Laman

Selasa, 09 September 2014

Tetaplah Berpikir Dalam Kotak



Cara “berpikir dalam kotak” selama ini telah menjadi tersangka atas rendahnya kreativitas dalam berpikir. Bahkan tidak jarang hal ini disamakan dengan berpikir dalam tempurung yang picik dan tidak terbuka atas realita yang ada diluar batok tempurungnya. Cara berpikir ini diyakini sebagai cara berpikir yang tidak akan melahirkan gagasan-gagasan inovatif, sehingga muncullah himbauan untuk meninggalkannya dan menggantikan dengan cara berpikir baru, yakni berpikir diluar kotak (outside the box thinking) dan yang terbaru adalah berpikir dengan kotak baru (thinking in a new box).

Ketika orang mulai terjangkit oleh demam berpikir diluar kotak atau berpikir dengan kotak baru, tiba-tiba lahirlah buku berjudul “Inside the Box: The Creative Method that Works for Everyone” karya Drew Boyd dan Jacob Goldenberg (London: Profile Books, 2014). Buku ini secara terang-terangan memberi pembelaan terhadap cara berpikir yang sudah dianggap usang tersebut. Dengan segenap argumentasi dan bukti berupa ragam inovasi yang lahir dari berbagai tokoh dunia, buku ini menandaskan bahwa cara berpikir dalam kotak-lah yang justru mampu melahirkan kreativitas dan inovasi besar. Dengan sangat percaya diri, Boyd dan Goldenberg bahkan menyatakan bahwa inovasi akan lebih banyak, lebih baik, dan lebih cepat dihasilkan jika kita bekerja dengan sesuatu yang sudah familiar, yakni “kotak” kita. Kotak itu oleh Boyd dan Goldenberg disebut sebagai “template”.

Saya termasuk orang yang terkejut dengan keberanian penulis buku ini melawan mainstream. Dan terdorong rasa penasaran untuk menyelami alasan penulis, maka saya langsung membeli buku tadi tanpa menawar harganya. Meskipun terkesan defense atau mempertahankan diri, namun saya melihatnya sebagai kemampuan penulis buku tadi melihat sesuatu secara berbeda. Ketika mayoritas orang sudah meninggalkan cara berpikir dalam kotak, ternyata penulis malah menganjurkan dengan begitu antusias. Ini tentu menarik sekali untuk dicermati. Dan setelah membaca buku tersebut, dalam beberapa hal sayapun membenarkan bahwa berpikir dalam kotak tetap dapat merangsang kreativitas dan inovasi. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa cara berpikir lain tidak cukup ampuh untuk melahirkan perbedaan dan keunikan. Bagi saya, ketiga teknik berpikir kreatif ini dapat digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai kecocokan orang yang akan menggunakannya. Ini hanyalah alat atau teknik saja, bukan tujuan. Tujuan dari berpikir kreatif sendiri adalah melahirkan ide-ide baru yang khas dan menghasilkan efek mengejutkan bagi orang lain. Ketika orang lain memberi ekspresi “wow”, mengatakan “kok bisa ya?”, ataupun “mengapa tidak terpikirkan oleh saya?”, maka itu tandanya bahwa pemikiran kreatif kita telah mencapai hasilnya.

Kembali kepada buku tadi, fakta apa sesungguhnya yang mengantarkan penulisnya sampai pada kesimpulan bahwa berpikir dalam kotak merupakan teknik berpikir kreatif yang bisa digunakan semua orang?

Pada tahun 1999, sekelompok peneliti mengkaji ratusan produk yang sangat sukses untuk mengetahui apa yang membuat produk-produk tadi berbeda dibanding produk lainnya. Pada awalnya banyak yang berpikir bahwa produk yang baru dan inovatif akan menunjukkan perbedaan dibanding produk lainnya. Akan tetapi, hasil temuan mereka menunjukkan bahwa produk-produk inovatif tersebut memiliki pola-pola yang serupa, yang dapat dibentuk menjadi sebuah template. Template inilah yang mengarahkan cara berpikir kita dan mengkanalisasi proses berpikir kreatif dengan cara-cara yang membuat kita semakin kreatif. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mayoritas produk yang baru, inventif, dan sukses di pasaran adalah hasil dari 5 (lima) jenis template, yakni pengurangan (subtraction), pembagian (division), pengalian (multiplication), penggabungan tugas/fungsi (task unification), dan ketergantungan atribut (attribute dependency).

Philips Electronics adalah contoh perusahaan yang menggunakan teknik subtraction untuk menelorkan inovasi, diantaranya dengan mengubah DVD player model lama yang memiliki begitu banyak tombol menjadi DVD yang dioperasikan melalui remote control dengan tombol minimalis. Bentuk utilisasi lain teknik ini misalnya headphone dengan pelutup telinga berukuran besar digantikan dengan ear-buds yang berukuran jauh lebih kecil. Dengan alat bantu pendengaran mini ini, bahkan berbicara lewat hand-phone tidak perlu lagi memegang gadget (hands-free). Sementara teknik division adalah teknik memecah/memisah produk dan meletakkannya di tempat tertentu sesuai kebutuhan. Jika AC pada umumnya menempel pada tembok, maka ide AC portable yang dapat dipindah-pindah adalah wujud kreativitas berdasarkan teknik pembagian ini. Printer komputer yang terpisah dari tinta atau cartridge-nya adalah juga contoh sederhana dari teknik ini.

Selanjutnya, teknik multiplication bisa adalah menyalin (copy) sesuatu dan mengubah sedikit sesuai keperluan. Pemasangan roda kecil pada sepeda anak yang baru belajar bersepeda, adalah contoh teknik multiplikasi ini. TV yang bisa menampilkan dua layar sekaligus dengan ukuran berbeda adalah juga contoh sesuatu bisa diduplikasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Adapun teknik task unification antara lain digunakan oleh Samsonite, perusahaan tas ransel terkemuka. Ransel pada umumnya membuat pemakainya sakit punggung atau leher karena beban yang berat. Menyadari kelemahan ini, Samsonite menciptakan strap (pengait di pundak) yang empuk, dan menekan pada titik shiatsu untuk menimbulkan sensasi pijat. Semakin berat beban di dalam ransel, maka semakin dalam sensasi yang diperoleh pemanggulnya. Selain itu, teknik unifikasi fungsi juga telah dipraktekkan misalnya pada kaos kaki Odor-Eaters yang memberi rasa hangat sekaligus aroma harum pada kaos kaki tersebut. Ada juga produk pelembab wajah yang diberi fungsi tambahan sebagai pelindung matahari. Banyaknya taksi dan bus kota yang memasang iklan pada body kendaraan adalah juga cerminan dari teknik task unification.

Teknik yang terakhir, attribute dependency, adalah teknik melakukan perubahan produk sesuai dengan perubahan keadaan atau kebutuhan tertentu. Wiper mobil yang dibuat dengan kecepatan yang berbeda sesuai dengan lebatnya hujan, atau volume radio/TV yang bisa dinaik-turunkan sesuai tingkat kebisingan lingkungan atau selera pendengarnya, adalah sebuah inovasi yang menyediakan pilihan situasional bagi penggunanya.

Mengapa penggunaan template penting untuk melahirkan inovasi? Dalam kehidupan sehari-hari, template itu kita kenal sebagai kebiasaan (habit). Kebiasaan inilah yang berfungsi untuk memudahkan hidup kita dengan cara memacu pemikiran dan aksi familiar dalam merespon sebuah informasi atau situasi. Dengan kata lain, otak kita bekerja memproses informasi dengan cara mengorganisasikannya dalam kebiasaan yang sudah dikuasai. Kita memiliki kebiasaan atau tabiat harian seperti seperti bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, dan seterusnya. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidak diperlukan usaha yang besar untuk melakukannya lagi dan lagi.

Uniknya, Boyd dan Goldenberg berargumen bahwa kebiasaan tertentu dapat menuntun kita pada hasil yang tidak biasa, bahkan mengejutkan. Mereka mengatakan: “The most highly creative humans use template to produce extraordinary results”. Mereka memberi contoh bagaimana Paul McCartney dan John Lennon, anggota The Beatles, menghasilkan ratusan lagu abadi sepanjang masa dan menjadi hits dalam tangga-tangga lagu dunia. Dari biografi Paul McCartney terungkap bahwa John Lennon selalu menulis bait pertama, dan itu selalu cukup. Bagi McCartney, itu adalah sebuah direction dan inspirasi untuk seluruh lagu yang akan diciptakan. Terhadap kebiasaan ini, McCartney menulis: “I hate the word, but it was the template”. Nah, atas dasar template itulah kemudian The Beatles menjelma menjadi grup band legendaris yang sangat fenomenal. Bagi Boyd dan Goldenberg, untuk menjadi inovatif, tidak perlu menunggu inspirasi atau datangnya ide-ide brilian, karena hal itu bisa menimbulkan ketergantungan untuk memulai sesuatu.

Pertanyaan yang menggelitik yang diajukan sendiri oleh Boyd dan Goldenberg adalah, mengapa seseorang enggan menggunakan template? Menurut Boyd dan Goldenberg, setiap orang kreatif sejatinya menggunakannya, hanya saja mereka tidak menyadarinya atau khawatir template-nya akan dicuri oleh orang lain. Selain itu, dengan penggunaan template seolah-olah akan mengurangi kreativitas seseorang, namun hal ini dibantah keras oleh Boyd dan Goldenberg bahwa tidak ada satupun yang akan berkurang dengan menggunakan template. Mereka memberi contoh seorang arsitek Amerika yang terkenal, Frank Lloyd Wright, yang membangun rumah spektakuler bernama Fallingwater. Rumah itu sepenuhnya memanfaatkan batu, arus air, maupun komponen lain dari sekitar rumah yang dibangunnya, karena dia merasa tidak perlu mencari ide dan bahan dari luar lingkungannya (simbol tidak perlu berpikir diluar kotak).

Saya punya sedikit kritik atas pandangan Boyd dan Goldenberg. Mungkin benar bahwa template atau berpikir dalam kotak akan memudahkan seseorang untuk menghasilkan karya-karya baru. Namun karya-karya itu mungkin lebih tepat disebut sebagai produktivitas dibanding inovasi. Ratusan lagu The Beatles jelas sebuah produktivitas yang luar biasa, namun warna lagu (genre) relatif sama, yakni termasuk kategori slow/soft music. Dengan kata lain, karena cara membuatnya sama, maka hasilnya relatif sama, meskipun jumlahnya bisa sangat banyak. Lain halnya jika lagu-lagu itu dikombinasi dengan nuansa etnis tertentu, misalnya Afrika, Latin, atau Bali, sehingga menghasilkan corak lagu yang berbeda, maka itu adalah sebuah kreativitas dan inovasi baru. Sayapun agak meragukan bahwa dengan menggunakan template yang sama terus-menerus dapat menghasilkan produk yang berbeda-beda dan inovatif. Sebagaimana dikatakan oleh Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over again but expecting different result” (melakukan sesuatu yang sama terus-menerus namun mengharapkan hasil berbeda adalah sebuah kegilaan).

Meskipun saya belum sepenuhnya bisa menerima ide bahwa “berpikir dalam kotak” lebih kreatif dibanding “berpikir diluar kotak” atau “berpikir dengan kotak baru”, tetap saja saya mendukung untuk digunakannya segala macam kotak untuk menghasilkan kreativitas sebanyak dan sehebat mungkin. Saya juga sangat mengapresiasi provokasi Boyd dan Goldenberg untuk kembali ke cara berpikir paling “tradisional” ini. Sebab, dibalik beberapa hal yang bagi saya belum cukup rasional, mereka berdua menantang siapapun untuk berani berpikir lebih keras dan lebih kreatif. Contohnya, mereka menyatakan bahwa brainstorming (curah pendapat) hanya akan menghasilkan ide-ide yang lebih sedikit dan berkualitas lebih rendah. Padahal, selama ini kita yakini bahwa brainstorming merupakan salah satu teknik berpikir kreatif yang dapat menghasilkan banyak ide-ide kreatif. Selain itu, mereka juga menantang pandangan banyak orang bahwa cara berinovasi adalah dengan memulai mendefinisikan permasalahan secara baik, dan kemudian menawarkan alternatif solusinya. Boyd dan Goldenberg justru memulai dengan solusi yang abstrak dan konseptual, baru kembali kepada masalah yang akan dipecahkan. Cara-cara berpikir terbalik yang ditunjukkan oleh kedua orang tadi bagi saya sama artinya bahwa mereka sedang berpikir dengan kota baru, bukan kotak yang sudah eksis dan mereka miliki sebelumnya.

Atas dasar itulah, saya tetap merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini. Ternyata, begitu banyak cara berpikir yang bisa dipilih untuk membantu memproduksi kreativitas.

Jakarta, 9 September 2014
*veteran-serpong-pejompongan-serpong*

1 komentar: