Laman

Kamis, 21 Agustus 2014

Small is Beautiful



E.F. Schumacher mengungkapkan sebuah semboyan yang sangat terkenal, yakni small is beautiful atau kecil itu cantik. Semboyan itu tertulis dalam bukungan berjudul “Small is Beautiful: Economics as if people Mattered” (HarperPerennial, 1989). Jika diaplikasikan dalam realita kehidupan saat ini, ungkapan tadi nampak sekali kebenarannya. Misalnya saja, kecenderungan semakin mengecilnya ukuran laptop atau handphone, namun dengan kemampuan yang lebih besar. Karena alasan keterbatasan lahan, rumah-rumah di perkotaan juga didesain minimalis, dan ini menjadi bisnis yang sangat menggiurkan di dunia properti. Bahkan gadis-gadis yang berbadan langsing, kecil, dan imut-imut juga banyak mendapat penggemar di kalangan remaja pria.

Dalam konteks inovasi, saya merasa ungkapan Schumacher itu sangat cocok. Artinya, inovasi itu tidak perlu besar-besar, kolosal, canggih, makro, atau muluk-muluk. Inovasi cukup kecil-kecil, inkremental, sederhana, atau mikro, namun nyata dan dapat dijalankan. Inovasi yang dapat diaplikasikan meskipun kecil, akan jauh lebih baik dibanding inovasi besar yang belum tentu dapat diterapkan sepenuhnya. Sesuatu yang kecil namun dapat dijalankan secara konsisten disertai perbaikan berkelanjutan, suatu ketika juga akan membawa manfaat besar yang tidak terduga.

Ketika berinteraksi dengan peserta Diklat Kepemimpinan di beberapa daerah, saya menangkap kesan banyaknya keraguan diantara mereka apakah gagasan yang mereka pikirkan adalah sebuah inovasi. Mereka seperti malu jika inisiatifnya dinilai tidak layak, terlalu sederhana, tidak konseptual, mencari yang gampang, atau malahan disebut bukan inovasi. namun dalam pandangan saya, justru yang mereka konsultasikan ke saya adalah sebuah ide kreatif yang unik, sehingga sayapun berani mengatakannya sebagai inovasi yang sangat bagus.

Contoh pertama saya ambil dari wilayah DIY. Di sebuah RS milik pemerintah daerah, sang direktur memiliki ide memasang gambar-gambar pemandangan di ruang perawatan. Pemandangan yang disajikan sendiri bukan sebuah lukisan abstrak, melainkan keindahan alam yang digali dari potensi daerah itu sendiri. Dengan demikian, ada fungsi promotif untuk memperkenalkan obyek-obeyk wisata kepada pasien. Dari survey yang dilakukan, ternyata gambar-gambar tersebut menimbulkan rasa nyaman bagi pasien maupun keluarga yang menunggu, sehingga mengurangi rasa jenuh dan stress. Tentu ini akan menjadi modal yang berharga untuk proses penyembuhan bagi pasien. Saya kemudian merespon, mengapa gambar-gambar itu hanya dipasang di ruang perawatan, dan tidak dipasang di ruang tunggu, ruang operasi, atau bahkan di tempat parkir? Jika alasannya tidak ada anggaran, justru itu menjadi pemicu untuk berinovasi. Mestinya, pihak RS ini bisa berkomunikasi dan meyakinkan Dinas Pariwisata setempat untuk menyediakan poster-poster untuk ditempel di RS. Dari pihak RS, ada beberapa manfaat yakni tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengadaan lukisan atau foto-foto, meningkatkan kenyamanan pasien, mengubah tampilan RS yang hanya dipenuhi dengan poster-poster terkait penyakit dan obat menjadi “wajah baru” yang lebih indah, serta turut mempromosikan potensi wisata daerah. Sementara bagi Dinas Pariwisata, beberapa manfaat yang dapat diperoleh diantaranya adalah adanya agen-agen yang berfungsi sebagai duta wisata, promosi yang terus-menerus tanpa harus menyelenggarakan event khusus promosi wisata, sekaligus menghemat biaya promosi juga. “Perkawinan” kepentingan antara RS dengan Dinas Pariwisata inilah yang saya maksudkan sebagai sebuah hal kecil yang inovatif.

Hal “kecil” yang lain yang indah jika dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan pekarangan di sekitar tempat tinggal kita. Selama ini kita saksikan begitu banyak lahan kosong yang sia-sia dan dibiarkan tidak produktif. Dahulu semasa jaman Presiden Soeharto, ada program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), dimana ibu-ibu di tingkat desa atau kelurahan bahkan hingga RT/RW, dibina untuk melakukan kegiatan-kegiatan soail, diantaranya mengembangkan tanaman obat. Konsep “apotek hidup” dan “warung hidup” sudah begitu lama tenggelam dibalik bermunculannya apotek-apotek dan warung-warung baru serta lunturnya kesadaran warga untuk mandiri dalam memproduksi tanaman obat maupun tanaman untuk konsumsi sehari-hari. Itulah sebabnya, jika ada instansi yang bisa melakukan relearn dengan membangkitkan kembali kesadaran warga untuk memanfaatkan sejengkal tanah untuk lebih produktif, itupun adalah sebuah inovasi “kecil” yang besar manfaatnya. Memberikan nilai tambah baru dari sesuatu yang kurang bernilai, adalah sebuah inovasi yang sangat penting.

Kasus menarik lainnya bisa kita simak di berbagai daerah, biasanya diluar Jawa, dimana pelayanan kependudukan (KTP, Akta Lahir, dan lain-lain) terkendala oleh kondisi geografis yang jauh dan sulit. Padahal, secara formal ditegaskan bahwa setiap warga negara harus memiliki KTP dan Akta Lahir. Keterlambatan untuk memperpanjang KTP dan tidak memiliki Akta Lahir, bahkan diancam dengan denda dan hukuman penjara. Namun faktor geografis tadi menjadikan pelayanan kependudukan menjadi tidak optimal. Untuk itu, gagasan untuk melakukan pelayanan “jemput bola”, misalnya dengan mengirimkan staf dari dinas terkait ke desa-desa terpencil secara reguler (misalnya sebulan sekali) adalah sebuah inovasi yang mampu menerobos hambatan yang ada. Dengan sistem seperti ini, warga tidak perlu jauh-jauh datang hanya untuk menyerahkan berkas, melengkap berkas jika kurang, atau mengambil hasil. Staf dari dinas-lah yang akan mengambil berkas, menyetorkan hasilnya jika sudah selesai, sekaligus memberikan penjelasan atau sosialisasi terkait pelayanan yang diberikan. Artinya, ini adalah sebuah terobosan yang akan menghasilkan efisiensi pelayanan sekaligus mendekatkan aparat pada rakyat yang harus dilayaninya, dan ini jelas sebuah inovasi yang mudah namun menawarkan keunggulan yang cukup banyak dan mampu menyelesaikan masalah secara konkrit.

Ada lagi contoh unik tentang meningkatnya gangguan keamanan di sebuah kampung/desa karena ketiadaan sistem pengamanan swakelola oleh warga. “Siskamling” yang dulu begitu ampuh untuk menangkal tindak kriminalitas, sekarang sudah digantikan oleh Satpam atau tenaga outsourcing. Keamanan menjadi public goods yang mulai dikomersialisasikan dan diukur nilainya berdasarkan gaji yang diberikan kepada petugas kemanan tersebut. Petugas keamanan yang merasa digaji kecil pun tidak memiliki sense of security dan sense of belongingness terhadap keamanan lingkungan. Akibatnya, kasus pencurian masih saja terjadi. Nah, dengan menghidupkan kembali siskamling “pola baru”, kasus kriminalitas bisa ditangkal dengan baik. “Pola baru” dalam siskamling ini misalnya ditempuh dengan memasang CCTV di beberapa titik yang disepakati oleh warga berdasarkan hasil musyawarah. Tentu, perangkat CCTV tersebut adalah hasil patungan atau iuran warga. Dengan adanya perangkat teknologi pengintai ini, bukan berarti kegiatan keliling kampung atau komplek perumahan ditiadakan, tetapi bisa mengurangi intensitas begadang, karena jadual ronda dapat digilir berdasarkan sesi/termin/shift yang juga disepakati bersama. Paling tidak, beberapa tugas sudah dapat diambil alih oleh CCTV sehingga meringankan bebas petugas.

Inovasi sederhana yang lain dapat dilakukan misalnya di lembaga pendidikan. Untuk menyampaikan pengumuman, secara tradisional dilakukan dengan memasang di dinding-dinding yang telah tersedia. Padahal, tidak setiap hari mahasiswa datang, sehingga ada kemungkinan mereka tidak memperoleh informasi. Untuk itu, pengumuman-pun bisa dibuat secara elektronik, misalnya dengan membuat SMS-group atau sistem hotline. Dengan begitu, penyampaian informasi bisa langsung diterima pada detik pengirimannya (real time). Selain menghemat biaya dan waktu, pola seperti ini akan meniadakan alasan bagi seorang mahasiswa untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu ada informasi penting.

Optimalisasi ruangan dengan memberi fungsi-fungsi baru, bisa juga dikatakan sebagai sebuah inovasi. Sebagai contoh, sebuah musholla yang biasanya hanya sebagai tempat sholat, namun kemudian diberdayakan juga untuk diskusi kelompok, bedah buku, atau bahkan untuk keperluan training. Tentu saja, hal itu dilakukan diluar waktu-waktu sholat. Atau, ruang tunggu tamu yang dilengkapi dengan fasilitas wi-fi, poster-poster edukatif dan informatif, layanan minum secara swalayan, serta layanan pengantaran oleh petugas yang secara khusus diberi tanggungjawab untuk itu, adalah juga hal “sepele” namun menimbulkan kesan berbeda.

Masih banyak lagi contoh-contoh inovasi kecil namun penuh arti. Hanya butuh kreativitas dalam berpikir untuk mendobrak rutinitas, membongkar kebiasaan lama, dan beralih kepada sesuatu yang lebih unik dan menarik. Berani berbeda, tidak takut ditertawakan orang, bersedia untuk terus mencoba, dan siap menanggalkan habit yang telah mengakar, adalah kata kunci untuk bisa menemukan kebaruan dalam hidup sehari-hari maupun menjalani aktivitas dalam organisasi.

Jakarta, 21 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar