Laman

Kamis, 04 September 2014

Denda Sebagai Bentuk Inovasi Untuk Perubahan?

Segera setelah menjabat sebagai Kepala LAN, pak Agus Dwiyanto melakukan sebuah inisiatif yang unique dan original yakni melarang siapapun pegawai LAN memanggilnya “bapak Kepala LAN”. Beliau mengatakan bahwa orang tuanya memberikan nama kepadanya “Agus Dwiyanto”, sehingga dengan nama itu pulalah kami harus memanggilnya. Di awal-awal kebijaksanaan beliau tadi, saya dan beberapa teman lain merasa kikuk atau kagok, karena menyebut jabatan seseorang itu dalam budaya birokrasi selama ini sama artinya dengan menunjukkan rasa hormat dan menempatkan orang tadi pada proporsinya. Tidak ada yang salah atau berlebihan memanggil “bapak Menteri”, “bapak Deputi”, “bapak Direktur”, “bapak Karo”, dan seterusnya.

Rasa kikuk atau kagok tadi muncul karena ada perasaan takut bahwa memanggil nama asli akan terkesan menurunkan kewibawaan jabatan. Namun uniknya lagi, pak Agus Dwiyanto tidak pernah merasakan wibawanya merosot hanya karena stafnya memanggil beliau dengan nama aslinya. Bahkan beliau memberlakukan denda, bagi siapapun yang lupa dan tetap memanggil beliau dengan “bapak Kepala”, akan didenda Rp 50 ribu untuk sekali salah ucap. Waktu itu, terkumpul hampir Rp 4 juta rupiah, yang berarti ada sekitar 80 kali salah ucap dari para pegawai LAN.

Sekarang, setelah memanggil nama menjadi kebiasaan, justru menjadi kikuk atau kagok ketika kita masih memanggil dengan jabatan. Sekarang, tanpa perlu ada ancaman denda, tidak ada lagi pegawai yang keliru memanggil seseorang dengan jabatannya, apakah itu Kepala LAN, Sestama, Deputi, hingga Kepala Bagian. Artinya, “denda” tadi telah menjadi sarana berlangsungnya perubahan budaya kerja dalam organisasi. Tanpa sadar, tradisi kita memanggil orang dengan jabatannya selama ini telah melanggengkan budaya birokrasi patrimonial yang menempatkan pimpinan sebagai orang mulia yang tidak pernah salah, yang harus selalu diiyakan, serta berada di singgasana atau maqom yang terpisah dari para bawahannya. Budaya paternalistik tadi telah membentuk birokrasi menjadi ladang subur berkembangnya feodalisme yang anti demokrasi. Kesejajaran pimpinan-bawahan menjadi barang mahal, sementara diskriminasi dalam fasilitas dan hal-hal lain menjadi pemandangan biasa. Kreativitas dan inovasi staf menjadi mandeg, sementara kinerja organisasi juga stagnan karena segala sesuatu harus menunggu titah, dhawuh, instruksi, pentunjuk, dan arahan sang pemimpin.

Tentu, petunjuk atau instruksi itu masih tetap dibutuhkan bagi staf agar dapat menjalankan tugas sejalan dengan visi pimpinan. Namun ruang kebebasan yang dibuka lebih lebar dan pemberian kepercayaan yang lebih besar, akan mampu mendorong iklim kerja yang lebih sehat dan kompetitif. Saya pribadi memiliki pengalaman yang sangat berkesan soal “arahan” ini. Ketika saya menerima disposisi pak Agus untuk mewakili beliau memberi ceramah di Diklat Intelstrat BIN untuk materi Sistem Manajemen Nasional, saya merasa wajib memohon arahan beliau agar tidak salah arah. Ternyata, jawaban beliau sangat mengejutkan dan mencengangkan saya. Beliau menjawab melalui email sebagai berikut: “Mas Tri, dalam dunia ilmu pengetahuan tidak ada pimpinan karena pimpinan kita adalah akal sehat dan kekayaan pengetahuan kita sendiri. Jadi tidak perlu arahan, hehe … Sampaikan apa yang menurut mas Tri sebaiknya mereka fahami tentang Sistem Manajemen Nasional”. Meski beliau menyatakan tidak perlu arahan, tapi statement itu saya anggap sebagai “arahan”, yakni arahan yang memberi tantangan besar buat saya untuk tidak mengecewakan kepercayaan beliau. Dan alhamdulillah, hasil evaluasi penyelenggara atas performa saya menurut salah seorang petugas adalah memuaskan.

Dari sedikit uraian diatas dapat dilihat bahwa transformasi kultural dalam sebuah organisasi dapat dilakukan melalui pelepasan atribut-atribut jabatan (cq. nomenklatur jabatan), memberikan delegasi tugas dan kepercayaan yang lebih besar kepada bawahan, serta memperlakukan seseorang sebagai pegawai bukan sebagai pejabat agar terbongkar sekat-sekat komunikasi dan melahirkan suasana yang lebih egaliter. Nah, untuk mempercepat proses transformasi itu, penerapan sistem denda terbukti bisa sangat membantu. Mungkin ada sebagian pegawai yang “terpaksa” memanggil pimpinan dengan nama asli karena sayang harus membayar denda. Secara konseptual, denda memang sebuah bentuk “hukuman” untuk menimbulkan rasa malu, takut, dan jera dalam melakukan sesuatu. Namun secara perlahan, rasa malu dan takut tadi akan berubah menjadi kebutuhan. Pada saat sudah menjadi kebutuhan, yang muncul justru rasa malu jika kita masih saja memanggil pimpinan dengan jabatannya, bukan namanya.

Denda sebagai media transformasi budaya ini juga terjadi dalam banyak kasus, misalnya larangan membuang sampah secara sembarangan. Konon, Singapura bisa begitu bersih dan penduduknya disiplin untuk tidak membuang sampah dimana saja, juga didahului oleh sistem penerapan denda yang mahal dan cenderung memberatkan. Saat kebersihan itu sudah menjadi kebutuhan, maka menjadi aib yang sangat memalukan bagi seseorang yang berani membuang sampah di sembarang tempat.

Dengan dasar berpikir seperti iu, menjadi logis jika pemberlakukan kebijakan sering dibarengi dengan penerapan denda. Sebut saja di Banyuwangi, instansi yang tidak menyediakan ruang untuk menyusui dikenakan denda Rp 5 juta. Kebijakan yang nampak sepele ini memiliki reasoning yang sangat fundamental, yakni menciptakan generasi muda yang cerdas dengan menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif. Faktanya, banyak ibu-ibu yang bekerja terpaksa tidak bisa memberi ASI eksklusif itu baik karena alasan jarak yang jauh antara rumah dan temat bekerja, atau karena tidak adanya fasilitas khusus untuk ibu menyusui. Dengan tersedianya ruang khusus bagi ibu menyusui, berbagai alasan itu bisa dikurangi.

Masih di Jawa Timur, Kota Kediri memiliki kebijakan bagi para pria hidung belang yang tidak memakai kondom akan didenda Rp. 5 juta. Inipun kebijakan yang seperti “mencari-cari masalah”. Padahal, kalau diselami lebih jauh, kebijakan ini bertujuan mulia yakni agar tidak terjadi penyebaran / penularan penyakit seksual. Jadi, kebijakan ini bukan untuk melegalkan perzinahan atau prostitusi. Sambil dilakukan pembinaan bagi PSK dan penataan lokalisasi, pencegahan atas kemungkinan penularan penyakit seksual juga harus dilakukan, termasuk dengan ancaman denda agar memiliki kekuatan lebih besar melalui rasa takut, malu, dan jera.

Sementara di Jakarta yang terkenal dengan kemacetan parah, mengaggas kebijakan untuk menerapkan denda sebesar Rp 500 ribu bagi pengendara kendaraan yang parkir sembarangan. Perilaku asal berhenti seenaknya tanpa memikirkan pengguna jalan yang lain, adalah sebuah kebebalan yang akan diruntuhkan dengan sistem denda tersebut. Demikian pula, di lingkungan Monumen Nasional ada kebijakan untuk mengenakan denda sebesar Rp 200 ribu bagi pengunjung yang jajan sembarangan. Selain untuk menciptakan kebersihan, juga untuk mencegah maraknya PKL liar yang tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.

Selain itu, ada juga kebijkan di berbagai kota yang melarang merokok sembarang, dengan besaran denda bervariasi. Di Medan, misalnya, orang yang merokok bukan di tempat yang disediakan terancam denda sebesar Rp 10 juta. Kebijakan inipun tentu punya landasan filosofis yang jelas, misalnya untuk menciptakan lingkungan yang bersih bebas dari polusi, mencegah aneka ragam penyakit khususnya bagi perokok pasif, dan membersihkan wajah kota dari puntung-puntung rokok yang menjijikkan.

Di luar negeri lebih unik lagi. Di China ada larangan kencing sembarangan yang diancam dengan denda Rp 1 juta, sedangkan di Sydney ada kebijakan penerapan denda sebesar Rp 5 juta bagi orang yang memaki orang lain di tempat umum. Bahkan di Australia juga terjadi sebuah kasus dimana seorang dari perusahaan listrik dituntut denda sebesar Rp 600 juta karena mengetuk pintu warga yang ada peringatan berbunyi “Dilarang Mengetuk”.

Tanpa adanya denda tadi, maka tujuan sebuah kebijakan tidak akn tercapai maksimal. Tanpa denda tadi, sebuah perubahan sangat mungkin tidak akan terjadi, atau terjadi dengan sangat lambat. Dengan demikian, denda bisa menjadi pemantik perubahan, akselerator transformasi, dan media inovasi. Tentu saja, penetapan kebijakan tentang denda tidak boleh dilakukan secara asal-asalan dan tanpa tujuan yang jelas. Namun sepanjang output perubahan yang ingin diwujudkan konkrit dan terukut, maka penetapan denda tersebut menjadi sebuah inovasi yang sangat perlu ditiru untuk diterapkan pada konteks yang berbeda.


Jakarta, 5 September 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar