Laman

Minggu, 03 Agustus 2014

Diklatpim Pola Baru dan Inovasi Sektor Publik

Terhitung sejak tahun 2013, LAN memberlakukan kebijakan baru tentang Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) di seluruh tingkatan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Diklatpim Pola Baru. Saya tidak akan bercerita tentang latar belakang lahirnya kebijakan ini, atau desain program dan kurikulum diklat secara detil. Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan pemahaman-pemahaman baru yang saya temukan seiring berjalannya kebijakan tersebut, dan seiring pula dengan pendalaman saya terhadap konsep-konsep tentang inovasi sektor publik.

Jika hingga sampai saat ini saya mengambil kesimpulan bahwa Diklatpim Pola Baru adalah sebuah inovasi besar dalam sektor pemerintahan di Indonesia, khususnya terkait manajemen SDM aparaturnya, itu bukan karena saya adalah pegawai LAN semata. Jika saya menyimpulkan bahwa ada keterkaitan sangat kuat antara Diklatpim Pola Baru dengan inovasi sektor publik, bukan semata-mata karena ada agenda inovasi dalam struktur kurikulum Diklatpim tersebut. Kesimpulan seperti ini justru saya peroleh dalam perjalanan intelektual wajib saya selaku Deputi Inovasi untuk terus-menerus menggali pengetahuan tentang inovasi administrasi negara. Dalam perjalanan itulah saya kemudian menemukan banyaknya keterkaitan antara ide dasar pembaharuan Diklatpim dengan referensi teoretik maupun fenomena global.

Keterkaitan teoretik yang paling menonjol yang saya temukan adalah antara prinsip belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning) dalam Diklatpim dengan konsep collective genius yang diperkenalkan oleh Linda A. Hill, Greg Brandeau, Emily Truelove, dan Kent Lineback dalam buku mereka berjudul “Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation”. Sebagaimana disosialisasikan berulang kali bahwa salah satu prinsip dalam Diklatpim Pola Baru adalah mendorong berjalannya pembelajaran berbasis pengalaman antar peserta, bukan bersumber semata-mata dari nara sumber atau Widyaiswara. Asumsinya, setiap peserta telah memiliki pengalaman yang cukup banyak di bidangnya masing-masing, yang jika saling dikomunikasikan dengan peserta lain akan menjadi sumber belajar yang sangat bagus karena sudah teruji dalam realita dan di dukung dengan bukti-bukti (evidence) yang relatif terukur. Hal ini sangat berbeda dibanding paradigma diklat klasikal yang memandang peserta sebagai seseorang yang harus mengosongkan pikirannya untuk diisi dengan berbagai pengetahuan baru.

Dengan modal pengalaman tadi, bisa dibayangkan bahwa sebuah kelas diklat yang diisi oleh sekitar 30 orang adalah sebuah kelas yang sudah penuh dengan beragam pengalaman, bahkan sejak pertemuan pada hari pertama. Tidaklah berlebihan jika interaksi antar 30 orang yang sudah memiliki basis pengalaman tadi akan menghasilkan kecerdasan kolektif yang hebat. Artinya, diklat bukanlah sebuah ajang yang hanya didesain untuk pengembangan kapasitas individu per individu, namun juga membangun sebuah kapasitas kolektif antar peserta yang berasal dari instansi, jabatan, daerah, dan disiplin yang berbeda-beda. Demikian pula, ketika setiap peserta diwajibkan merencanakan dan melaksanakan sebuah inisiatif perubahan, apabila setiap peserta belajar dari peserta lain bagaimana mengelola dan memimpin sebuah perubahan, maka pada hakekatnya setiap peserta akan memiliki kemampuan menjalankan 30 perubahan. Disinilah nampak adanya proses pembelajaran timbal balik yang menghasilkan efek terbangunnya collective genius tadi. Ini jelas sebuah perbedaan besar yang dibawa oleh konsep Diklatpim Pola Baru.

Selanjutnya, tugas peserta diklat yang sudah dinyatakan kompeten sebagai pemimpin perubahan, adalah membangun collective genius di lingkungan kerjanya. Tidak seperti program diklat terdahulu dimana peserta dianggap menyelesaikan tugasnya seiring dengan penutupan program diklat. Dalam sistem diklat yang baru, seorang alumni diklat masih terus dituntut untuk mampu menghasilkan inovasi-inovasi dan perubahan baru yang berkelanjutan. Sebagaimana dikatakan pula oleh Linda A. Hill dkk, bahwa tugas seorang pemimpin adalah create organizations willing to innovate dan create organizations able to innovate. Hanya pemimpin yang inovatif yang mampu membangun tim inovatif dalam sebuah organisasi. Bahkan dalam buku tersebut ditegaskan bahwa inovasi itu adalah sebuah olahraga kelompok (team sport). Pendekatan formal dan otoritatif jelas tidak mampu menghasilkan kecerdasan kolektif. Itulah sebabnya, penulis buku ini menyatakan bahwa “Conventional leadership won't get you to innovation”.

Lagi-lagi, Diklatpim Pola Baru sejalan dengan semangat itu, dengan memperkenalkan konsep adaptive leadership. Seorang pemimpin yang adaptif, tidak hanya mengandalkan diri pada otoritas formal yang melekat pada jabatannya. Ia harus lebih mampu membangun “otoritas” informal dengan mengasah kompetensi komunikasi, persuasi, dan kolaborasi dengan seluruh stakeholder yang terkait dengan tugasnya. Hal ini menjadi sangat penting karena kreativitas dan inovasi akan tumbuh lebih subur dalam lingkungan kerja yang tidak formalistik dan birokratik. Pemimpin adaptif tidak mengandalkan pada instruksi pada bawahan, namun lebih pada upaya memberi apresiasi dan motivasi kepada stafnya, untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin adaptif tidak memandang jabatan sebagai privilege yang dinikmati sendiri, namun memberikan delegasi kepada orang yang tepat (delegation of power) sembari memberdayakan kapasitas mereka (empowering people). Dengan kata lain, adaptive leaders adalah juga mereka yang terus berusaha membangun kapasitas kepemimpinan di berbagai jenjang dan lini (shared leadership).

Selain keterkaitan secara substantif konseptual, Diklatpim Pola Baru juga memiliki keterkaitan dengan fenomena global, yang saya maksudkan dalam konteks kemampuan negara-negara di dunia untk melakukan inovasi. Sebagaimana tercermin dalam Global Innovation Index 2014, Indonesia menempati urutan ke-87 dari 132 negara yang disurvei dengan skor sebesar 31,81. Jika dibandingkan dengan GII 2013, Indonesia mengalami penurunan karena pada tahun lalu menempati urutan ke-85 dengan skor 31,95. Penurunan indeks inovasi ini mungkin disebabkan oleh proses inovasi yang sangat lambat di Indonesia, atau proses inovasi yang jauh lebih cepat di berbagai negara lain. Namun apapun faktor penyebabnya, data tersebut mengindikasikan lambatnya atau adanya pelambatan dalam inovasi sektor publik di Indonesia. Dan gagasan Diklatpim Pola Baru untuk menghasilkan sebanyak mungkin pemimpin transformasi adalah wujud dari kesungguhan untuk mendorong akselerasi inovasi secara serentak dari seluruh penjuru tanah air. Dengan kata lain, urgensi untuk menghasilkan pemimpin yang inovatif semakin tinggi dengan adanya fakta GII tersebut. Tidaklah mungkin hanya mengharapkan para pelaku bisnis atau kalangan industri untuk melakukan inovasi, sementara para pejabat pemerintah di pusat dan daerah tidak memiliki spirit inovasi. Keberadaan para pemimpin negri yang mampu mendongkrak inovasi justru semakin dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini, dan hal itu sudah dimulai dengan melakukan reformasi sistem diklat aparatur.

Dari uraian diatas dapat ditarik satu simpulan bahwa Diklatpim Pola Baru adalah sebuah leverage strategis untuk mempercepat inovasi di sektor publik, dan pada saat bersamaan Diklatpim Pola Baru adalah juga sebuah inovasi di sektor publik di Indonesia yang harus terus diinovasi agar fungsinya sebagai pengungkit inovasi tidak terperangkap dalam rutinitas penyelenggaraan diklat. Tanpa inovasi yang terus-menerus, maka Diklatpim Pola Baru sangat boleh jadi tidak akan berumur panjang dan akan kembali menjadi business as usual yang hanya dikejar untuk memenuhi syarat jabatan belaka.


Jakarta, 4 Agustus 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar