Cara
“berpikir dalam kotak” selama ini telah menjadi tersangka atas rendahnya
kreativitas dalam berpikir. Bahkan tidak jarang hal ini disamakan dengan
berpikir dalam tempurung yang picik dan tidak terbuka atas realita yang ada diluar
batok tempurungnya. Cara berpikir ini diyakini sebagai cara berpikir yang tidak
akan melahirkan gagasan-gagasan inovatif, sehingga muncullah himbauan untuk
meninggalkannya dan menggantikan dengan cara berpikir baru, yakni berpikir
diluar kotak (outside the box thinking)
dan yang terbaru adalah berpikir dengan kotak baru (thinking in a new box).
Ketika
orang mulai terjangkit oleh demam berpikir diluar kotak atau berpikir dengan
kotak baru, tiba-tiba lahirlah buku berjudul “Inside the Box: The Creative Method that Works for Everyone” karya
Drew Boyd dan Jacob Goldenberg (London: Profile Books, 2014). Buku ini secara
terang-terangan memberi pembelaan terhadap cara berpikir yang sudah dianggap usang
tersebut. Dengan segenap argumentasi dan bukti berupa ragam inovasi yang lahir
dari berbagai tokoh dunia, buku ini menandaskan bahwa cara berpikir dalam
kotak-lah yang justru mampu melahirkan kreativitas dan inovasi besar. Dengan
sangat percaya diri, Boyd dan Goldenberg bahkan menyatakan bahwa inovasi akan lebih
banyak, lebih baik, dan lebih cepat dihasilkan jika kita bekerja dengan sesuatu
yang sudah familiar, yakni “kotak” kita. Kotak itu oleh Boyd dan Goldenberg
disebut sebagai “template”.
Saya
termasuk orang yang terkejut dengan keberanian penulis buku ini melawan mainstream. Dan terdorong rasa penasaran
untuk menyelami alasan penulis, maka saya langsung membeli buku tadi tanpa
menawar harganya. Meskipun terkesan defense
atau mempertahankan diri, namun saya melihatnya sebagai kemampuan penulis
buku tadi melihat sesuatu secara berbeda. Ketika mayoritas orang sudah
meninggalkan cara berpikir dalam kotak, ternyata penulis malah menganjurkan
dengan begitu antusias. Ini tentu menarik sekali untuk dicermati. Dan setelah
membaca buku tersebut, dalam beberapa hal sayapun membenarkan bahwa berpikir
dalam kotak tetap dapat merangsang kreativitas dan inovasi. Tentu saja, hal ini
tidak berarti bahwa cara berpikir lain tidak cukup ampuh untuk melahirkan
perbedaan dan keunikan. Bagi saya, ketiga teknik berpikir kreatif ini dapat
digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai kecocokan orang yang akan
menggunakannya. Ini hanyalah alat atau teknik saja, bukan tujuan. Tujuan dari
berpikir kreatif sendiri adalah melahirkan ide-ide baru yang khas dan
menghasilkan efek mengejutkan bagi orang lain. Ketika orang lain memberi
ekspresi “wow”, mengatakan “kok bisa ya?”, ataupun “mengapa tidak terpikirkan oleh saya?”,
maka itu tandanya bahwa pemikiran kreatif kita telah mencapai hasilnya.
Kembali
kepada buku tadi, fakta apa sesungguhnya yang mengantarkan penulisnya sampai
pada kesimpulan bahwa berpikir dalam kotak merupakan teknik berpikir kreatif
yang bisa digunakan semua orang?
Pada
tahun 1999, sekelompok peneliti mengkaji ratusan produk yang sangat sukses
untuk mengetahui apa yang membuat produk-produk tadi berbeda dibanding produk
lainnya. Pada awalnya banyak yang berpikir bahwa produk yang baru dan inovatif
akan menunjukkan perbedaan dibanding produk lainnya. Akan tetapi, hasil temuan
mereka menunjukkan bahwa produk-produk inovatif tersebut memiliki pola-pola
yang serupa, yang dapat dibentuk menjadi sebuah template. Template inilah
yang mengarahkan cara berpikir kita dan mengkanalisasi proses berpikir kreatif dengan
cara-cara yang membuat kita semakin kreatif. Dan yang lebih mengejutkan lagi,
mayoritas produk yang baru, inventif, dan sukses di pasaran adalah hasil dari 5
(lima) jenis template, yakni
pengurangan (subtraction), pembagian
(division), pengalian (multiplication), penggabungan
tugas/fungsi (task unification), dan
ketergantungan atribut (attribute
dependency).
Philips
Electronics adalah contoh perusahaan yang menggunakan teknik subtraction untuk menelorkan inovasi,
diantaranya dengan mengubah DVD player
model lama yang memiliki begitu banyak tombol menjadi DVD yang dioperasikan
melalui remote control dengan tombol
minimalis. Bentuk utilisasi lain teknik ini misalnya headphone dengan pelutup telinga berukuran besar digantikan dengan ear-buds yang berukuran jauh lebih
kecil. Dengan alat bantu pendengaran mini ini, bahkan berbicara lewat hand-phone tidak perlu lagi memegang gadget (hands-free). Sementara teknik division
adalah teknik memecah/memisah produk dan meletakkannya di tempat tertentu
sesuai kebutuhan. Jika AC pada umumnya menempel pada tembok, maka ide AC portable yang dapat dipindah-pindah
adalah wujud kreativitas berdasarkan teknik pembagian ini. Printer komputer
yang terpisah dari tinta atau cartridge-nya
adalah juga contoh sederhana dari teknik ini.
Selanjutnya,
teknik multiplication bisa adalah
menyalin (copy) sesuatu dan mengubah
sedikit sesuai keperluan. Pemasangan roda kecil pada sepeda anak yang baru
belajar bersepeda, adalah contoh teknik multiplikasi ini. TV yang bisa
menampilkan dua layar sekaligus dengan ukuran berbeda adalah juga contoh
sesuatu bisa diduplikasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Adapun teknik task unification antara lain digunakan
oleh Samsonite, perusahaan tas ransel terkemuka. Ransel pada umumnya membuat
pemakainya sakit punggung atau leher karena beban yang berat. Menyadari kelemahan
ini, Samsonite menciptakan strap
(pengait di pundak) yang empuk, dan menekan pada titik shiatsu untuk menimbulkan sensasi pijat. Semakin berat beban di
dalam ransel, maka semakin dalam sensasi yang diperoleh pemanggulnya. Selain
itu, teknik unifikasi fungsi juga telah dipraktekkan misalnya pada kaos kaki
Odor-Eaters yang memberi rasa hangat sekaligus aroma harum pada kaos kaki
tersebut. Ada juga produk pelembab wajah yang diberi fungsi tambahan sebagai
pelindung matahari. Banyaknya taksi dan bus kota yang memasang iklan pada body kendaraan adalah juga cerminan dari
teknik task unification.
Teknik
yang terakhir, attribute dependency,
adalah teknik melakukan perubahan produk sesuai dengan perubahan keadaan atau
kebutuhan tertentu. Wiper mobil yang dibuat
dengan kecepatan yang berbeda sesuai dengan lebatnya hujan, atau volume
radio/TV yang bisa dinaik-turunkan sesuai tingkat kebisingan lingkungan atau
selera pendengarnya, adalah sebuah inovasi yang menyediakan pilihan situasional
bagi penggunanya.
Mengapa
penggunaan template penting untuk melahirkan
inovasi? Dalam kehidupan sehari-hari, template
itu kita kenal sebagai kebiasaan (habit).
Kebiasaan inilah yang berfungsi untuk memudahkan hidup kita dengan cara memacu
pemikiran dan aksi familiar dalam merespon sebuah informasi atau situasi. Dengan
kata lain, otak kita bekerja memproses informasi dengan cara mengorganisasikannya
dalam kebiasaan yang sudah dikuasai. Kita memiliki kebiasaan atau tabiat harian
seperti seperti bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, dan seterusnya. Karena
sudah menjadi kebiasaan, maka tidak diperlukan usaha yang besar untuk
melakukannya lagi dan lagi.
Uniknya,
Boyd dan Goldenberg berargumen bahwa kebiasaan tertentu dapat menuntun kita
pada hasil yang tidak biasa, bahkan mengejutkan. Mereka mengatakan: “The most highly creative humans use template
to produce extraordinary results”. Mereka memberi contoh bagaimana Paul
McCartney dan John Lennon, anggota The Beatles, menghasilkan ratusan lagu abadi
sepanjang masa dan menjadi hits dalam
tangga-tangga lagu dunia. Dari biografi Paul McCartney terungkap bahwa John
Lennon selalu menulis bait pertama, dan itu selalu cukup. Bagi McCartney, itu
adalah sebuah direction dan inspirasi
untuk seluruh lagu yang akan diciptakan. Terhadap kebiasaan ini, McCartney
menulis: “I hate the word, but it was the
template”. Nah, atas dasar template
itulah kemudian The Beatles menjelma menjadi grup band legendaris yang sangat fenomenal.
Bagi Boyd dan Goldenberg, untuk menjadi inovatif, tidak perlu menunggu inspirasi
atau datangnya ide-ide brilian, karena hal itu bisa menimbulkan ketergantungan
untuk memulai sesuatu.
Pertanyaan
yang menggelitik yang diajukan sendiri oleh Boyd dan Goldenberg adalah, mengapa
seseorang enggan menggunakan template?
Menurut Boyd dan Goldenberg, setiap orang kreatif sejatinya menggunakannya,
hanya saja mereka tidak menyadarinya atau khawatir template-nya akan dicuri oleh orang lain. Selain itu, dengan
penggunaan template seolah-olah akan
mengurangi kreativitas seseorang, namun hal ini dibantah keras oleh Boyd dan
Goldenberg bahwa tidak ada satupun yang akan berkurang dengan menggunakan template. Mereka memberi contoh seorang
arsitek Amerika yang terkenal, Frank Lloyd Wright, yang membangun rumah
spektakuler bernama Fallingwater. Rumah
itu sepenuhnya memanfaatkan batu, arus air, maupun komponen lain dari sekitar
rumah yang dibangunnya, karena dia merasa tidak perlu mencari ide dan bahan
dari luar lingkungannya (simbol tidak perlu berpikir diluar kotak).
Saya
punya sedikit kritik atas pandangan Boyd dan Goldenberg. Mungkin benar bahwa template atau berpikir dalam kotak akan
memudahkan seseorang untuk menghasilkan karya-karya baru. Namun karya-karya itu
mungkin lebih tepat disebut sebagai produktivitas dibanding inovasi. Ratusan lagu
The Beatles jelas sebuah produktivitas yang luar biasa, namun warna lagu (genre) relatif sama, yakni termasuk
kategori slow/soft music. Dengan kata
lain, karena cara membuatnya sama, maka hasilnya relatif sama, meskipun
jumlahnya bisa sangat banyak. Lain halnya jika lagu-lagu itu dikombinasi dengan
nuansa etnis tertentu, misalnya Afrika, Latin, atau Bali, sehingga menghasilkan
corak lagu yang berbeda, maka itu adalah sebuah kreativitas dan inovasi baru. Sayapun
agak meragukan bahwa dengan menggunakan template
yang sama terus-menerus dapat menghasilkan produk yang berbeda-beda dan
inovatif. Sebagaimana dikatakan oleh Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over again but expecting
different result” (melakukan sesuatu yang sama terus-menerus namun
mengharapkan hasil berbeda adalah sebuah kegilaan).
Meskipun
saya belum sepenuhnya bisa menerima ide bahwa “berpikir dalam kotak” lebih
kreatif dibanding “berpikir diluar kotak” atau “berpikir dengan kotak baru”, tetap
saja saya mendukung untuk digunakannya segala macam kotak untuk menghasilkan
kreativitas sebanyak dan sehebat mungkin. Saya juga sangat mengapresiasi
provokasi Boyd dan Goldenberg untuk kembali ke cara berpikir paling “tradisional”
ini. Sebab, dibalik beberapa hal yang bagi saya belum cukup rasional, mereka
berdua menantang siapapun untuk berani berpikir lebih keras dan lebih kreatif. Contohnya,
mereka menyatakan bahwa brainstorming (curah
pendapat) hanya akan menghasilkan ide-ide yang lebih sedikit dan berkualitas
lebih rendah. Padahal, selama ini kita yakini bahwa brainstorming merupakan salah satu teknik berpikir kreatif yang
dapat menghasilkan banyak ide-ide kreatif. Selain itu, mereka juga menantang pandangan
banyak orang bahwa cara berinovasi adalah dengan memulai mendefinisikan
permasalahan secara baik, dan kemudian menawarkan alternatif solusinya. Boyd
dan Goldenberg justru memulai dengan solusi yang abstrak dan konseptual, baru
kembali kepada masalah yang akan dipecahkan. Cara-cara berpikir terbalik yang
ditunjukkan oleh kedua orang tadi bagi saya sama artinya bahwa mereka sedang
berpikir dengan kota baru, bukan kotak yang sudah eksis dan mereka miliki
sebelumnya.
Atas
dasar itulah, saya tetap merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini. Ternyata,
begitu banyak cara berpikir yang bisa dipilih untuk membantu memproduksi
kreativitas.
Jakarta,
9 September 2014
*veteran-serpong-pejompongan-serpong*
mas tri...saya gunakan jadi referensi ya :)
BalasHapus