Laman

Senin, 25 Agustus 2014

Bandaraku, Kok Jadi Begini?



Sudah lama saya tidak masuk Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta, karena selama ini biasa bepergian dengan Garuda melalui Terminal 2F. Kali ini, dalam perjalanan ke Pangkal Pinang, pihak Badan Diklat Provinsi Bangka Belitung yang mengundang saya ternyata menyediakan tiket Lion Air. Tadinya saya berpikir, tidak jauh perbedaan pesawat Lion Air dibanding Garuda, sehingga sayapun berasumsi bahwa Terminal 1B tidak bakal jauh berbeda dengan Terminal 2F. Namun yang saya saksikan sungguh membuat sedih dan trenyuh, bagaimana mungkin negeri yang begini kaya raya, yang sudah 69 tahun merdeka, yang APBN-nya sudah menembus Rp 2.000 trilyun di tahun 2015, yang diramalkan banyak konsultan asing sebagai negeri dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-7 pada tahun 2030, namun bandara terbesar yang menjadi kebanggaan nasional ini begitu kumuh, kotor, jorok, berantakan, semerawut, dan kacau balau?

Kesan pertama memang sudah tidak menyenangkan ketika di luar pintu gerbang keberangkatan, penumpang sudah begitu berdesakan dengan gayanya masing-masing: merokok sembarangan, membuang sisa makan dan minum sembarangan, dan cenderung saling serobot di pintu masuk dan di pemeriksaan X-ray. Namun begitu masuk ruang tunggu (tepatnya B3), situasinya semakin tambah buruk. Manusia duduk-duduk di lantai dan sebagian tidur dengan gaya bebas mereka, asap rokok begitu tebal, punting rokok dan aneka sampah menjadi penghias lingkungan yang nampaknya tidak dirawat lagi. Saya langsung terbayang jembayang penyeberangan di Terminal Kampung Rambutan, rasanay tidak ada bedanya dengan Bandara Soekarno Hatta.

Mengapa bandaraku jadi begini? Kemana otoritas Angkasa Pura II selaku pengelola bandara? Kemana juga Kementerian Perhubungan? Apakah karena sudah menjadi domein Angkasa Pura, lantas mereka bisa cuci tangan, minum susu, dan tidur nyenyak? Pada saat bersamaan, bagaimana mungkin Lion Air selaku pengguna gedung dan seluruh fasilitasnya nampak asyik-asyik saja dengan pemandangan yang membuat ingin muntah itu? Mengapa rakyat Indonesia masih saja berperilaku barbar dengan berlaku seenaknya dan menunjukkan cara hidup primitifnya? Tidak sadarkah mereka bahwa perilaku jorok itu adalah cerminan budaya bangsa? Tegakah kita terus dikatakan sebagai bangsa kuli dan jongos? Bagaimana mungkin bandara ini akan berhasil melakukan transformasi dengan proyek raksasanya berupa Grand Design Soekarno-Hatta 2014? Terlalu banyak pertanyaan tak terjawab atas tidak rasionalnya kondisi bandara tercinta ini.

Pelayanan publik yang baik sedikitpun tidak nampak di bandara ini. Lebih-lebih, kotak pengaduan satupun tidak tersedia, sementara pejabat tinggi AP II nampaknya duduk manis di belakang mejanya masing-masing dan tidak mengetahui masalah besar di depan matanya. Saya membayangkan, jika saya ketemu mereka dan menanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, jawaban mereka pastilah sarana atau fasilitas yang tidak memadai, petugas kebersihan yang kurang, atau dana yang tidak mendukung. Alasan klasik seperti itulah yang selama ini membuat tidak ada inovasi di berbagai organisasi dan perusahaan yang meyakini bahwa kinerja organisasi itu hanya tergantung dari dukungan dana, jumlah karyawan, dan fasilitas yang lengkap. Jika semua sudah tersedia lengkap, untuk apa lagi ada jajaran direksi? Bukankah mereka diangkat justru untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang ada? Mengapa yang terjadi justru gejala prokrastinasi atau membiarkan masalah berlalu sampai selesai dengan sendirinya? Tidakkah mereka membaca berita koran tentang seorang Ignatius Jonan yang sampai tertidur di kursi kelas ekonomi karena turun langsung untuk mengetahui kinerja anak buahnya?

Sah-sah saja Lion Air meng-klaim sebagai low cost carrier dengan semboyannya yang berbunyi now every people can fly. Namun, apakah maskapai berbiaya rendah harus bermarkas di tempat kumuh? Standar penerbangan itu bagi saya tidak cukup hanya soal sistem keamanan pesawat  dan keselamatan penerbangan, melainkan juga seluruh rangkaian pelayanan semenjak pemesanan tiket hingga pelayanan bagasi saat kedatangan. Saya merasakan adanya degradasi pelayanan yang membuat penumpang di Terminal 1 menjadi penumpang kelas kambing, jauh dibanding mereka yang menggunakan jasa Terminal 2. Wajarlah jika banyak orang yang menghindar untuk naik Lion Air, mungkin bukan karena maskapainya, tetapi pelayanan terminalnya yang jauh dibawah kelayakan. Kalau tidak ingat bahwa keberangkatan saya ke Pangkal Pinang ini adalah dalam rangka memenuhi undangan pemerintah daerah setempat, ingin rasanya saya membatalkannya.

Entahlah dari mana harus memulai pembenahan Terminal 1 dan siapa yang harus mengawalinya. Minimal, lewat tulisan saya yang penuh kritik ini semoga dapat menjadi perangsang semua pihak untuk secara serius mereformasi pelayanan bandara dan mengkampanyekan gaya hidup yang lebih santun, tertib, dan modern bagi para penumpang. Semoga, suatu ketika nanti, ungkapan prihatin “bandaraku, kok jadi begini?, akan berupa menjadi ekspresi kekaguman “wow, bandaraku bukan yang dulu lagi”.

Jakarta, 25 Agustus 2014
*di terminal 1b bandara soeta, sudah cari tempat duduk, sekali duduk pantas kepanasan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar