, karena saya lebih nyaman dengan barang di kabin. Itulah sebabnya, saya mengurungkan niat untuk membeli madu. Bee pollen dan royal jelly saya memang tidak tertarik karena harganya yang terlalu mahal untuk ukuran saya.

Sedikit berbeda dengan kasus toko permata atau toko madu diatas, Thailand juga punya cara mengemas sesuatu secara spektakuler. Mereka menawarkan makan malam diatas kapal yang menyusuri Sungai Chao Phraya selama dua jam. Bagi saya, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan hal ini. Kapalnya terhitung kapal biasa dan jauh dari kelas kapal pesiar. Menu makanannya-pun sangat standar, tidak lebih baik dibanding makanan di sebuah resepsi pernikahan. Indonesia memiliki sungai-sungai besar yang jauh lebih banyak dan lebih eksotis. Yang membedakan adalah kemampuan mereka mengemas potensi, mengelolanya dengan baik, dan mempromosikannya dengan gencar. Mereka menyambut tamunya dengan dua pemain saxophone di pintu masuk kapal, setelah sebelumnya mereka sambut dengan tarian khas bartender dari atas kapal. Dan, master of ceremony sekaligus penyanyi diatas kapal mampu meyanyikan lagu-lagu dari seluruh negara asal pengunjung. Indonesia sebagai negara dengan tamu terbanyak mendapatkan kehormatan dengan jumlah-lagu-lagu yang didendangkan. Dari lagu Bujangan, Kemesraan, Cucakrowo, Kopi Dangdut, hingga lagu yang dipopulerkan oleh Caesar dengan goyang Caesar-nya, menjadi menu yang memeriahkan suasana malam itu. Disitulah pengunjung dari berbagai negara lebur menjadi satu, berjoged bersama dan saling menebar kebahagiaan. Maka, makan malam diatas kapal menjadi sebuah kemewahan dan momen yang istimewa. Rasanya belum ke Bangkok jika kita belum menikmati sungai terbesar di Thailand ini pada malam hari bersama ribuan pengunjung lainnya.

Sesungguhnya masih banyak lagi contoh-contoh bagaimana Thailand mengemas sesuatu yang sederhana dan memberikan nilai tambah yang sangat besar, sehingga produk yang sederhana tadi berubah menjelma menjadi produk baru yang berbeda. Sebagai contoh, ketan adalah sesuatu yang murah dan sederhana. Harga ketan-pun pada umunya sangat terjangkau karena mudah diperoleh dimana-mana. Namun, ketika ketan tadi dipadu dengan buah manga, durian, dan sedikit ditambah santan (teknik kombinasi dalam inovasi), maka berubahkan status ketan yang biasa nongkrong di pasar-pasar tradisonal menjadi sajian berkelas untuk tamu hotel atau peserta konferensi internasional.

Ternyata, kemasan bisa jauh lebih penting dari isinya, sepanjang kita bisa menembahkan nuansa inovasi didalamnya. Jangan pernah sepelekan persoalan kemasan. Kesan pertama terhadap seseorang, suatu bangsa, atau sebuah produk, selalu diawali dari penampilan atau kemasan. Jika kemasannya sudah tidak menarik, jangan pernah berharap orang akan penasaran untuk mengetahui atau menikmati isinya. Untuk itu, pemerintah dan para pelaku usaha di Indonesia harus mulai memberi perhatian serius untuk mengemas produk-produk unggulan, baik barang maupun jasa, sebaik dan semenarik mungkin. Benar bahwa a cover can’t tell everything inside the book, tetapi we can judge a book from its cover, indeed

Hotel Asia Bangkok, 31 Agustus 2014
*menjelang check-out dan kembali ke tanah air tercinta*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar