Laman

Senin, 04 Agustus 2014

Inovasi Dalam Islam

Keterpaksaan itu ada kalanya banyak manfaatnya, seperti yang saya alami. Sepanjang umur, tidak pernah saya ceramah di masjid dengan mengusung tema agama. Namun ketika panitia ramadhan DKM Masjid Baitut Tarbiyah LAN meminta saya untuk memberikan “tausiyah”, saya menerimanya meski dengan “terpaksa”. Karena saya merasa bukan orang yang ahli agama, maka tema yang saya angkat adalah yang terkait dengan tugas saya, yakni tentang inovasi. Terus terang, bicara inovasi sudah amat terbiasa, namun inovasi dalam perspektif agama belum sekalipun saya lakukan. Itulah sebabnya, kesempatan tadi saya ambil sebagai “pemaksaan” terhadap diri saya pribadi untuk menggali issu dan kaidah inovasi menurut pandangan Islam. Dan ternyata, ruang-ruang inovasi yang bisa dikembangkan sesuai syariat Islam begitu luas, terlebih di tengah-tengah kehidupan sosial yang belum sepenuhnya mendasarkan pada ajaran agama.

Saya memulai “ceramah” saya dengan melempar statement bahwa sesungguhnya Allah-lah dzat yang Maha Kreatif lagi Maha Inovatif. Dengan mengutip Firman-Nya yang termaktub dalam surat Al-Hujurat: 13 yang diantaranya berbunyi: “Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa …”. Wujud penciptaaan Allah yang beragam baik dari warna kulit, raut muka, postur tubuh, hingga munculnya bahasa dan budaya yang beragam, telah menunjukkan betapa kreatifnya Sang Maha Pencipta. Inipun belum termasuk bagaimana manusia tadi dilengkapi dengan sistem kerja yang rumit dan teramat canggih, sehingga organ-organ tubuh bisa berfungsi dengan maksimal. Bahkan ketika salah satu organ kurang berfungsi karena penyakit tertentu, manusia tidak selamanya mengetahui bagaimana cara mengobatinya karena ilmu Allah yang tiada batas sementara pengetahuan manusia teramat sedikit. Lagi-lagi, hal itu membuktikan bahwa kreasi Allah begitu jauh dari jangkauan akal manusia modern sekalipun. Belum lagi jika kita lihat ciptaan Allah yang lain seperti trilyunan spesies makhluk hidup yang ada di udara, darat, laut, maupun di dalam bumi, serta kehidupan diluar planet bumi, lengkap dengan segala misterinya. Semuanya tadi adalah bukti nyata kreativitas yang terhampar di alam semesta. Intinya, sifat Maha Kreatif Allah SWT pastilah dimiliki juga oleh ciptaan-Nya meski dengan kadar yang auh berbeda, sebagaimana manusia juga memiliki sifat penyayang, pemaaf, dan lain-lain sifat Allah.

Dalam misteri penciptaan Ilahi itulah terkadung potensi triliunan inovasi bagi manusia yang mau berpikir. Tidaklah mengherankan jika dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang berbunyi: “Apakah mereka tidak berakal?”, “Supaya kamu menjadi berakal”, “Jika kamu berakal”, “Bagi kaum yang berakal”, “Apakah mereka tidak berpikir?”, “Supaya kalian berpikir”, “Supaya mereka berpikir”, dan “Bagi kaum yang berpikir”. Ayat-ayat seperti itu dalam penafsiran saya adalah ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Sebab, tidak ada inovasi tanpa proses berpikir kreatif, dan kreativitas berpikir akan selalu melahirkan inovasi-inovasi baru. Hanya karena keterbatasan kemampuan berpikir manusialah yang membuat misteri alam semesta belum bisa disibak, atau masih banyaknya penyakit yang belum ketemu obatnya, atau masih gagalnya manusia berkunjung ke Mars, dan seterusnya. Namun saya yakin bahwa itu semua (menemukan obat untuk penyakit langka, pergi ke planet lain, dan sebagainya) bukanlah kemustahilan. Pada saatnya, Allah pasti akan menurunkan ilmunya seiring dengan ikhtiar manusia yang makin meningkat untuk menyibak rahasia ilmu kehidupan.

Hal yang menyulitkan inovasi dalam Islam menurut saya adalah kekhawatiran terjebak sebagai bid’ah atau melakukan sesuatu yang tidak diajarkan. Bid’ah adalah sesuatu yang wajib dihindari, namun harus dibedakan dengan inovasi. Logika dalam ilmu administrasi, inovasi itu bisa terjebak dalam pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum adalah sesuatu yang wajib dihindari, sedangkan inovasi justru harus dikembangkan. Larangan bid’ah sendiri bisa disimak dari Hadits Rasulullah yang artinya: “Sesungguhnya sebenar-benar pembicaraan adalah Kitab Allah; sesungguhnya petunjuk yang paling mulia adalah petunjuk Nabi Muhammad; seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang dibuat (perkara agama yang tidak diajarkan). Padahal setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah suatu kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka(HR Muslim, an Nasai, Abu Daud, Abu Darami, Ibnu Majah & Imam Ahmad).

Hadits inilah yang ditarsirkan secara tidak tepat seolah-olah Islam mengharamkan inovasi. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu prinsip dasar inovasi dalam Islam, yakni bahwa dalam hal aqidah / ibadah, tidak boleh melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan; sedangkan dalam hal mu’amalah (hubungan hukum antar manusia), boleh melakukan apa saja kecuali yang dilarang. Nah, bid’ah ada di wilayah ibadah, sementara inovasi adalah wilayah mu’amalah, sehingga di lapangan ini terbuka ruang inovasi yang sangat luas.

Dalam bidang ibadah, menambah / mengurang / mengubah tata cara, rukun, syarat ibadah adalah bid’ah, sehingga tidak boleh berinovasi sedikitpun dalam hal seperti ini. Mungkin masih ada wilayah kebolehan (inovasi) dalam ibadah misalnya kreasi atas atribut ibadah, seperti perangkat shalat (mukena, sajadah, tasbih, dan lain-lain), namun tetap saja dengan prasyarat sepanjang tidak melanggar syara’ atau hukum Islam seperti menutup aurat, pakaian ihram, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam wilayah mu’amalah inovasi dapat dimaknakan sebagai aktualisasi ajaran agama dalam relasi sosial dan dalam karya cipta manusia secara kreatif, mengandung kebaruan, dan membawa manfaat untuk umat.

Dengan makna inovasi seperti itu, maka lahirnya bank syariah, pariwisata dan hotel syariah, pegadaian dan asuransi syariah, atau ojek syariah, adalah contoh inovasi yang konkrit dan memenuhi kriteria inovasi Islami sebagaimana disebut diatas. Mengapa demikian? Karena dengan menerapkan prinsip syariah tadi, maka perbankan dapat terhindar dari memakan riba, yang jelas-jelas dilarang oleh Al-Qur’an, salah satunya dalam surat Ali Imran: 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keuntungan”. Dengan prinsip syariah pula, hotel-hotel dan tempat wisata dapat mencegah terjadinya perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah, misalnya yang diperingatkan melalui surat Al-Israa’: 32, yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk; atau dalam Hadist Nabi yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum (khamar), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad). Bahkan ojeg yang memasang penghalang antara pengendara dengan pemboncengnya memiliki tujuan mulia agar tidak terjadi sentuhan diantara keduanya yang berlainan jenis. Sebab, Hadits Nabi SAW menegaskan bahwa: “Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR Ath-Thabrani).

Selain itu, praktek inovasi berupa asuransi syariah dan pegadaian syariah juga memiliki dasar agama yakni memenuhi perintah untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al-Ma’idah: 2). Dengan demikian, jangan sampai mu’amalah antar umat menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak namun menimbulkan kerugian di pihak lain. Prinsip win win solution atau mutual benefit harus menjadi spirit dalam setiap relasi sosial antar manusia.

Diluar praktek inovasi yang sesuai ajaran agama diatas, tentu masih terbuka potensi inovasi untuk dikembangkan lebih lanjut. Misalnya menciptakan bis khusus wanita, dengan mengadopsi kereta khusus wanita yang sudah dilakukan oleh PT. KAI. Inilah yang saya sebut sebagai sistem tranportasi berbasis syariah. Atau, menciptakan hukum positif tentang pemilihan umum (kepala daerah, legislatif, maupun presiden) yang melarang ghibah (membicarakan aib orang lain) ataupun menyebar fitnah. Jika kita amati Pilpres yang baru saja selesai, betapa gunjingan, hasutan, hingga fitnah menjadi menu sehari-hari para tim sukses kedua belah pihak. Padahal, agama secara tegas melarang perbuatan tercela itu sebagaimana tertulis dalam surat Al-Hujurat: 12, yang artinya: “Hai orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain, adakah diantara kamu yang suka memakan daging bangkai saudaranya? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. Praktek berpolitik yang sehat dengan bernafaskan nilai-nilai spiritual inilah yang saya sebut sebagai sistem politik berbasis syariah.

Dalam bidang kepegawaian-pun, peluang inovasi sesuai syariat Islam terbuka lebar. Salah satunya adalah dengan mengakomodir hak-hak umat Islam untuk i’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagai hak cuti, yang sederajat kedudukannya dengan hak cuti lain seperti cuti melahirkan, cuti alasan penting, cuti rutin tahunan, cuti besar, dan seterusnya. Argumennya adalah bahwa hukum positif hanya akan valid jika sesuai dengan keyakinan (agama) seseorang. Maknanya, hak (bahkan perintah) agama semestinya diakomodir menjadi regulasi negara. Sebaliknya, jika ada hukum negara yang bertentangan dengan hukum agama, maka hukum negara tersebut harus dianggap batal demi hukum. Sama kasusnya ketika hukum pernikahan dalam Islam diakomodir kedalam UU Perkawinan, sehingga perkawinan yang tidak sah menurut agama, sudah pasti juga tidak sah menurut hukum negara. Untuk itu, hak ibadah (cq. i’tikaf) semestinya juga segera disisipkan dalam skema regulasi bidang kepegawaian mendatang.

Kesimpulan saya, sebagai agama rahmatan lil ‘alaliin, Islam sangat sejalan dengan kebutuhan untuk berinovasi. Bahkan inovasi bisa dimaknakan lebih luas sebagai jihad atau perubahan dan perpindahan dari malas ke rajin, dari bodoh ke lebih pintar, dari cara kerja lamban menjadi lebih cepat dan gesit, dari pelit menjadi lebih dermawan, dari lingkungan yang kotor / jorok menjadi lebih bersih dan higienis, dari pola hidup tidak baik menjadi lebih baik, dari pemarah menjadi lebih sabar, dari banyak bicara menjadi banyak bekerja, dan seterusnya. Intinya, segala sesuatu yang menjadikan hari ini lebih baik dari kemaren, dan besok lebih baik dari hari ini, dapat dipastikan sebagai sebuah inovasi yang dikehendaki oleh Islam. Wallahu’alam bissawab.


Jakarta, 4 Agustus 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar